Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Sabtu, 27 Oktober 2012

Bhairawa Jalan Mulia Menuju Kebebasan

I Gede Wiratmaja Karang

Setelah abad IX, kehidupan beragama di Bali terdiri dari berbagai sekta, meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha. Sekta Siwa memiliki cabang yang banyak, antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta.

Sekta Bhairawa adalah Sekta yang memuja Siwa sebagai Dewa Utama dalam manivestasinya sebagai Siwa Bhairawa. Sedangkan pemujaan terhadap saktinya disebut Bhairawi dengan Dewi Dhurga atau Dewi Kali sebagai Dewa Utama. Sekta ini juga digolongkan ke dalam Sekta wacamara atau aliran kiri yang mendambakan kekuatan magic yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Sekta Bhairawa terkenal dengan ajaran Pancamakara, yaitu Mada yang diartikan mabuk-mabukan, Mamsa yang diartikan makan daging, Matsya yang diartikan makan ikan, Mudra yang diartikan melakukan gerak-gerik tangan, dan Maituna yang diartikan melakukan hubungan seks. Ajaran pancamakara dari Sekta ini adalah salah satu sisi gelap pandangan umum terhadap Sekta Bhairawa. Padahal ajaran ini begitu agung dan memberikan kebebasan yang sejati bagi bhakta Sekta Bhairawa.

Pelaksanaan ritual dalam Sekta Bhairawa hampir ada kemiripan dengan ritual Budha Bajrayana yang berkembang di Tibet. Sedangkan Budha Mahayana lebih banyak berkembang di dataran Cina, Korea, Jepang demikian juga dengan Budha Teravada lebih banyak berkembang di Birma, Srilangka dan Thailand. Ajaran Bhairawa demikian erat hubunganya dengan ajaran Budha Bajrayana, yaitu aliran Tantrayana dari agama Budha. Baik itu Bhairawa Kala cakra yang berkembang di Jawa dengan Raja Kertanagara sebagai pemuja setia, Bhairawa Haruka dengan Kebo Parud sebagai penyebarnya, atau Bhairawa Bima Sakti di Bali dengan Raja Bali Sri Astasura Ratna Bumi Banten dan seluruh patihnya sebagai penganut utamanya. Hal ini terbukti dengan adanya peninggalan di pura Kebo Edan Pejeng, dan Patung Panghulu, yaitu Patungnya Maha Patih Kerajaan Bali Kebo Iwa di Pura Puseh Blahbatuh.

Bhairawa merupakan perkembangan dari Tantrayana yang lebih menonjolkan Sakta atau Saktiisme, dari Sekta Siwa. Hal ini terbukti dengan obyek persembahan berpusat pada Saktiisme yang dilukiskan sebagai Dewi pemberi kemakmuran, pemberi semangat, tenaga atau power, pemberi hidup dan lain sebagainya. Sehingga Sakti juga disebut Ibu, maksudnya sebagai Ibunya dunia atau dewi pemberi perlindungan terhadap semua ciptaan-Nya. Ibu yang baik, melahirkan, melindungi, memberi hidup, mengasuh, mengajarkan dan menuntun dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu, demikianlah kemuliaan Ibu, serta kemuliaan lainnya.

Ajaran Pancamakara, sesuai dengan Kali Mantra dan kitab Maha Nirwana Tantra terdiri dari makan ikan, makan daging, mabuk, melakukan hubungan sexualitas dan meditasi akan menuntun pada jalan moksa di jaman Kaliyuga. Dengan melakukan pancamakara ini akan terbebaskan dari punarbhawa, samsara atau juga disebut kelahiran kembali sehingga moksa. Moksa berasal dari akar akata “muc” yang berarti membebaskan atau melepaskan dengan sempurna. Moksa adalah bersatunya Atma dengan Paramatman. Bagi umat manusia yang telah mencapai moksa akan terbebas dari segala ikatan, baik itu ikatan duniawi, ikatan kelahiran kembali atau punarbawa, bebas dari hukum karma, bebas dari penderitaan, dan akan menjalani keadaan yang disebut “Sat Cit Ananda”. Bila dikaji lebih mendalam ajaran pancamakara demikian agung dan memiliki rahasia yang dalam. Itulah kelebihan dari Bhairawa yang merahasiakan apa sesungguhnya yang tersurat dengan yang tersirat. Ajaran Pancamakara sesunguhnya adalah lima rahasia yang mesti diterjemahkan secara mendalam.

Makna Spiritual Pancamakara

Pertama adalah Matsya bukan bermakna makan ikan sepuas-puasnya. Tetapi tirulah ikan yang menyelam di sungai, danau, lautan yang dalam penuh gelombang, liku-liku sampai jauh untuk mencari ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan merupakan yadnya utama. Karena ilmu pengetahuan yang utama dapat memberikan penerangan pikiran manusia diwaktu kegelapan. Ilmu pengetahuan utama dapat menyebrangkan manusia dari kebodohan sehingga menghasilkan subhakarma.

Kedua adalah Mamsa yang diartikan makan daging sepuas-puasnya. Bagi bhakta Bhairawa mamsa memiliki pengertian berbeda lebih pada pengetahuan ke dalam diri. Persembahan terbaik adalah sebagian atau seluruh tubuh yang dimiliki manusia. Dalam kitab Upanisad juga ada menyebutkan hal ini sehingga ada kesamaan pandangan antara kitab Upanisad dengan Bhairawa. Dalam ajaran Bhairawa mengedepankan pengenalan pada diri sendiri dengan berbagai pertanyaan yang mesti dijawab sendiri. Seperti siapa diri ini, mau kemana, kapan dan oleh siapa serta pertanyaan-pertanyaan yang lainya. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang mengarahkan manusia pada jalan kebebasan. Karena para bhakta Bhairawa diajarkan menguasai ego dan liarnya pikiran ada kesamaan dengan ajaran Rsi Patanjali.

Ketiga adalah Mada yang diartikan minuman memabukkan. Bhakta Bhairawa memaknai bahwa Mada adalah minumlah sepuas-puasnya ilmu pengetahuan yang didapat, sehingga dapat menguasai diri dengan baik. Teguklah pengetahuan sejati sampai mabuk dengan spiritualitas. Hanya dengan minum ilmu pengetahuan maka penguasaan diri dari indria, ego dan sifat-sifat lainya dapat dikuasai serta di manfaatkan dengan baik dan benar sesuai dengan fungsinya.

Keempat Maituna berarti: berhubungan badan atau melakukan hubungan sex. Bagi bhakta Bhairawa, Maituna bermakna berhubungan dengan ilmu pengetahuan sejati. Dengan melakukan hubungan badan dengan ilmu pengetahuan sejati maka orgasme spiritual akan didapat. Menyatukan atma dengan brahmán itulah yang dimaksud dengan maituna. Karena dibyabhawa jauh lebih nikmat dari pasuabhawa. Pasuabhawa hanya sesaat, yaitu hanya disaat orgasme terjadi. Sedangkan dibyabhawa merupakan orgasme yang berkelanjutan yang berlangsung lama dan terus menerus (multiorgasme).

Kelima adalah Mudra yang diartikan gerakan ritmis yang penuh dengan unsur mistis religius. Bagi bhakta Bhairawa Mudra merupakan tingkatan peleburan antara tat dan sat. Peleburan antara atman dan brahmán menyatu, sehingga atman dan brahmán tidak dapat dibedakan, keduanya menyatu dengan sempurna. Pada tingkatan ini tidak ada derita atau suka tanpawali duka, juga disebut mukti atau alam nirwana. Mempelajari mudra harus didasari dengan menjalankan ajaran matsya, mamsa, mada, dan maituna secara serius dan sempurna.

Ajaran pancamakara dapat dikuasai secara sempurna wajiblah memahami ajaran Tri sadhana atau Tri Karana yang terdiri dari: (1) Jnana bhyudraha, yang bermakna dapat memahami segara tattwa atau filsafat kerohanian.(2) Indria yoga marga yang bermakna dapat mengendalikan keterikatan inderia terhadap ikatan duniawi. Dan (3) Tresna dosa kyasa yang bermakna dapat menghilangkan rasa keterikatan pada hal-hal yang bersifat duniawi.

Kelima konsep dasar di atas (pancamakara) merupakan cara untuk mencapai tujuan akhir Bhakta Bhairawa. Yaitu mencapai Brahman dengan kebenaran pengetahuan, sehingga kebebasan dan kebahagiaan sejati dapat terwujud. Sejalan dengan tujuan akhir agama Hindu adalah “Moksartham Jagadhita Ya Ca Itih Dharma”. Jika dimaknai lebih dalam, inti dari tujuan akhir ini ada dua tujuan, yaitu (1) jagadhita merupakan sejahtera di dunia dan (2) moksartham adalah kebahagiaan di akhirat. Yang diaplikasikan ke dalam tujuan hidup manusia. Menurut ajaran agama Hindu ada empat tujuan hidup manusia yang disebut Catur Purusa Artha yaitu dharma, artha, kama dan moksa. Dharma, artha, kama merupakan tujuan untuk mendapatkan kesejahteraan di dunia atau jagadhita. Dan moksa merupakan tujuan untuk mendapatkan kebahagiaan di akhirat atau moksartham.

Jaman Kaliyuga atau Kalisangghara ini hanya mempelajari, menjalankan dan memahami secara utuh ajaran Bhairawa akan dapat mencapai kebebasan yang sempurna. Melaksanakan ajaran Bhairawa akan menuntun pada tujuan yang sama dan juga sekaligus memenuhi kebutuhan manusia, yaitu kebebasan yang sempurna, kebebasan yang absolut sehingga tercapai purnammukti. Purnammukti merupakan kebebasan yang tertinggi dicapai oleh Atma, di mana Atma telah bersatu dengan Brahman. Atman bersatu dengan Ida Sang Hyang Widhi sebagai sumbernya, dan pada saat inilah istilah “Brahman Atman Aikyam” yang artinya Atman dan Brahman sesungguhnya tunggal dapat terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar