Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 26 April 2012

Implementasi Mitos Sapi Kamadhuk di Zaman Kini

Sapi kamadhuk atau kamadhenu adalah sapi surgawi milik Rsi Wasistha. Sapi sakti ini dapat memenuhi semua keinginan pemiliknya. Itu Kamadhuk dalam cerita, lalu apa maknanya bagi umat Hindu masa kini?

Keterpesonaan akan cerita dalam sastra keagamaan memang sering memukau, mengundang ketakjuban dan dalam situasi demikian tak jarang teks-teks keagamaan hanya menjadi khayalan indah yang hampir bersifat mustahil bagi orang-orang biasa. Karena itu, suatu mitos atau teks keagamaan mestilah dicari maknanya supaya cerita atau teks tersebut memiliki korelasi dengan kehidupan. Salah satu mitos yang terkenal dalam cerita Hindu adalah mengenai sapi kamadhuk.

Konon, sapi sorgawi ini dihadiahkan oleh dewa kepada Rsi Wasistha, karena ia sudah berhasil mencapai tingkat kesempurnaan dalam yoga. Lalu, jika sapi kamadhuk demikian istimewa yang hanya bisa dimiliki orang-orang berkualifikasi tertentu, lantas apa manfaatnya cerita itu kita dengarkan?

“Setiap teks keagamaan merupakan wacana kerohanian yang selalu bersifat inspiratif. Bermakna atau tidak sebuah wacana keagamaan, maka semuanya tergantung pada kemampuan seseorang di dalam menafsirkan atau merekontektualisasi wacana itu dengan kehidupan,” komentar Drs. I Nyoman Ananda, M.Ag, pengajar mata kuliah Purana di IHDN Denpasar pada 13 Maret 2012 lalu.

“Satu wacana bisa mengandung sejuta makna. Setiap orang bebas memaknai wacana atau mitos tersebut sepanjang bersifat positif dan menginspirasi hidupnya menjadi bertambah maju,” imbuh Ananda. Dalam pandangannya, kamadhuk atau sapi Sorgawi adalah lambang ibu, dalam hal ini ibu yang dimaksudkan adalah sumber kehidupan. Dalam hidup ini semua orang berebut memiliki sumber penghidupan yang dapat diandalkan sebagai penopang kehidupan. Oleh karenanya, hanya dia yang berkualifikasi khusus akan dapat memiliki sumber penghidupan yang dapat diandalkan. Misalnya, mereka yang mahir di bidang perniagaan akan memiliki “kamadhuk” dalam bentuk profesinya sebagai pengusaha. Ilmuwan yang ulet dalam usahanya, tekun dan berprestasi, maka akan memiliki “kamadhuk” dalam bentuk jabatan sebagai guru besar atau jabatan politis yang diberikan negara padanya. “Pendek kata, kamadhuk dalam kaitannya dengan umat kebanyakan adalah semua sumber kehidupan yang menjadi tumpuan seseorang. Karena itu kita wajib memelihara sumber kehidupan kita supaya dapat mencukupi kebutuhan,” jelas Nyoman Ananda lagi. Ia melanjutkan, bahwa di dalam memelihara sumber-sumber kehidupan itu dapat diwujudkan dengan menguasai suatu profesi tertentu. Dengan unggul pada satu bidang tertentu, maka ia akan memiliki pekerjaan spesial yang begitu kompetitif dalam persaingan ekonomi global ini. Pekerjaan yang andal dan spesial itulah oleh orang Bali zaman dulu disebut sebagai manik astagina. “Jadi Manik Astagina itu bukan permata dalam pengertian secara harfiah, tetapi lebih merupakan makna simbolis yang mengamanatkan seseorang untuk dapat menguasai suatu profesi yang dapat dijual sehingga menjadi penopang kehidupan,” demikian Ananda lebih lanjut menjelaskan. Menurutnya ada banyak mitos dalam Hindu dan masyarakat Bali yang lebih merupakan pralambang dan pesan-pesan kebijkasanaan. Termasuk sapi kamadhuk, manik astagina, manik cintamani yang bermakna permata kedamaian jiwa.

Lalu apa pesan mitos sapi kamadhuk lebih lanjut? Nyoman Ananda menambahkan, sapi kamadhuk dimiliki oleh seorang Rsi yang bernama Wasistha. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan ruang publik atau kepentingan umum yang lebih luas, maka sumber-sumber kehidupan suatu masyarakat, bangsa atau negara hendaknya dikelola oleh orang-orang bijaksana. Rsi artinya yang melihat kebenaran, bahasa Inggrisnya seer. Diartikan juga sebagai dia yang bersifat visoner (melihat jauh ke depan/vision). Jadi, hanya dia yang berada dalam tingkatan kebijaksanaan, memiliki pengetahuan kebenaran yang bersifat visoner yang layak dipanggil dengan sebutan Sri (Yang Mulia) atau sir. Nah, itu dalam tataran ideal, sebab dalam jagat praktik, justru sumber-sumber kehidupan (sumber daya alam) sering dikuasai oleh pemimpin yang berwatak seperti Wiswamitra.

Wiswamitra dalam cerita sapi kamadhuk ini mewakili karakter serakah, pencemburu, iri dan sok kuasa. Yang dipentingkan oleh orang-orang berwatak seperti ini adalah prestise pribadi, bukan tindakan yang bersifat visioner demi keberlangsungan suatu bangsa secara menyeluruh di masa depan. Karena itulah dalam cerita ini dikisahkan, Raja Wiswamitra ingin mengambil secara paksa sapi kamadhuk milik Rsi Wasistha. Ini mewakili sebuah lambang dari orang-orang yang tidak memiliki kompetensi di bidang tertentu namun suka memaksakan kehendak untuk menempati posisi itu. Figur Wiswamitra inilah yang menimbulkan ketidakharmonisan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Lalu siapakah yang berhak memegang kendali sumber-sumber kehidupan orang banyak (kamadhuk)? Menurutnya, hanya seorang acharya yang secara ideal layak mengelola kamadhuk itu. Tentu yang dimaksud dalam hal ini bukanlah acharya yang hanya sekadar gelar, melainkan acharya dalam predikat kualitas. Acharya disebut juga aptawacana, yaitu orang-orang yang sudah mampu mengatakan apa yang dipikirkannya dan melakukan apa yang dikatakannya. Seorang acharya berada dalam tahap dharma laksana, yaitu perbuatannya yang sudah merupakan implementasi dari ejawantah dari dharma. Seorang acharya tidak lagi berada dalam pergulatan dharma wacana atau mewacanakan dharma, melainkan sudah jauh melampaui tingkatan pergulatan ide-ide dan diskusi. Dia sudah merupakan wujud dari dharma itu berkat tindakan-tindakan terpilihnya yang merupakan implementasi dharma.

Demikianlah menurut Nyoman Ananda yang kini berstatus mahasiswa doktoral di IHDN Denpasar ini, bahwa masa kini masyarakat seolah-olah mengalami krisis figur. Betapa susahnya menemukan figur acharya, figur Wasistha. Menurutnya, masyarakat sekarang mengalami krisis figur, padahal zaman kini masyarakat sangat suka mengidolakan orang lain. Pada saat masyarakat dahaga akan hadirnya seorang panutan, dan ternyata panutan yang dimaksud sulit ditemukan, maka menjadilah masyarakat yang salah tuntunan. Banyak figur yang dikira mewakili sifat-sifat kebijaksanaan pada akhirnya terbukti tidak sehebat apa yang dibayangkan. Frustrasi dan kehilangan keyakinan diri akhirnya banyak melanda orang-orang masa kini, di mana keyakinan dirinya untuk mempertahankan kebaikan menjadi goyah manakala di sekelilingnya orang-orang hidup dalam budaya korup, manipulatif, ambiguitas dan lain-lain.

Dalam situasi demikian, sumber-sumber kehidupan akhirnya menjadi rebutan melalui cara-cara yang adharma. Persis seperti Raja Wiswamitra yang ingin merebut paksa sapi Kamadhuk dari Rsi Wasistha. Fenomena ini sekarang banyak dijumpai di masyarakat, di mana orang-orang berebut sumber mata pencaharian, berebut jabatan, berebut peluang bisnis dan sebagainya. Manakala skala kompetensi, kapabilitas, tidak lagi menjadi panduan di dalam menempatkan seseorang duduk dalam posisi maupun jabatan-jabatan tertentu, maka ketika itulah sumber kehidupan tidak lagi menjadi amrtha, melainkan berubah menjadi wisia (racun). Seperti sapi kamadhuk yang mengelurkan lusinan daitya, danawa, raksasa yang menghancurkan prajurit Wiswamitra, maka demikianlah juga berbagai sumber kehidupan telah melahirkan permusuhan antar berbagai pihak yang ingin menguasai, berubah menjadi racun karena eksploitasi berlebihan. Kamadhuk hanya memberikan sesuatu yang bermanfaat kepada tuannya yang bijaksana (Wasitha) dan akan mengeluarkan daitya kepada orang-orang serakah (Wiswamitra). Sekarang tinggal introspeksi diri, peran apa yang tengah kita mainkan. Sebagai Wasistha atau Wiswamitra? N. Putrawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar