Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 08 Desember 2011

Mitos Dosa Tujuh Turunan Meracuni Pikiran

I Wayan Miasa

Dalam setiap agama selalu mengenal istilah dosa, kutukan atau istilah-istilah lainnya yang berhubungan dengan perilaku masyarakat. Sebagai buktinya adalah bahwa setiap kehidupan masyarakat tersebut memiliki kesamaan (kemiripan). Hal ini kita bisa lihat pada padanan kata-kata dosa atau kutukan tersebut di negara yang sudah maju. Misalnya dalam bahasa Inggris ada istilah “Sin” untuk dosa dan dalam bahasa Jerman disebut “Sünde”, sedangkan untuk kata kutukan ada istilah “Curse” (bahasa Inggris), “Fluch” (bahasa Jerman) di Bali kita mengenal sebutan “pastu” dan lain sebagainya,


Sehubungan dengan istilah dosa tersebut di atas dalam kehidupan bermasyarakat kita sering terdengar istilah “dosa tujuh turunan”, “kutukan tujuh turunan” serta yang istilah-istilah lainnya yang dihubungkan dengan perilaku yang dianggap melanggar norma sosial dan norma ajaran agama. Dalam ajaran Karmaphala disebutkan, bahwa setiap aktivitas manusia akan membawa hasil. Phala karma itu sangat tergantung dari kegiatan yang dilakukan. Kegiatan yang baik atau apa yang dikenal dengan istilah subhakarma tentunya suatu saat akan mendapat pahala yang baik begitu juga sebaliknya kegiatan ashubakarma akan mendapatkan hasil yang tidak baik pada suatu masa. Dan seseorang yang tidak melakukan sesuatu atau akarma tentu mereka tidak akan mendapatkan hasil.

Dalam realita kehidupan masyarakat, sering terjadi bahwa orang yang berbuat tidak baik hidupnya justru mewah penuh dengan kesenangan, sedangkan orang yang berbuat baik justru sebaliknya. Hal ini sebenarnya terjadi karena adanya proses menikmati phala karma masa lalu orang itu. Hal ini juga dicontohkan dalam cerita Mahabharata, misalnya Duryodana dan saudaranya pertama-tama hidupnya mewah dan akhirnya hidupnya penuh dengan penderitaan. Sebaliknya pertama-tama hidup para Pandawa susah penuh kesulitan, namun pada akhirnya Pandawa mendapatkan kejayaan. Kejadian semacam tersebut adalah proses panjang yang memiliki rentang masa tertentu.

Begitu juga tentang kutukan bahwa kutukan tersebut tak selamanya membawa bencana seperti halnya yang terjadi pada diri Arjuna. Dia dikutuk oleh Urvasi saat berada di Indra Loka dan atas campur tangan Dewa Indra kutukan tersebut pada suata masa sangat bermanfaat bagi Arjuna saat sang Pandawa hidup dalam penyamaran, sehingga Arjuna dengan mudah mengelabui masyarakat Wirata saat itu.

Kembali mengenai dosa atau kutukan tersebut hal itu tak perlu ditakuti karena Tuhan telah memberikan janji kepada makhluk di dunia ini mengenai pembebasan manusia dari belenggu dosa itu. Jika makhluk hidup tersebut mengikuti tatanan yang telah ditetapkan dalam ajaran buku-buku suci, maka Tuhan membebaskan makhluk tersebut dari belenggu tersebut sesuai yang disabdakan oleh Shri Krishna dalam Bhagawad Gita bab. 4. 36-37. Dalam Sloka tersebut dinyatakan bahwa dengan perahu ilmu pengetahuan rohani orang akan bisa menyeberangi lautan dosa tersebut. Artinya manusia itu hendaknya selalu berusaha menguasai ilmu pengetahuan, sehingga mereka tersebut terbebas dari belenggu dosa atau kebodohan menuju ke arah pembebasan berupa pencerahan atau apa yang disebut dengan Aufklӓrung. Bahkan di agama tertentu aspek penebusan dosa (Beichte) dan pembebasan ini bahkan dipropagandakan untuk menarik minat orang di luar agama mereka.

Oleh karena itu kita seharusnya berusaha melepaskan diri dari belenggu mitos tentang adanya dosa yang berlangsung secara turun temurun. Pendapat yang membuat kita selalu berada dalam keadaan ketakutan dalam kehidupan beragama tersebut seharusnya dibuang jauh-jauh dari praktek kehidupan beragama dan kita seharusnya selalu mengacu pada ajaran buku suci agama kita. Terjadinya pemahaman akan adanya dosa turun temurun itu karena dalam praktek beragama itu kita lebih mengedepankan tindakan menakut-nakuti kepada orang lain daripada aspek pencerahan, sehingga orang itu menjadi tertekan dalam menjalankan praktek keagamaan.

Dalam pembangunan watak warga kita, mereka sering tidak diajarkan bagaimana caranya menuju jalan pencerahan atau memahami ajaran-ajaran buku suci seperti yang diwahyukan oleh Tuhan, tetapi ada pihak yang menjejali mereka dengan berbagai dogma yang menjadikan umat jatuh dalam kecemasan. Padahal kalau kita simak ajaran agama kita secara seksama, maka dapat disimpulkan bahwa ajaran agama kita itu mengajarkan keadilan atas perbuatan kita atau apa yang kita sebut dengan karma phala. Dan bila kita melakukan kewajiban kita sesuai dengan “warna” kita maka tindakan kita akan terbebas dari reaksi dosa.

Menurut beberapa sloka yang saya pernah baca di Bhagawad Gita, dalam ajaran agama Hindu tersebut Tuhan akan turut campur tangan dalam hal membebaskan para bhaktanya dari belenggu dosa bila mana mereka tersebut berserah diri kepada Beliau dengan kerendahan hati, tidak egois dan lain sebagainya. Dalam Bhagavadgita, Bab 18. 34 dipertegas lagi oleh Shri Krishna, bahwa kita hendaknya melakukan sesuatu tersebut sesuai dengan swadharma kita, sehingga proses pembebasan manusia dari dosa akan diatur sesuai kehendak Tuhan dan bukan kehendak manusia. Apalagi masyarakat tersebut telah berserah diri kepada Tuhan.

Namun masyarakat Hindu di mana pun mereka berada seharusnya tidak mencuri keuntungan dari sloka-sloka yang yang disabdakan oleh Shri Krishna dalam Bhagawad Gita karena praktek beragama Hindu itu bukanlah praktek beragama barter dengan Tuhan. Begitu juga agama Hindu mengajarkan para bhaktanya berbuat sesuai dengan swadharma masing-masing individu dan mereka diajarkan berbuat untuk tidak terikat oleh hasilnya dan segala tindakan itu kita dedikasikan untuk Tuhan.

Pemeluk agama Hindu selalu dianjurkan berbuat dalam pertimbangan sifat satwika di dalam aspek kehidupannya sesuai hukum karmaphala, sehingga praktek penebusan dosa (Beichte) tidak dilakukan dengan berbarter dengan Tuhan tetapi dilakukan dengan menguasai ajaran rohani guna menyeberangi lautan dosa. Menurut faham Hindu, dosa tersebut akan berangsur-angsur berkurang bilamana kita melakukan sesuatu kegiatan tersebut berpasrah diri tanpa harus terikat hasilnya. Yang pokok adalah bagaimana membuat sarwa prani tersebut senang dan selalu berada pada jalur perintah buku suci. Dengan cara seperti itu masyarakat akan selalu berusaha membuat orang lain senang atau bahagia. Dan jarang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari dimana kita melakukan sesuatu yang bertentangan dengan dharma atas dasar pertimbangan penghapusan dosa pada saat tertentu. Dalam proses tatanan beragama Hindu yang diajarkan adalah membebaskan diri dari belenggu kebodohan. Umat Hindu diajarkan untuk mengasihi makhluk lain (prema) dan bukan menyumpahi mereka dengan dosa tujuh turunan.

Untuk menghindari peracunan pikiran masyarakat Hindu dari adanya pendapat tentang dosa komunal yang berlangsung turun temurun, hendaknya warga kita itu diberikan ajaran agama yang sesuai dengan sastra Hindu dan bukan mencampuradukkan ajaran tersebut dengan mitos-mitos yang tak berdasarkan sastra. Hal ini perlu dipahami karena adanya pola perubahan perilaku praktek beragama masyarakat kita jaman dulu dan jaman sekarang. Oleh karena masyarakat Hindu jaman sekarang keadaannya tidak buta huruf lagi, maka seharusnya mereka diajarkan dengan cara yang lebih logis. Berbeda dengan jaman dulu dimana warganya cukup ditakuti-takuti dengan kata magis “aja wera” mereka akan tunduk. Hal ini tidak berlaku di jaman sekarang di mana masyarakatnya semakin melek, maka ajaran yang disampaikan pun harus diadaptasikan dengan keadaan masa kini.

Suatu contoh saja, bila ada orang yang kaya lantas sekarang jatuh miskin karena berjudi, maka hal itu terjadi akibat dari tindakan bodohnya menggunakan uang, bukan karena mereka berdosa karena judi dan kejadian lainnya. Untuk menghindari kesalahpengertian semacam ini marilah kita kembali kepada ajaran agama itu sendiri dengan mengikuti perintah dan menaati larangan Tuhan yang dicantumkan dalam kitab suci, sehingga tidak terjadi kebodohan atau tindakan yang sering melawan ajaran sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar