Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 25 Juni 2012

Memasyarakatkan Sanskerta untuk Hindari Pemalsuan Terjemahan Weda

I Wayan Miasa

Berbicara agama tidak bisa terlepas dari pengaruh yang dibawa agama tersebut, misalnya tentang bahasa, kebiasaan, serta tradisinya. Begitu pula di dalam agama kita yang kini lebih dikenal dengan sebutan Hindu, sebuah sebutan yang diberikan oleh bangsa Persia yang mengacu pada suatu budaya di tepian lembah Sindhu.

Tradisi yang dilakukan di lembah Sindhu disebarkan oleh beberapa golongan sesuai dengan “guna karma” masyarakatnya pada jaman tersebut. Misalnya golongan brahmana, ksatria, wesia atau sudra. Dan perkembangan ajaran Sanatana Dharma ini pun sangat bervariasi menurut jamannya, sehingga ajaran Sanatana Dharma (Hindu) ini seperti saling bertentangan. Hal ini bisa dipahami karena ajaran agama Hindu ini tidak mengajarkan agama secara doktrin melainkan berdasarkan Catur Marga dan penyampaian ajarannya bisa lewat sruti maupun smerti dan hal tersebut berpengaruh pada kehidupan pengikut ajaran itu. Seperti yang kita lihat sekarang ini khususnya di luar negeri Bharata Warsa di mana banyak penganut Hindu tidak dipaksa untuk menguasai bahasa Sanskerta yang ditulis dalam huruf Dewa Nagari jika belajar Weda.

Walaupun begitu, pengaruh kosa kata bahasa Sanskerta dalam kehidupan masyarakat kita bisa disaksikan di masyarakat, entah masyarakat tersebut sudah beralih kepercayaan atau tetap melaksanakan ajaran sanatana tersebut. Misalnya saja nama-nama gedung pemerintahan di Indonesia, slogan-slogan angkatan bersenjata, bahkan masih banyak nama-nama pejabat di Indonesia yang masih kena pengaruh Hindu. Bahkan di daerah-daerah Jawa, terutama penduduknya yang masih memegang tradisi masa lalu, diakui atau tidak mereka tetap kena pengaruh bahasa Sanskerta. Misalnya nama Sudarsono, Yudhoyono, Atmanegara, dan lain sebagainya.

Agama Hindu memang agama yang fleksibel dalam menjalankan praktek keagamaannya, di mana yang ditekankan adalah implementasi ajaran agama tersebut. Berbeda dengan agama-agama yang mengedepankan doktrin dimana pemeluknya sejak awal wajib mempelajari bahasa asal muasal agamanya, dan terus didoktrin untuk menghafal ayat-ayat ajaran agamanya. Sehingga sering tampak bahwa penganut Hindu itu tak mengenal bahasa asal agamanya, yaitu Bahasa Sanskerta. Walaupun mereka memiliki banyak kosa kata dari bahasa Sanskerta, tetapi mereka tidak sadar tentang hal itu, karena warga kita tidak mempedulikan hal tersebut, yang penting bagi mereka adalah berbuat atau mengimplentasikan ajaran tersebut dalam kehidupan nyata.

Mungkin jarang ada warga kita yang tahu bahwa kata-kata yang mereka ucapkan di kehidupan sehari-harinya banyak berasal dari bahasa sanskerta. Misalnya yadnya, suka, duka, parwata, giri, wana, amerta, akasa, pertiwi, desa, dan banyak lagi yang lainnya. Kebanyakan dari masyarakat kita beranggapan bahwa kata-kata yang mereka pakai itu adalah bahasa Bali asli. Mereka tak pernah berpikir dari mana asal usul kata tersebut apalagi warga kita memang cepat mengadopsi bahasa luar dan cepat dianggap sebagi bahasa Bali.

Sehubungan dengan kurang populernya pengajaran bahasa Sanskerta dan huruf Dewa Nagari di kalangan Hindu, ini disebabkan oleh beberapa factor. Misalnya karena ada anggapan, bahwa bahasa Sanskerta adalah bahasa dewa dengan konyugasi kata kerja yang sulit. Ada rasa enggan untuk mempelajari bahasa Sanskerta, karena sudah ada bahasa Bali dan toh Tuhan mengerti segala Bahasa, mempelajari bahasa sanskerta tidak memiliki masa depan, dan alasan-alasan lainnya.

Rumpun Bahasa Indo German
Dilihat dari rumpun bahasanya, bahasa Sanskerta termasuk kerabat dari bahasa Indo-German yang mana banyak kosa katanya masih berhubungan. Walaupun kadang terjadi perubahan dalam hal fonetik, pengucapan namun kekerabatan bahasa tersebut masih bisa diidentifikasi. Seperti yang dinyatakan oleh Herr Grimm, seorang peneliti tentang bahasa Indo-German, dan hasil penelitian Herr Grimm dikenal dengan Grimm’s Gesetz atau Rumus Grimm. Ada beberapa bukti yang membuktikan tentang adanya hubungan satu sama lain mengenai bahasa Indo-Eropa tersebut, misalnya:
Sanskerta Jerman Inggris Arti
Bharat Bruder Brother saudara
Matha Mutter Mother Ibu
Pitar Vater Father Ayah
Dwar Tür Door Pintu

Dari beberapa contoh kata tersebut di atas bisa dikatakan, bahwa ada relasi atau hubungan di antara bahasa-bahasa Indo-German tersebut. Dan dalam perkembangannya pengucapan bahasa tersebut disesuaikan dengan lidah sang penuturnya.

Karena rumpun bahasa Indo-German tersebut memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam mengkonyugasikan (merubah bentuk kata kerja berdasarkan subyek kata kerja) kata kerjanya, maka hal ini menambah ketidaktertarikan para penganut Hindu untuk mempelajari bahasa Sanskerta tersebut. Hal ini ditambah lagi dengan sulitnya penulisan bahasa Sanskerta ke dalam huruf Dewa Nagari. Jangankan untuk menguasai penulisan bahasa dengan huruf Negari, menulis bahasa Bali memakai huruf Bali saja generasi muda di Bali menemui banyak hambatan.

Bila tidak ada usaha mendorong atau memotivasi generasi muda untuk mengenal bahasa Sanskerta lebih lanjut, maka bahasa Sanskerta tidak akan ada bedanya dengan nasib bahasa Latin, yang mana bahasa tersebut hanya dipelajari oleh beberapa orang saja dan kemudian menjadi bahasa mati.

Sebenarnya penting bagi kita mempelajari bahasa agama, karena dari bahasa itulah tercermin tentang mental dan karakter agama tersebut dan kosa kata dalam agama tersebut juga mereprenstasikan budaya atau keadaan agama tersebut. Misalnya dalam bahasa Sanskerta ada istilah Om Swastiastu, Om Shanti, Shanti, Shanti Om, Namaskar, Namaste, Dandavat, Pranam dan lain sebagainya. Dari ungkapan tersebut tercermin tentang karakater agama Hindu, bahwa hal penting dalam bertegur sapa bagi warganya adalah “Kedamaian atas karunia Tuhan”.

Begitu juga dalam istilah-istilah lainnya yang dipakai dalam beryadnya adalah cerminan prilaku masyarakat pendukung ajaran Weda tersebut. Misalnya ada istilah prasadam yang artinya makanan yang telah diberi karunia. Artinya bahwa dalam hal beragama kita perlu memdalami bahasa yang dipakai dalam mewahyukan agama tersebut, sehingga kita tahu persis mengenai ajaran agama kita. Dari dua contoh kata tersebut bisa dikatakan bahwa bahasa agama mencerminkan keadaan suatu agama. Agama Hindu mengedepankan tata cara tanpa kekerasan (Ahimsa), maka secara otomatis warga Hindu dalam tatanan kehidupannya selalu berusaha menghindari peperangan dalam mengadapi pertentangan.

Pelajari Sanskerta Sejak Dini
Walaupun Hindu itu sangat toleran dan fleksibel dalam hal tatanan beragama, namun penting untuk kita mempelajari bahasa Sanskerta itu karena bahasa tersebut mewakili nafas Hindu. Bagaimana kita bisa paham secara mendalam bila karakter yang mencerminkan pribadi Hindu kita tidak ketahui. Guna memahami ajaran Hindu yang lebih dalam di kehidupan social-religious, maka penguasaan bahasa Sanskerta sangatlah membantu memahami ajaran agama tersebut. Walaupun bahasa Sanskrit merupakan bahasa agama yang sulit namun hendaknya hal itu tidak menjadi penghambat generasi kita untuk mempelajari bahasa agama mereka. Dengan mempelajari Bahasa Sanskerta sejak dini, maka pemeluk Hindu akan memahami agama tersebut secara lebih luas. Dan sudah bisa dipastikan tidak terjadi pengkavlingan Hindu secara kedaerahan dan saling cerca sesama penganut Hindu pasti tidak terjadi.

Kesalahpengertian yang selama ini terjadi dimana ada banyak orang yang mengganggap, bahwa belajar bahasa Sanskerta itu urusan mereka yang mau jadi pemangku atau pendeta harus diubah. Sebagai seorang Hindu, setidaknya kita mengerti bahasa Sanskrit yang berhubungan dengan kehidupan beragama kita. Dengan cara ini pula kita bisa memupuk rasa bangga kepada Hindu.

Walaupun ada kenyataan bahwa belajar bahasa Sanskerta tidak mudah, namun bila kita terus mau belajar, tentu kesulitan serta pandangan tentang bahasa Sanskerta sebagai bahasa yang sulit akan terhapus. Coba lihat saja di Bali, terutama di dunia pariwisata, orang Bali bisa menguasai berbagai bahasa seperti bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Korea, Jepang, Danish, Spanyol, Jerman, Rusia, Hongaria, Polandia dan lain sebagainya. Kita harus berani memulai mempekernalkan bahasa agama kita sejak dini kepada generasi kita agar mereka nanti tidak merasa asing dengan bahasa agama mereka sendiri. Hal ini juga bermanfaat karena dengan cara itu kita tidak akan mudah diperolok-olok para pengkonversi agama yang sekarang gencar mencampuradukkan istilah keagamaan kita.

Campuradukkan Bahasa untuk Konversi
Kejadian mencampuradukkan istilah agama kita sering terjadi karena generasi kita tidak menguasai bahasa asal agamanya, sehingga dengan mudah penerjemah asing itu mengolok-olok kita. Seperti apa yang dilakukan oleh Max Müller yang dengan seenaknya menerjemahkan Weda, sehingga terjadi kesalahpahaman mengenai Hindu. Misalnya kata “warna” dalam bahasa Sanskrit yang mengacu pada kelompok berdasarkan keahlian dengan gampangnya diterjemahkan “kasta” sehingga lantas ada anggapan, bahwa warga Hindu terkotak-kotak berdasarkan keturunan sesuai dengan pengertian kasta tersebut. Padahal menurut kenyataannya dalam Bhagawad Gita Bab IV.13 dinyatakan bahwa manusia tersebut dikelompokkan berdasarkan “guna”.

Walaupun ada kenyataan bahwa pengajaran tentang bahasa Sanskerta memang hampir tidak ada bagi kebanyakan warga kita, namun kita seharusnya berusaha memperkenalkan kepada generasi muda kita jaman sekarang ini dengan memanfaatkan teknologi modern. Dengan cara itu kita berharap bahwa mereka nantinya berwawasan lebih luas dibandingkan dengan dengan generasi yang gugon tuwon, seperti di kebanyakan orang Bali. Dulu atas nama ajawera, semua hal yang berhubungan dengan agama jarang bisa pelajari oleh kaum muda, karena adanya anggapan bahwa belajar sastra agama sejak dini bisa membawa pengaruh negative. Ini jelas mitos teramat konuyol.

Kita bisa belajar banyak dari agama non Hindu dalam hal ini, karena mereka berani memperkenalkan bahasa agamanya dari sejak dini kepada generasi muda mereka. Dengan demikian selain mereka mengerti bahasa daerahnya sendiri, mereka juga mengerti bahasa asal-muasal agama. Berbeda dengan kita, seperti yang penulis lihat dan baca di facebook, dimana warga Hindu sendiri saling caci dengan saudaranya sendiri gara-gara ada ungkapan Hindu India dan Hindu Bali. Kalau saja bahasa Sanskerta diajarkan dari sejak dini di masyarakat kita, tentu tidak ada pandangan Hindu keindia-indiaan dan hindu kebali-balian dan lain sebagainya. Semua akan merasakan adanya persamaan dalam beragama lewat pemahaman bahasanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar