Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 18 Januari 2012

Ngaben Massal di Buleleng Dijadwal Tiga Tahun Sekali

Laporan Made Mustika

Sebelum berbicara, Nyoman Sutrisna mengguap kecil. Rona wajahnya sedikit pucat. Maklum, dia melewati malam minggu hingga subuh. Apakah Sutrisna seorang remaja yang menghabiskan malam minggunya sampai larut panjang? Atau menonton siaran langsung sepak bola Liga Eropa? Oh, tidak.

Ir. Nyoman Sutrisna, M.M. adalah seorang tokoh adat dan sekaligus seorang birokrat di Buleleng, Bali. Jabatan formalnya adalah Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buleleng. Selain itu dia juga dipercaya sebagai kelian Desa Adat Buleleng yang mewilayahi belasan kelurahan di Singaraja. Masing-masing kelurahan itu, secara administrasi desa adat, adalah sebuah banjar.

Pada Sabtu, tanggal 3 Desember 2011, dia sangat sibuk hingga malam hari. Karena Sutrisna harus memastikan semua pekerjaan yang di hadapinya berjalan dengan baik. Pekerjaan apakah yang dihadapinya saat itu? Ini pekerjaan besar menurut tradisi beragama di Bali, yaitu ngaben. Apalagi yang dihadapainya ngaben massal, ngaben yang melibatkan banyak orang. Pengabenan itu diikuti 621 sawa. Masing-masing sawa dikenakan biaya Rp 1 juta.

Ngaben tunggal saja sudah menguras energi banyak, apalagi ngaben massal. Karena itu Sutrisna bersama segenap panitia harus kerja keras demi suksesnya gawe besar itu. “Suara saya sampai serak karena begadang,” katanya ketika ditemui di setra Buleleng, Minggu 4 Desember 2011 lalu. Hari itu merupakan puncak acara ngaben massal.

Suasana setra Buleleng saat itu seperti pasar tradisional menjelang Hari Raya Galungan. Lautan manusia, yang umumnya berbusana serba putih, tumpah ke setra. Tentu ada beberapa di antaranya menggunakan baju warna lain. Mereka mengerahkan seluruh energinya untuk kemuliaan roh leluhurnya.

Tentu seluruh panitia dan peserta ngaben massal itu perlu kerja keras dan begadang. Itulah sebabnya rata-rata mereka mengaku kecapian. Sebab ngaben, sebagaimana dimaklumi, dipandang sebagai kewajiban keagamaan terberat bagi umat Hindu di Bali. Sampai-sampai ada yang tak sanggup mengabenkan leluhurnya yang telah lama meninggal dunia.

Ngaben massal itu merupakan kali pertama yang dilaksanakan oleh Desa Adat Buleleng. Salah satu alasan diselenggarakan ngaben massal tersebut, sebagaimana disebutkan Sutrisna, karena ingin membantu umat yang tak mampu. Sebab banyak umat yang tidak mampu ngaben mandiri lantaran tak cukup uang. Ngaben mandiri butuh biaya besar. Itulah sebabnya banyak umat yang “angkat tangan” terhadap kewajibannya yang satu ini. Kondisi itu tak pelak memancing pertanyaan banyak orang, mengapa urusan kematian di Bali sangat ribet dan mahal? Tidakkah dapat lebih disederhakan?

Jawaban sementara atas pertanyaan itu adalah ngaben massal. Kalau tidak ada ngaben massal, tentu banyak umat Hindu yang terbebani oleh kewajiban ritual itu. Bukankah agama diturunkan untuk meringankan umat manusia? Dengan kata lain, keyakinan suatu masyarakat hendaknya tidak untuk menambah beban hidup.

Kelian Desa Adat Buleleng mengaku telah mengacu pada sastra agama dalam melaksanakan ngaben massal tersebut. “Ngaben ini tidak mengacu pada tradisi semata, kami sudah disesuaikan dengan sastra agama,” kata N. Sutrisna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar