Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 18 Januari 2012

Krishna: Bapak Komunisme

Jauh sebelum Karl Marx, Lenin dan Mao, sosok figur historik di India berjuang melawan penindasan, memperjuangkan hak kaum miskin, menolak dogma agama dan spiritualitas kosong, dan berusaha menginspirasi perilaku budiman dan tanpa pamrih di masyarakat. Ajaran dasar komunisme menyatakan bahwa semua adalah sama dan mereka yang mengeksploitasi dan menindas mesti dihukum berat. Ajaran yang melawan dogma-dogma publik, dan menyokong rasa peduli dan berbagi. Tujuannya adalah menciptakan masyarakat yang bebas dari keakuan, autokrasi, aristokrasi dan semua bentuk penindasan terhadap orang.

Hidup dan pesan Krishna memperlihatkan bahwa dia meneguk, mengajar dan berjuang untuk prinsip-prinsip disebut di atas, lebih dari 5000 tahun lalu. Senyatanya, analisis obyektif atas Bhagavad Gita akan mengungkapkan bahwa Krishna adalah seorang komunis yang lebih baik dari Karl Marx! Kita malah bisa lebih jauh mendeskripsinya sebagai Founder sejati Komunisme! Krishna tumbuh di kalangan pengembala sapi, yang sekarang bisa disebut sebagai para OBC (Other Backward Classes – kelas terbelakang). Dia sendiri adalah seorang pengembala, dan bekerja untuk memberdayakan kaumnya. Di kemudian hari ia membunuh Kansa – pamannya sendiri, namun seorang raja penindas – dengan demikian membebaskan seluruh rakyat Mathura dan Brindawan dari tirani. Sepanjang hidupnya, Krishna peduli kepada mereka yang miskin dan lemah. Pada perang Mahabharata, ia sebenarnya bisa saja berpihak pada Kaurawa yang berkuasa, namun memilih Pandawa yang tak memiliki apa-apa kecuali maksud baik dan hati murni. Ia bekerja untuk mereka, dan sebagai duta besar perdamaian mereka.

Jadi misinya benar-benar diarahkan kepada yang miskin dan tertindas – korban para aristokrat. Karena itu ia dijuluki Deenabandhu atau Deenavatsala – teman si miskin. Cerita tentang Sudama, Brahmana miskin, adalah episode yang dikenal luas dalam kehidupan Krishna. Orang-orang sering berpikir bahwa kaum Brahmana adalah para penindas. Senyatanya, kaum Brahmana selalu miskin! Kita tidak mendengar contoh-contoh atau cerita-cerita Brahmana kaya dalam sejarah atau Purana. Cinta dan rasa welas asih Krishna sedemikian rupa sehingga ia menghormati Sudama; dengan demikian meretas pembatas antar-golongan.

Krishna melawan praktek-praktek keagamaan dogmatis di jamannya. Sekarang pun tetap dikenal luas bahwa saat itu seluruh masyarakat menghentikan puja korban yang dilakukan untuk Indra, sebaliknya atas saran Krishna beralih untuk memelihara sapi dengan baik (Pooja Govardhan) dan menjunjung pengetahuan Diri (“Govardhan” juga berarti menjunjung pengetahuan). Sebagai tambahan, Krishna mempromosikan “Annakoot” – makanan untuk semua.

Dia juga melawan mereka yang selalu berargumentasi mengatasnamakan Weda. “Yamimam pushpitam vacham… Veda vada ratah Partha…” (…Bhagawad Gita, Bab 2). Ia mengatakan bahwa mereka yang disetir oleh keinginan-keinginan sepele, mereka yang mengambil hati dewa ini atau itu, dan mereka yang terperangkap dalam ritual-ritual kecil dan keserakahan, adalah para pandir (moodha). Ia juga mengatakan , “Mereka yang menyembah banyak dewa dan melakukan banyak ritual adalah mereka yang intelegensinya kurang.” Akhirnya, setelah menjelaskan secara rinci tentang seluruh aspek kehidupan, pengetahuan dan kewajiban, ia berkata, “Sarva dharman parityajya mamekam sharanam vraja” – tinggalkan semua dharma dan berlindunglah padaku, berlindunglah pada Diri Yang Agung. Ini betul-betul revolusioner! Karl Marx juga mengatakan untuk menanggalkan agama: “Agama adalah madat kaum kebanyakan.”

Melampaui agama adalah pencarian akan kebenaran. Jadi bagaimana caranya orang untuk melangkah lebih jauh? – Krishna membimbing Arjuna dan orang-orang ke dalam pengalaman spiritual – sesuatu yang hampir tidak ada di Komunisme kekinian. Untuk menembus agama, orang perlu memahami apa itu agama. Dengan hanya membenci agama, Anda/kamu tidak akan menjadi non-religius – sebaliknya, kamu malah akan terperangkap di dalamnya dalam bentuk lain, dan inilah yang terjadi di dunia saat ini. Karl Marx tidak mengetahui spiritualitas India. Yang ia lihat adalah keyakinan buta dan aturan otoriter institusi-institusi agama yang ada di Rusia pada masa itu. Berbeda dengan Krishna yang membawa kita melampaui agama. Krishna juga mengatakan untuk melepaskan agama, namun perbedaannya adalah Krishna membawa seseorang pada keterjagaan spiritual, pengetahuan, kebenaran dan keindahan.

Kepercayaan diri yang terbangun pada orang-orang yang mengetahui kedalaman dan rahasia ciptaan adalah begitu mengagumkan dan indah – tanpanya, hidup menjadi kering. Jadi buatlah transisi dari agama menuju spiritualitas. Inilah yang tak ada pada prinsip Karl Marx. Krisnha, sebaliknya, memperlihatkannya secara jelas, dan ia memberikannya kepada dunia dalam bentuk Bhagavad Gita. Bagaimanapun Komunisme tidak bisa menolak Krishna karena ia adalah perwujudan dari prinsip-prinsipnya secara lebih berarti. Kalau kita tidak bisa melihat kenyataan, kebenaran ini, dengan pikiran terbuka maka kita hanya menggantikan agama lama dengan agama baru yang bernama komunisme. Karena itu kita mesti sadar – kita mesti terjaga – untuk beradaptasi dengan perubahan jaman.

Saya heran kenapa para komunis belum “mengakui” Krishna! Dalam Gita, Krishna sering berkata, “Yo mam pasyati sarvatra” – ia yang melihat saya di setiap orang, ia yang melihat dirinya di setiap orang, adalah ia yang melihat Kebenaran. Ini adalah prinsip dasar Komunisme – melihat setiap orang sebagai diri sendiri.

Ia berkata bahwa kulit pisang hanya berarti selama masih ada pisang di dalamnya. Ketika kamu memakan pisangnya, kulit tidak ada artinya lagi. Demikian halnya agama tidak bisa membawa orang ke kebenaran sejati, ke tujuan; agama hanya bisa sampai pada jarak tertentu. Adalah spirit penyelidikan diri – watak ilmiah seseorang – yang mengantar seseorang ke kedalaman. Agama tertinggal di belakang, sementara seseorang bergerak ke dalam alam humanisme murni atau Keilahian murni – ini adalah tonggak ajaran-ajaran Krishna.

Tidak seperti di Barat di mana para ilmuwannya dulu disiksa, dan mempertanyakan kitab-kitab religius dilarang, India justru mendukung pengkritisan dan perenungan. Terbukti kebanyakan kitab-kitab di India berformat tanya-jawab. Setelah mengutarakan pendapat, Krishna memberitahu Arjuna untuk berpikir secara independen dan mempertanyakan. Ia memberitahu Arjuna bahwa Arjuna memiliki kebebasan untuk menerima atau menolak pendapatnya. Ia tidak pernah memaksakan idenya. Walau komunisme menyokong pemikiran rasional, kita mendengar banyak kaum komunis yang tidak memberikan kebebasan kepada orang lain untuk menyatakan ideologi yang berbeda. Di saat bersamaan, Krishna juga menginspirasi Arjuna untuk bertempur, dan menolak penindasan – sesuatu yang lagi-lagi juga dikatakan oleh kaum komunis. Krishna menyarankan Arjuna untuk bertempur, tanpa kemarahan dan kebencian, namun dengan kecerdasan, ketenangan hati dan kebijaksanaan.

Satu lagi prinsip komunisme adalah berbagi. Sebagai bocah, Krishna berbagi mentega dengan kawan-kawannya. Di kemudian hari ia berbagi kekayaan. Di dalam Srimad Bhagavatam, disebutkan bahwa di hari-hari akhirnya, setiap pagi Krishna memberikan hadiah kepada orang-orang. Fitur menonjol dari komunisme adalah bekerja untuk masyarakat. Sangat menentang konsumerisme dan keserakahan. Ini dijelaskan oleh Krishna dalam Karma Yoga: “Karmanye vadhikaraste…” Lebih jauh ia juga mengatakan bahwa orang yang betul-betul bijaksana melihat semua manusia sama dan tidak membedakan antara Brahmana dan pariah, atau yang berilmu dan yang tidak: “Vidyavinaya sampanna…” Komunisme sering menentang sistem kasta, tetapi suka tak suka, sistem ini telah lama dipraktekkan di seluruh dunia. Bahkan sampai sekarang, dalam bentuk kelompok profesi. Sebagai contoh, kamu tidak akan bisa masuk ke kelompok Angkatan kalau kamu bukan seorang tentara; atau kamu tidak bisa masuk ke Asosiasi Dokter India kalau kamu bukan seorang dokter! Sistem kasta yang telah ada jauh sebelum jaman Krishna, kurang-lebih sama dengan kelompok profesi kini – bukan berdasarkan kelahiran, tetapi berdasarkan alamiah dan pekerjaan seseorang: “Guna karma svabhawaavaja…”

Ada banyak contoh mereka yang terlahir ke dalam kasta tertentu, tetapi menjadi bagian kasta lain karena profesi. Veda Vyasa, contohnya, yang lahir dari seorang ibu nelayan, tetapi dihormati sebagai pemegang otoritas Veda. Fakta yang paling mengherankan adalah dari seribu rishi (rsi) hanya segelintir yang lahir dari apa yang disebut-sebut sebagai kasta tinggi. Satu sanggahan dari pernyataan – “para shudra adalah kaki dari para purusha” – karena berupa penghinaan. Patut dicatat di sini bahwa segala bentuk penghormatan dan pemujaan ditujukan pada kaki (semisal Pada Pooja, Padanamaskara.) Kalau tujuan memang untuk tidak menemukan harmoni, tetapi menyebarkan kebencian dan kemarahan, kamu akan senantiasa menemukan sesuatu yang tak disetujui pada apa dan siapa saja!

Banyak yang berbicara tentang komunisme, tetapi mereka melakoni hidup kapitalistik. Tetapi Krishna tidak pernah melakukan hal itu. Ia tidak pernah menjadi raja, walaupun disebut Dwarkadheesh. Ia tetap menjadi pelayan dari raja Dwarka; ia adalah raja tanpa mahkota. Ia berjuang untuk kepentingan kaum miskin. Ia melihat kesamaan pada siapa saja. Karena itulah Krishna dikenang selama berabad-abad. Sekarang tiba-tiba menjadi semacam kebiasaan untuk melihat Ramayana atau Mahabharata sebagai epik, dan bukan sebagai sesuatu yang betul-betul terjadi! Ini betul-betul menggelikan karena sesuatu yang hanya berupa legenda tidak mungkin bisa berpengaruh sedemikian kuat ke seantero benua dan lebih jauh lagi. Tanpa teknologi atau bentuk komunikasi modern, Ramayana dan Mahabharata memberi pengaruh yang begitu besar pada peradaban. Kata Sansekerta “itihasa” (sejarah) berarti terjadi seperti itu adanya; demikianlah kejadiannya.
Diterjemahkan dari salah satu booklet wejangan Yang Mulia Sri Sri Ravi Shankar (Pendiri the Art of Living Foundation) berjudul Krishna – Absolute Joy oleh I Gusti Raka Panji Tisna

2 komentar:

  1. mantap....
    sedikit tentang kasta dibali sebagai tambahan....
    http://cakepane.blogspot.com/2012/07/sistim-kasta-di-bali.html

    BalasHapus
  2. Setuju.. namun istilah komunisme sudah menjadi AIB bagi bangsa ini. Propaganda ORBA yg masih menghantui di benak sanubari.

    BalasHapus