Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 18 Januari 2012

Silakan Bangun di Atas 15 Meter, Asalkan di Daerah Khusus

Kalau Perda No 16 Tahun 2009, tentang RTRWP Bali yang di antaranya mencantumkan larangan bangunan di atas 15 meter di Bali terus dipertahankan, maka bagaimanakah nasib lahan-lahan produktif di masa mendatang. Boleh jadi, Bali akan tetap terkesan beda dengan daerah lain, cuma pemukiman akan terus merayap ke samping sampai lahan di Bali habis menjadi hutan gedung.

RTRWP Bali yang telah di tetapkan menjadi Perda No 16 Tahun 2009, merupakan pedoman penting bagi semua pihak untuk dapat melakukan kegiatan pembangunan di Bali.

Kawasan pertanian dalam RTRWP Bali telah diberikan perhatian khusus, karena disepakati bahwa pertanian merupakan spirit dari munculnya kebudayaan Bali yang dilandasai agama Hindu. Nilai-nilai budaya itu telah menjadi modal bagi pengembangan kepariwisataan di Bali. Namun sayang, RTRWP itu terus diperdebatkan atas nama pemerataan pembangunan dan PAD.

Di dalam RTRWP Bali telah jelas diatur tentang kawasan (kawasan budidaya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan). Rencana kawasan peruntukan pertanian seluas 298.214 ha atau 52,9 persen dari luas Provinsi Bali. Di antaranya kawasan tanaman pangan ditetapkan 76.337 ha atau 13,5 persen, kawasan hortikultura seluas 108.511 ha atau 19,3 persen, dan kawasan perkebunan sebanyak 113.366 ha atau 20,1 persen. Sedangkan, kawasan budidaya peternakan tidak menyediakan lahan khusus, tetapi memanfaatkan lahan yang sesuai bagi kegiatan peternakan secara optimal, lahan kering atau kritis, lahan pekarangan, dan perpaduan pertanian dan peternakan yang dapat menjamin supplai pakan. Bila rincian peruntukan tersebut dapat diberlakukan, dengan catatan luas hutan dapat menjadi 30 persen dari luas Pulau Bali, maka kita dapat meyakini akan kelestarian Provinsi Bali di masa depan.

Larangan Bangunan di Atas 15 Meter.

Di antara isi perda yang baik itu, ternyata ada ketentuan kontradiktif yang melarang keras bangunan dengan ketinggian melebihi 15 meter. Larangan tersebut jelas akan berdampak kepada perluasan pemanfaatan lahan ke samping. Bila hal itu terus terjadi, dan ijin pertumbuhan bangunan kurang terkendali di semua pemerintah kabupaten kota, maka dapat dipastikan lahan pertanian di Bali akan semakin habis. Ketika lahan pertanian semakin habis akibat alih fungsi lahan, subak semakin hancur, tatanan kehidupan berubah total ke pragmatisme materialistis, maka di situlah erosi kulturalisme akan terjadi. Bila kultural Bali meredup, maka cepat atau lambat sektor pariwisata pun hanya akan tinggal kenangan.

Boleh Tinggi di Tanjung Benoa, Nusa Dua dan Bukit

Karena itu, saya sebagai Ketua DPD HKTI Bali berpendapat bahwa perlu ditetapkan kawasan bangunan yang diijinkan melebihi 15 meter. Usulan kami adalah kawasan Tanjung Benoa, Nusa Dua dan Bukit Jimbaran yang merupakan kakinya Burung Bali. Hanya di kawasan itulah yang boleh diijinkan bangunan melebihi 15 meter. Hanya dikawasan itu! Atas konsekuensi dari kesepakatan itu, silahkanlah para pemimpin Bali dan kabupaten Kota duduk bersama membagi kue rejekinya.
Pemerataan pembangunan yang diusulkan Kabupaten lain, harus berlandaskan potensi daerahnya masing-masing. Tidak semua Kabupaten harus menggebu mengembangkan sektor pariwisata. Berkembangnya sektor pariwisata akan mengundang tenaga kerja dari berbagai penjuru datang ke situ. Perlu diingat, statistik mengatakan bahwa sebagian besar tenaga kerja di sektor periwisata adalah orang luar, bukan orang Bali. Bagaimana akan mengendalikan dampak-dampaknya?.
Membangun atas nama pemerataan hendaknya sesuai dengan potensi ekonominya masing-masing. Mesti ada koordinasi dan sinkronisasi ekonomi antar semua kabupaten kota yang ada di Bali dalam kerangka Manajemen Provinsi Bali. Mari selamatkan Bali dengan cara berpikir yang jernih, paras paros selunglung sebayantaka, tidak untuk ngotot-ngototan. Hormatilah para leluhur kita yang telah menjaga dan mewariskan Bali dengan segala kelebihannya.

Ketahanan Pangan Terancam

Lahan pertanian yang diartikan sebagai tanah garapan untuk tujuan produksi pertanian kini telah semakin menyempit. Idealnya setiap KK petani dapat menggarap lahan seluas 2 hektar, namun kenyataannya kini hanya 0,35 hektar. Hal ini merupakan proses pemiskinan petani. Skala usahatani yang kecil itu disebut petani gurem atau petani rakyat. Kondisi tersebut berdampak kepada ketidakberdayaan petani dan ketidakseriusan petani menggarap lahan sawahnya. Bila pemiskinan itu terus terjadi, siapakah yang mau terjun menjadi petani profesional?. Akankah ketahanan pangan bisa berlanjut?.

Alih fungsi lahan pertanian antara tahun 1997-2007 telah terjadi sekitar 661 hektar atau sekitar 0,8% per tahun. Lahan tersebut kebanyakan difungsikan untuk fasilitas pariwisata yakni hotel, restoran, villa, serta pembangunan perumahan, perkantoran, industri, dan lain-lain. Di samping itu, alih fungsi lahan juga telah terjadi pada kawasan perkebunan atau tegalan dan kehutanan. Banyak lahan kebun atau tegalan yang berubah fungsi menjadi bangunan perumahan, bangunan peternakan, villa, atau menjadi tanaman industri yang jangka pendek yang daya resap airnya sangat kurang.

Bila kondisi tersebut dibiarkan tanpa kendali, maka dapat mengakibatkan degradasi sumber daya lahan dan air, semakin melemahnya daya saing petani, rendahnya efisiensi usaha, lemahnya pemasaran hasil, kurangnya keseriusan dan kemandirian petani, dan lemahnya penegakan hukum. Status kehidupan petani akan semakin terpuruk, dan mereka pasti akan mencari mata pencaharian lainnya. Dampaknya kini muncul petani sambilan, petani status yang senantiasa meratapi kemiskinannya.

Alih Profesi

Bila profesi sebagai petani tidak lagi menjamin kehidupan yang layak, maka generasi muda anak petani tentu akan berpikir untuk melanjutkan profesi orang tuanya. Bila ada profesi lain yang mampu memberikan tingkat kehidupan yang lebih baik, mengapa harus bertahan sebagai petani. Inilah fakta yang terjadi di Bali saat ini. Saat ini sebagian besar generasi muda petani sudah bekerja di sektor pariwisata, yakni sebagai karyawan Kapal Pesiar, hotel, restoran, perusahaan swasta dan yang jelas berbondong-bondong ingin melamar menjadi pegawai negeri (pegawai pemerintah). Fenomena ini haruslah terbaca oleh kita semua.

Di sisi lain saya setuju dengan berkurangnya jumlah petani, karena akan berdampak kepada luasnya lahan garapan petani. Semoga saja masih ada pemuda yang memang mempunyai hobi luar biasa (gila, red) di bidang pertanian. Mereka diberi kesempatan untuk tumbuh menjadi petani-petani profesional, petani dengan luas garapan optimal. Pemuda lainnya yang tidak mempunyai hobi di bidang pertanian, silahkan saja bekerja di sektor minat dan hobinya.
Persoalannya sekarang, fasilitas apa yang mampu disiapkan oleh pemerintah kepada anak bangsa yang mau dan mampu menekuni sektor pertanian?. Bagaimana jaminan kepastian lahan garapan mereka? Dan bagaimana pula kinerja pengolahan hasil dan pemasaran hasil pertaniannya?

Mengapa Terjadi Alih Fungsi Lahan

Kebijakan struktural dan pergeseran nilai-nilai sosial ekonomi telah menimbulkan keharusan dan keterpaksanaan bagi petani untuk menjual lahan garapannya. Perkembangan sektor pariwisata yang berlebihan, industri, perdagangan, dan lain-lain telah menjadi andil besar atas keterpaksaan itu. Kemajuan pembangunan sektor pariwisata, industri dan perdagangan telah menyebabkan harga tanah demikian meningkat tajam. Nilai Jaminan Obyek Pajak (NJOP) ikut meningkat, melebihi kemampuan petani untuk membayarnya. Tidak ada subsidi bagi petani pemilik lahan atas kewajiban pajaknya. Sulitnya memperoleh air, karena air irigasi tersumbat. Harga jual hasil yang tidak sepadan dengan biaya produksi. Meningkatnya peluang untuk bekerja di sektor jasa dan industri perdagangan. Semakin terancamnya keberadaan subak. Tidak adanya anak petani yang mau mengejakan sawahnya. Semua variabel itu telah mendorong niat petani untuk menjual lahan garapannya.

Setiap berdiri bangunan fasilitas sosial ekonomi yang baru akan terus mempengaruhi tingkat harga jual tanah berikutnya. Demikan seterusnya, maka lahan pertanian pun akan semakin habis. Akibat lainnya adalah terancamnya eksistensi subak yang merupakan inspirator budaya Bali, menurunnya minat generasi muda potensial untuk menjadi petani, dan pada akhirnya akan semakin melemahnya budaya Bali. Bila hal itu terjadi maka pariwisata Bali yang iconnya pariwisata budaya pun akan hancur berkeping-keping. Sadarlah akan kondisi yang memprihatinkan itu. (Prof. Dr. Nyoman Suparta, Ketua DPD HKTI Bali).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar