Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 19 September 2012

Ritual Marekang Toya dan Nulak Bikul

Ritual Marekang Toya dilaksanakan di bedugul sebagai ritual keselamatan untuk di sawah. Istilah Marekang Toya terdiri atas dua kata, yaitu marekang dan toya. Kata marekang berasal dari kata parek ‘dekat’ mengalami proses nasalisasi (N) dan afiksasi dengan mendapat sufik (-ang), menjadi marekang ‘mendekatkan’. Sedangkan toya berarti air. Jadi marekang toya mengandung makna ‘mendekatkan air’. Yang dimaksud dengan mendekatkan air dalam hal ini adalah mendekatkan air ke sawah.

Air yang dimaksud bukanlah air biasa, melainkan air suci atau tirtha yang diyakini oleh para petani sebagai lambang anugerah dari Tuhan yang digunakan untuk keselamatan padi. Karena itu marekang toya sering juga disebut marekang tirtha.

Ritual tersebut dilaksanakan saat hama atau penyakit mulai menyerang tanaman padi. Pada saat ritual itu juga biasanya diikuti dengan nyepi di sawah. Saat itu anggota subak tidak dibenarkan bekerja di sawah, sebab mereka diharapkan untuk ikut mendoakan agar ritual itu berhasil. Ritual itu bisa dilaksanakan berkali-kali sesuai dengan keperluan.

Adapun wujud ritual marekang toya tersebut adalah sebagai berikut. Di Bedugul (Pura Subak) berupa peras daksina, canang, ketupat dampul. Di sawah berupa canang, punjung putih-kuning, segehan putih-kuning, hitam.

Peras mengandung makna agar ritual itu prasida (berhasil). Daksina adalah lambang persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Canang adalah simbol persemabahan kepada Tuhan sebagai Tri Murthi. Ketupat dampul adalah salah satu jenis persembahan kepada Sedan Carik sebagai penguasa sawah. Punjung putih kuning simbol persembahan kepada Dewi Sri dan Dewi Uma beserta pengikut-Nya. Ritual itu dilaksanakan dengan cara menebarkan tirtha pada tanaman padi, agar lepas dari serangan hama dan penyakit tanaman yang ada di sawah.

Berikut ini saa yang digunakan mengiringi ritual marekang toya:
“Naweg tityang ring jro taksu,
Niki wenten putih penyakit pantun druwene,
Tityang nunas wangsuh padan I Ratu,
Ring Si Nyoman,
Ring Ratu ring Batu Tanah Lot, tityang nunas niki pica,
Mangda magedi punika putihe saking pantun druwene.”

Berdasarkan bunyi saa tersebut di atas, diketahui bahwa dalam dunia persawahan dikenal adanya penyakit putih yang menyerang tanaman padi. Kalau dibiarkan, padi akan mati. Untuk menanggulanginya, selain disemprot dengan festisida, juga dimohonkan ke hadapan Tuhan sebagai Dewa Taksu dan manifestasiNya yang bersthana di Pura Tanah Lot. Dengan mohon wangsuh pada (Tirtha suci) Beliau, maka diharapkan penyakit padi itu dapat hilang.

Ritual Nulak Bikul

Ritual Nulak Bikul ‘menolak tikus’ dilaksanakan oleh para petani apabila di sawah terlihat banyak tikus yang merusak tanaman padi. Ada sebuah kepercayaan yang mengatakan, bahwa tikus-tikus itu datang merusak karena ada yang memerintahkan. Dalam hal ini bukan tikus yang salah, melainkan petani yang kurang melaksanakan ritual. Para petani percaya, bahwa tikus-tikus itu tidak akan habis hanya oleh festisida ataupun racun tikus, tapi harus disertai dengan ritual tertentu.

Wujud ritual untuk mengusir atau menolak tikus ada bermacam-macam. Salah satu contohnya adalah dengan menghaturkan canang, nasi merah dibungkus daun dapdap, dengan tempat batok kelapa ditempatkan di pojok-pojok sawah.

Masing-masing ritual ini memiliki makna: canang sebagai lambang Tuhan dalam wujud Tri Murthi, yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa. Nasi yang berwarna merah yang ditaruh di setiap pojok sawah dimaksudkan sebagai suguhan kepada penjaga empat penjuru arah, masing-masing: Sri Raksa di timur laut, Sang Aji Raksa di tenggara, Sang Ludra Raksa di barat daya dan Kala Raksa di barat laut.

Jadi ritual penolak tikus itu dilaksanakan oleh petani dengan niat atau pikiran yang suci memohon kepada Tuhan sebagai Tri Murthi dan manifestasiNya, agar memperoleh keberhasilan atau selamat dari gangguan hama tikus. Ritual nulak bikul ini dilaksanakan di bedugul dan di sawah. Berikut saa yang digunakan dalam ritual nulak bikul:

“Om sang meng putih, ula putih,
Lamun wani Ki Tikus Putih,
Tumoning Meng Putih, Ula Putih,
Wani Ki Tikus Putih amangan Bhatari Sri,
Lamun tan wani Ki Tikus Putih,
Tumoning Meng Putih, Ula Putih,
Tan wani Ki Tikus Putih,
Hamangan Bhatara Sri,
Cangkem sira bungkem”

(Sumber: I Gde Soken Bandana, Ritual Tolak Bala Masyarakat Bali, 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar