Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 08 Desember 2011

Kawin “Pada Gelahang” Sudah Biasa di Kekeran

Ketika di Desa Tajun, Buleleng, terjadi perkawinan pada gelahang, beberapa bulan lalu, belum semua masyarakat di sana siap menerima. Terbukti banyak masyarakat yang bisik-bisik mempertanyakan ritual tersebut. Kata pepatah, lain lubuk lain belalang. Lain Buleleng, lain pula Tabanan.

Di Tabanan, khususnya di Banjar Kekeran, perkawinan pada gelahang sudah dianggap hal biasa. Banjar Kekeran adalah satu satu dari enam banjar di Desa Penatahan, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Dari pusat desa, untuk menemukan tempat itu harus menempuh jalan tak beraspal sejauh satu kilometer. Walau kondisinya demikian, tak masalah bila mobil lalu-lalang di banjar itu, sebab jalan dimaksud sudah dikeraskan dan tak becek saat musim hujan seperti sekarang ini. Dengan kecepatan sedang, Raditya melewati deretan sawah-sawah milik petani setempat, pertengahan November 2011.

Seperti umumnya penduduk Bali lainnya, warga Kekeran nampak ramah-ramah. Mereka hidup guyub satu sama lain. Sore hari mereka biasanya santai ngobrol di depan rumah atau duduk selonjor sambil menonton TV di ruang tamu, setelah pagi hingga siang mereka bekerja. “Ya, saya lagi istirahat setelah bekerja di sawah,” kata Ketut Widarta (42) kepada Raditya. Sore itu Widarta sedang berbelanja minuman dan rokok di sebuah warung. Setelah sebatang rokok yang dibelinya itu habis diisap, barulah dia pulang.

Tak jauh dari warung itu terlihat sepasang suami-istri asyik ngobrol sambil duduk di depan pintu masuk rumah mereka. Pasangan itu adalah Nyoman Sugiarta (35) dan Ni Wayan Deli Ekayanti (32). Mereka telah dikarunia dua orang anak. Pasangan itu, menurut adat yang berlaku umum di Bali, sebenarnya dianggap menyimpang. Mengapa? Dalam hal perkawinan, adat di Bali mengatur sistem patrinial, yakni pihak istri yang luluh-masuk ke keluarga suami. Segala tanggung jawab suami terhadap rumah tangga dan sosialnya, seperti perawatan pura keluarga, mesti didukung sepenuhnya oleh pihak istri. Tetapi tidak berlaku sebaliknya. Tegasnya, pihak istri boleh dikatakan melepas total tanggung jawabnya pada keluarga asal.

Dalam kasus Sugiarta dan Deli Ekayanti yang terjadi sebaliknya, dalam hal ini Sugiarta yang melepas dan memutuskan tanggung jawab sosialnya terhadap keluarga asal. Atau Sugiarta yang datang dan “menempelkan” dirinya kepada keluarga sang istri. Semua anak yang dilahirkan dari pasangan ini harus diakui sebagai trah Deli Ekayanti (pihak istri). Membandingkan dengan zaman kerajaan tempo dulu, posisi Deli mungkin bisa dianggap sebagai ratu. Silsilah keluarga atau trah di Bali sangat peka, terlebih lagi bila bersentuhan dengan “kasta”. Sistem adat di Bali dalam pengaturan keturunan itu dikenal dengan istilah purusa. Pihak yang tidak memiliki hak trah dalam pasangan suami-istri disebut predana. Kedudukan purusa hampir selalu dilekatkan dengan laki-laki. Sementara predana adalah pihak perempuan. Pada kasus perkawinan Sugiarta dengan Ekayanti, suami sebagai pihak predana dan istri sebagai purusa. “Walaupun saya sebagai pihak purusa, namun suami tetap sebagai kepala keluarga,” kata ibu dua orang anak itu. Ekayanti adalah pegawai di perbekelan desa setempat, sementara suaminya sebagai petani.

Menurut tetua di banjar tersebut, perkawaninan yang melabrak sistem adat di Bali itu dikenalkan sebagai istilah kawin nyentana atau kawin nyeburin. “Sistem perkawinan nyentana atau nyeburin sudah biasa di banjar kami,” terang Ketut Suwandra, yang kini menjabat kelian adat bagi banjar yang berpenduduk 70 KK tersebut. Menurut cerita orang-orang tua di sana, sistem perkawinan demikian dimulai sejak Indonesia belum merdeka. Ketut Suwandra menyebut angka tahun 1930-an sebagai titik awal sistem perkawinan seperti itu. “Sejak awal hingga sekarang kami menerima perkawinan tersebut dengan baik. Pihak manapun yang berposisi sebagai predana, apakah si istri atau suami, tak pernah ada masalah,” lanjut Suwandra. Akhir November lalu anak pertama Suwandra, perempuan, telah melaksanakan upacara perkawinan pada gelahang dengan seorang pemuda asal Jembrana. Padahal anak keduanya yang masih SMP adalah laki-laki. Perkawinan pada gelahang tidak ditentukan oleh ketidakhadiran anak-anak laki-laki dalam sebuah keluarga. Tapi berupa pilihan bebas.

Sistem perkawinan demikian sama sekali tidak memengaruhi keharmonisan dalam rumah tangga. Suwandra mengatakan, selama dua kali memangku jabatan kelian adat, dirinya tak pernah direpotkan oleh warganya dalam urusan rumah tangga. Apalagi yang namanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). “Sehingga ketika kami memimpin rapat adat, yang dibicarakan melulu soal pembangunan atau piodalan pura. Tak pernah kami membicarakan masalah keributan keluarga, karena tidak pernah ada masuk laporan demikian,” jelasnya.

Keterangan Suwandra itu dibenarkan oleh beberapa warga yang berhasil Raditya temui. Seperti diungkapkan Ketut Widarta, “Kalaupun terjadi keribuatan dalam keluarga, paling jauh hanya sampai pada adu mulut. Tak sampai terjadi pemukulan.” Widarta adalah mantan ketua adat sebelum digantikan oleh Suwandra.

Sistem perkawinan yang unik itu telah berhasil menggaet tiga pemuda non-Hindu menjadi pemeluk Hindu. Karena mereka terpikat dengan gadis Kekeran. Di Jawa hal ini sebenarnya sangat lumrah, dimana laki-laki sudah umum kawin ke rumah perempuan. Apakah adat di Kekeran mengadopsi sistem perkawinan di Jawa? Entahlah.

Mungkin karena sistem perkawinan yang “cair” dan kekerasan terhadap perempuan di sana jarang terjadi, maka oleh sebuah lembaga bantuan hukum (LBH) di Bali, banjar itu lantas dilirik untuk ditetapkan sebagai desa setara sejak 3 tahun lalu. “Namun resminya banjar itu kami tetapkan sebagai desa setara baru Juli 2011,” kata Made Budawati, salah seorang pegiat LBH Apik yang bermarkas di Denpasar. Kata setara mengandung makna tiada yang lebih tinggi antara yang satu dengan yang lainnya, termasuk kedudukan berumah-tangga antara suami dan istri.

Selama 3 tahun ini, LBH Apik sering menemui tokoh-tokoh masyarakat Desa Penatahan, utamanya di Banjar Kekeran, agar kebijakan lokal tersebut dapat dipertahankan dan dipelihara terus. “Apa yang dapat kami lakukan belum banyak. Justru kami melihat suatu sistem yang sudah berjalan baik sejak lama. Karena itu kami tetapkan banjar tersebut sebagai banjar setara, mudah-mudahan mengimbas ke desa-desa lain,” imbuh Budawati.
Perbekel Desa Penatahan, Nyoman Kurnawiasa, mengakui kalau desanya pernah menjadi sorotan publik lantaran cukup marak terjadi KDRT di sana pada beberapa tahun lalu. “Bahkan pernah sekali ada pelecehan terhadap perempuan di bawah umur. Namun setelah kami tangani bersama tokoh-tokoh masyarakat, masalah KDRT serta pelecehan itu berhasil kami atasi. Dari akhir 2009 hingga sekarang, tak ada lagi masuk laporan dari masyarakat terkait KDRT,” ujar Kurnawiasa yang dilantik sebagai perbekel pada Maret 2007.

Dia menambahkan, pada awal pelantikannya sebagai kepala desa ada sekitar 8 KDRT yang masuk ke mejanya. Setelah diidentifikasi, masalah KDRT timbul karena kemiskinan (alasan ekonomi) atau dipicu oleh perbuatan suami yang suka berjudi atau mabuk karena menenggak minuman keras (miras). Untuk menyadarkan mereka, selain memberi nasihat, pangkal persoalannya juga harus dientaskan. Persoalan ekonomi ditanggulangi dengan menggerakkan ekonomi desa agar tersedia lapangan pekerjaan. Melalui upayanya bersama-sama para tokoh masyarakat lainnya, kini di Desa Penatahan sudah ada pasar senggol yang buka sore hingga malam hari. Dengan adanya pasar senggol, industri rumah tangga seperti pembuatan jajan kini tumbuh subur.

Masyarakat Hindu di Bali yang sangat tinggi aktvitasnya melakukan persembahyangan sehari-hari. Kondisi itu dijawab dengan membuat sarana ritual harian oleh masyarakat Penatahan. Ekonomi desa jadi menggeliat, masyarakat memiliki kesibukan sepanjang hari, sehingga percekcokan dalam rumah tangga secara langsung maupun tidak langsung berhasil diredam. Sebuah kiat yang patut ditiru oleh desa-desa lain.

Desa-desa lain di Tabanan sebenarnya mengenal juga sistem perkawinan nyentana atau nyeburin. Namun di Banjar Kekeran pemberlakuannya lebih cair. Seperti disinggung di atas, persoalan sistem purusa-predana akan pelik manakala bersinggungan dengan “kasta”. Walaupun “kasta” secara resmi telah dihapuskan, namun dalam masyarakat, praktek demikian itu masih sangat kental. Dalam sistem tradisional di Bali sangat ditabukan kalau laki-laki berkasta kawin nyentana dengan perempuan tak berkasta. Boleh dikatakan sebagai aib yang tak bisa dimaafkan. Sebagaimana diuangkapkan oleh Yuni Pariayati, ibu terdidik asal Desa Penebel, Tabanan. “Sistem perkawinan nyentana akan menemukan masalah kalau kasta laki-lakinya lebih tinggi dari si perempuan calon istrinya,” kata perempuan yang kini dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Jenderal Ahmad Yani (Unjani), Bandung, Jawa Barat, itu.

Tapi kekhawatiran Yuni itu tidak terjadi di Kekeran. “Di banjar kami ada warga pregusti, laki-laki, kawin nyentana dengan perempuan biasa. Toh tidak ada masalah,” tutur Ketut Suwandra.

Ketika kasus itu dikonfirmasikan kepada Yuni, dia jadi paham walau diawali sedikit keterkejutan. “Oh, bagus kalau begitu. Kalau sistem adat Kekeran itu ditulis menarik mungkin akan memberi inspirasi untuk perubahan yang lebih baik pada sistem adat di Bali,” katanya dari seberang melalui hubungan telepon.

Ketua PHDI Buleleng Putu Wilasa mengapresiasi sistem perkawinan di Kekeran itu. “Berarti mereka sudah mengerti benar tentang agama. Istilah purusa dan predana itu disalahartikan oleh masyarakat Bali umumnya. Kalau merujuk kitab suci purusa artinya roh, sementara predana artinya badan. Jadi setiap orang pasti terdiri dari purusa dan predana sekaligus. Tapi dalam adat, istilah itu dimaksudkan sebagai pihak laki-laki dan perempuan. Ini yang kami maksudkan keliru,” jelas Wilasa.

Warga Kekeran lainnya, Nengah Wartana, menambahkan, bukan hanya dalam soal perkawinan lebih sederhana dijalankan di sana, namun juga dalam hal ngaben. “Jika ada warga kami yang tak mampu, ngaben sehari pun jadi. Sehari sudah tuntas langsung ngerorasin. Kami tak mau kaku ataupun memperberat hidup warga,” tukasnya.

Ya Banjar Adat Kekeran telah menjawab beberapa kelemahan sistem adat yang berlaku selama ini di Bali. Persoalannya, apakah masyarakat Bali lainnya mau berubah?
(Made Mustika)

1 komentar:

  1. Swastyastu, tiang Ayu dari Ubud. Tiang hendak bertanya, beberapa hari terakhir tyg dihadapkan dengan masalah besar. Tunangan tyg dari Singaraja. Sementara tyg adalah anak perempuan satu2nya dirumah yg harus nyentana. Sebagai tunangan, dia sudah iya dengan keputusan ini. Sekarang adalah bapak dan Kakaknya yg angkat tangan dan cenderung tidak menyetujui dengan alasan sanggah dadia mereka masih mebrata sampai hari yg belum bisa ditentukan. Tyg merasa pernikahan tyg selalu diundur dan ditentang. Kami berdua sepakat melanjutkan hubungan ini karena kami tidak mau pisah hanya gara2 hal kegengsian. Semua hukum setuju adanya nyentana, dan tujuan kami baik yaitu meneruskan keturunan, lalu kenapa kami ditentang? Mohon petunjuk siapapun yg bisa menolong tyg? Bila perlu tyg ingin menghubungi PHDI kab buleleng sebagai pihak netral. Kami saling mencintai dan tulus tidak ada paksaan, mohon bantuannya. Kalau ada yg bisa bantu, tyg ada ni nomer 081910193623. Suksma warga bali.

    BalasHapus