Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 10 Juli 2012

Banyak Motif Ikut Belajar Spiritual

I Wayan Miasa

Manusia di muka bumi ini memiliki agama dan kepercayaan yang beragam. Begitu juga tentang kegiatan keagamaan yang dilaksanakan hampir tiada hentinya. Apalagi kita di Bali, yang terkenal dengan Hindu walinya, kita melakukan banyak kegiatan ritual hampir setiap hari, baik untuk para bhutakala, manusia, dan lain sebagainya. Bahkan di Bali hampir segala aktivitas yang mereka lakukan dihubungkan dengan agama, misalnya saja saat ada lomba melayangan. Sebelum layangan tersebut dilombakan, maka layangan tersebut diupacarai. Berbagai alasan pun diungkapkan sebagai pembenar upacara pemlaspasan layangan tersebut. Hal ini akan sedikit berbeda bila layangan itu tidak dilombakan, tidak ada upacara khusus yang dilaksanakan, tidak ada argument tentang mensucikan bahan layangan, tidak ada alasan agar rare angon mau berstana di layangan, dan sebagainya.
Di masyarakat kita, khususnya di Bali, ada suatu fenomena yang sedang berkembang. Walaupun ada begitu banyak kegiatan ritual yang berhubungan dengan agama telah dilaksanakan, namun tidak disangkal lagi, bahwa di pulau ini ada banyak warga kita yang juga tertarik mengikuti kegiatan spiritual dengan berbagai jenisnya, misalnya ada yang ikut Kriya Yoga yang dipopulerkan oleh Paramahamsa Yoga Nanda, Art of Livingnya Shri Shri Ravi Sankar, Sai Baba, Hare Krishna, dan lain sebagainya. Selain praktek spiritual yang berasal dari negeri Bharata tersebut ada juga perguruan-perguruan spiritual yang berasal dari Nusantara ini, misalnya Ratu Bagus, Sapta Dharma, Bambu Kuning, Seruling Dewata, serta yang lainnya.

Melihat begitu banyaknya perguruan spiritual yang berkembang di Bali, timbul suatu pertanyaan, mengapa masyarakat kita mengikuti kegiatan spiritual lagi, padahal mereka sudah memiliki agama, untuk apa mereka mengikuti kegiatan tersebut? Adakah sesuatu yang salah pada tatanan beragama kita di Bali, sehingga warga kita harus mencari sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan rohaninya.

Menurut beberapa orang yang penulis tanyai, mengapa warga kita “ekstra” mencari kegiatan spiritual, ternyata ada berbagai alasan yang mereka ungkapkan. Dari jawaban yang diungkapkan oleh mereka itu, terungkap bahwa ada berbagai alasan mengapa warga mengikuti kegiatan spiritual tersebut. Misalnya, ada masyarakat yang mengikuti kegiatan perguruan itu karena ingin mencapai kesembuhan setelah lama menderita suatu penyakit. Mereka mengatakan bahwa dengan mengikuti methode yang diajarkan di padepokan itu, mereka berharap bahwa mereka bisa tersembuhkan dari penyakit yang dideritanya.

Ada juga warga kita yang ikut kegiatan di suatu kelompok/perguruan karena ingin mendapatkan “kesaktian” seperti kebal terhadap senjata tajam, disegani oleh banyak orang, dan lainnya. Menurut penuturan pini sepuh perguruan tersebut, bahwa dengan mengikuti kegiatan di perguruannya, maka dalam waktu tertentu para pengikutnya akan mendapatkan suatu ilmu yang bisa dipakai untuk menjaga dirinya dan bisa digunakan untuk menolong orang lain. Bahkan katanya, bila para muridnya bisa menguasai ilmu tersebut dengan baik, mereka akan bisa minum air aki dan mereka tidak akan keracunan, dan lain sebagainya.

Selain itu ada juga warga yang mengikuti kegiatan olah rohani karena mereka ingin mendapatkan pembebasan kelak setelah mereka meninggal nanti. Mereka percaya bahwa dengan mengikuti prinsip-prinsip yang diterapkan di padepokan tersebut mereka akan segera diselamatkan dari siklus kelahiran dan kematian dan tinggal di dunia yang abadi tanpa ada lagi penderitaan. Menurut warga yang mengikuti perguruan ini, mereka percaya akan terbebaskan dari segala reaksi dosa dengan jalan mengikuti cara yang dianjurkan oleh yang memiliki otoritas. Menurutnya, mereka mengikuti kegiatan itu karena percaya, bahwa ada banyak cara mencapai Tuhan, namun jalan yang diajarkan di pesramannya adalah jalan yang sesuai di jaman kali ini. Mereka cukup mengucapkan nama suci Tuhan berkali-kali dan tak perlu lagi membuat upacara yang ruwet dengan berbagai jenis prasarana upacaranya. Mereka cukup mengikuti aturan yang ada di perguruan tersebut, misalnya hidup vegetarian, tidak berspekulasi, tanpa mengkonsumsi bahan-bahan yang membuat ketergantungan dan tidak selingkuh dan inilah cara istant (prejani) mencapai Tuhan.

Belajar dari Paramahamsa Yogananda
Menurut pengalaman yang dilakukan oleh guru-guru spiritual yang telah mendunia seperti Osho, Shri Aurobindo, Ramana Maharsi, Paramahamsa Yogananda, Srila Parbhupada, Sai Baba, Sri Sri Ravi Sankar, dan yang lainnya, bahwa perjalanan spiritual tersebut seharusnya dilakuan berdasarkan kesadaran dan melalui proses pencarian berlangsung lama dalam proses yang panjang sampai orang itu menemukan pilihannya, misalnya Paramahamsa Yogananda. Dalam pencarian perjalanan spiritualnya Beliau berpetualang dari pesraman ke pesraman yang lainnya dan Beliau bertemu dengan berbagai guru spiritual dengan berbagai keahliannya. Misalnya beliau bertemu dengan Swami Pranabananda (guru spiritual yang bisa memperbanyak dirinya menjadi dua), bertemu dengan Sohong, guru yang bisa menaklukan macan, juga bertemu guru yang bisa melayang di udara, yaitu Nagendra Nath Bhaduri. Begitu juga Paramahamsa bertemu guru yang bisa mengeluarkan bau wangi dari tubuhnya dan lain sebagainya. Dari perjalanan mencari guru spiritual tersebut Paramahamsa akhirnya bertemu dengan guru yang cocok dengan suasana hatinya dan Paramahamsa Yogananda mendapatkan suatu karunia, yaitu kemampuan mempraktekkan Kriya Yoga secara baik. Dengan kemampuan Kriya Yoganya, saat kematiannya tubuhnya tidak kaku dan membusuk selama berminggu-minggu.

Hal lain ditunjukkan oleh Srila Prabhupada, dimana Beliau mendapatkan perintah dari guru kerohanian beliau untuk menyebarkan ajaran kesadaran terhadap Tuhan atau apa yang dikenal dengan Hare Kṛṣṇa keseluruh dunia. Dalam usia yang sudah mendekati umur tujuh puluhan beliau melaksanakan perintah gurunya dan mampu melaksanakanperintah tersebut dengan baik, sehingga sekarang hampi di setiap Negara ada gerakan ini.

Dari contoh yang dilakukan oleh para praktisi spiritual yang telah mendunia tersebut kita bisa belajar bahwa kegiatan spiritual itu hendaknya dilakukan atas dasar kesadaran yang tinggi dengan melalui proses yang panjang. Spiritual adalah suatu kegiatan yang tidak harus dipertontonkan kepada umum, namun suatu kegiatan pencarian jati diri untukmencapai kedamaian dan mengisi kekosongan rohani.

Hafal Sloka Suci, tapi Etika Konyol
Namun tak jarang dalam kegiatan spiritual terjadi suatu kontradiksi dalam kehidupan masyarakat kita. Misalnya ketika orang mengikuti kegiatan spiritual dengan tujual akan kebal, anti senjata, dan lain sebagainya. Bila tujuan semacam ini telah tercapai, biasanya orang yang memiliki kemampuan seperti ini cenderung menyimpang dari tujuan semula. Saat dia ikut kegiatan itu pertama kalinya, dia ingin melindungi dirinya, membantu orang lain dan seterusnya. Namun karena merasa sudah menjadi jagoan maka dia lupa tujuan sebenarnya untuk spiritual. Dari tujuan bhakti menjadi mencari sidhi atau kesaktian.

Begitu pula bila kegiatan spiritual yang dilakukan karena frustrasi, kegagalan ekonomi, ingin cepat mendapatkan kebebasan dan lain sebagainya, maka ada suatu kecenderungan bagi para pelaku kegiatan berspiritual semacam ini dimana mereka lebih banyak terpaku pada sloka-sloka yang ada dalam buku suci tanpa melakukan suatu tindakan yang nyata. Mereka ini sering mengumbar sloka atau tattwa yang dikuasai, namun sayangnya dalam pelaksanaannya hampir nol besar. Misalnya di dalam ajaran spiritual itu kita hendaknya terbebas dari laba, puja, pratista. Namun apa yang terjadi, setiap apa yang dilakukannya harus mendapatkan pujian, sanjungan, gila hormat dan sebagainya. Mereka beranggapan bahwa tanpa kehadirannya, suatu kegiatan tak akan sukses, tak akan meriah dan lain sebaginya. Seharusnya kalau mereka benar-benar melaksanakan ajaran kerendahan hati, toleran terhadap semua makhluk, maka tak akan terjadi ada perasaan tinggi hati dan mereka akan tahu kedudukannya dengan baik.

Kegiatan spiritual yang cuma mengedepankan penampilan luar seperti cara berpakaian, tattwa tanpa disertai pembangunan etika, cenderung menghasilkan orang-orang yang cuma pandai berceloteh seperti tape recorder, tanpa tindakan nyata. Hal ini akan sangat berbahaya bila mereka suatu saat menjadi tukang kritik kehidupan sosial di masyarakat. Dan lebih berbahaya lagi bila sikap fanatiknya berlebihan dan menganggap warga lain lebih rendah derajatnya di hadapan Tuhan daripada mereka yang mengikuti kegiatan spiritual itu.

Mengikuti kegiatan spiritual seharusnya dilakukan dengan kesadaran penuh dan jangan terpaku pada hasil akhir yang ingin diperoleh. Kegiatan spiritual adalah kegiatan yang memerlukan ketekunan, ketabahan, kepasrahan diri. Bila tujuan spiritual untuk mencapai kesembuhan, kesukseksan dan lain sebagainya, hendaknya usaha spiritual itu disertai tindakan nyata. Bukan sekedar berkhayal dan terpaku pada ajaran-ajaran kerohanian saja, sebab ajaran apa pun yang kita ikuti bila ajaran tersebut tidak diikuti dengan tindakan nyata, maka ajaran tersebut akan menjadi racun bagi diri kita sendiri dan kadang bisa menjadi bumerang bagi kita.

Paramahamsa Yogananda pernah mendapatkan contoh nyata dari guru spiritual beliau, yang mana beliau saat itu diberi obat untuk menyembuhkan suatu penyakit. Guru Beliau berpesan padanya bahwa benda yang diberikan tersebut cuma alat untuk menyembuhkan dan kesembuhan tersebut datang dari Tuhan. Pesan ini ditegaskan kepada Paramahamsa Yogananda, karena ada banyak yang beranggapan bahwa benda yang diberikan kepada Paramahamsa Yogananda itu bisa ditemukan dengan mudah di sekitar kita dan orang mengira bahwa benda yang sama seperti itu memiliki khasiat yang sama untuk semua.

Dari penegasan yang disampaikan oleh guru spiritual Paramahamsa Yogananda itu, kita seharusnya belajar spiritual itu tidak terpaku pada keadaan nyata, baik berupa benda, buku-buku, namun lebih menekankan implementasinya dalam kehidupan nyata kita. Artinya yang perlu diingat adalah mengejewantahkan ajaran tersebut ke dalam kehidupan nyata kita. Kegiatan spiritual yang dilakukan tanpa implementasikan akan membuat kita menjadi seorang penghafal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar