Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 01 November 2011

Spirit Hindu dari Selebes

Ida Ayu Tary Puspa


Pulau Sulawesi dalam sejarah Hindu Nusantara yang termuat di dalam kitab Ramayana karya Maha Rsi Walmiki, pada Kiskindhakanda (XI.30) disebutkan nama Javadvipa dan Saptarajya. Menurut Nabin Chandra Das, Saptarajya ada tujuh tempat, yaitu Svarnadvipa (Sumatera), Kalimantan (Borneo), Sulawesi (Selebes) Irian Jaya (West New Guinea), Bali, Java, dan Malaya. Mendengar kata Selebes terbayanglah sebuah pulau yang sangat terkenal sebagai sebuah pulau tempat orang-orang buangan pada penjajahan Belanda, termasuk orang-orang dari Bali yang menentang penjajah saat itu.
Pada saat ini Pulau Sulawesi terbagi menjadi beberapa provinsi seperti Sulawesi Utara, Selatan, Barat, Tenggara, dan Tengah. Pada hampir setiap provinsi ada transmigran asal Bali yang tentunya beragama Hindu. Setidaknya kehadiran transmigran telah memperluas Hindu sampai ke tanah Sulawesi, bahkan di Unima (Universitas Manado) terdapat pula program studi Pendidikan Agama Hindu. Hal ini merupakan sebuah kebanggaan, karena sebuah universitas umum memiliki prodi Hindu. Di Palu Sulawesi Tengah pun ada STAH (Sekolah Tinggi Agama Hindu) . ISI Denpasar pun membuka S1 di Palu Sulawesi Tengah. Dalam kerangka pikir seperti itu, maka ajaran Hindu dapat disebarkan ke masyarakat melalui kesenian sebagai sebuah media yang ampuh. Untuk jenjang pendidikan seperti di Sulawesi Tenggara (Kendari) telah pula ada yang mengikuti kuliah sampai strata dua yang diikuti oleh para guru, penyuluh, bahkan pegawai Telkom. Namun itu baru diikuti sekitar 15 orang, ke mana lagi umat Hindu kita yang lain, ternyata hanya sedikit umat Hindu yang menjadi PNS, kebanyakan mereka melakukan pekerjaan bertani terutama bertanam jambu mete, jeruk, rambutan, dan kelapa sawit.

Khusus untuk Sulawesi Tenggara, semenjak tahun 1960-an menjadi daerah kedatangan transmigran termasuk yang berasal dari Bali yang beragama Hindu. Kabupaten yang terdapat di provinsi ini, seperti Konawe, Kabupaten Buton Utara. merupakan kabupaten termuda yang dimekarkan dari Kabuparen Muna sejak tahun 2007. Empat kecamatan di Buton Utara yang terdapat umat Hindunya adalah Kecamatan Kalisusu, Kalisusu Barat, Bonedunu, dan Kambowa. Desa di Kecamatan Bonegunu yang ada umat Hindunya adalah Desa Wa Ode, Gunung Sari, dan Ensumala. Di desa Gunung Sari inilah terdapat umat Hindu transmigran asal Bali.

Kehidupan komunitas Hindu di daerah ini mayoritas sebagai petani sawah, petani kebun, dan hanya sebagian kecil mereka menjadi PNS. Taraf pendidikan sangat rendah, sebagian besar tamat SD, sebagian kecil tamat SMA, dan yang tamat sarjana bisa dihitung dengan jari. Pendidikan agama Hindu di sekolah-sekolah kurang berjalan dengan baik karena hanya satu, dua sekolah yang melaksanakannnya. Bahkan penyebaran buku-buku agama Hindu pun minim, walaupun telah disiapkan oleh Kementrian Kantor Agama Sultra ternyata jarang yang sampai di kantung-kantung Hindu dengan kendala akses jalan yang kurang bagus, sehingga akan menambah beban transportasi yang tidak sedikit. Pelaksana Pembimas pun belum ada, hanya kantornya telah diresmikan tanggal 5 Maret 2011.

Oleh karena umat Hindu di Sultra kebanyakan mata pencahariannya adalah petani, maka penyebaran agama Hindu kurang berhasil karena komunikasi terbatas dengan sesama saja. Sedangkan bila dibandingkan pada zaman dulu saat bahasa Melayu yang akhirnya diangkat menjadi bahasa Indonesia memiliki daerah sebar hampir di seluruh Indonesia dengan ditemukannya dialek Melayu di Nusantara karena penuturnya berprofesi sebagai pedagang. Akan tetapi kehadiran transmigran asal Bali di Sulawesi ini telah pula memberikan warna, bahwa agama Hindu itu masih tetap ada, bukan hanya di Bali keberadaannya. Oleh karena kebanyakan umat Hindu di Sulawesi berasal dari transmigran Bali, maka tentu mereka masih lekat dengan kebaliannya. Dalam arti bahwa apa pun yang ada di Bali dengan segala aspek kehidupan ingin pula diterapkan di daerah tujuan.

Umat Hindu yang berada di Sulawesi seperti di Sulawesi Tenggara menginginkan membangun tempat suci seperti Pura Kahyangan Tiga di Bali, padahal di sana tidak ada Desa Pakraman layaknya di Bali. Bisa dibayangkan seandainya itu terwujud dengan jumlah umat yang sedikit ngemong banyak pura, bisa juga dibayangkan berapa biaya yang mesti ditanggung oleh masing-masing keluarga. Hal ini pernah dituturkan oleh Ketua PHDI Sultra, Dr. Ir. I Ketut Puspa Adnyana, MTP saat penulis berkunjung ke Kendari tanggal 23-25 September 2011. Pernah terjadi silang pendapat di antara umat mengenai konsep pembangunan Pura Tri Kahyangan. Pada akhirnya dengan adanya Tentara Masuk Desa (TMD) pada akhir 2009, masyarakat akhirnya sepakat membangun konsep Eka Kahyangan Jagat, karena alokasi bantuan dari TMD hanya untuk satu pura. Pura Eka Kahyangan Jagat yang dimaksud adalah Pura Amertasari di Desa Gunung Sari.

Para transmigran asal Bali di tanah rantau menginginkan kondisi seperti di Bali. Kerinduan mereka akan tanah kelahiran telah pula mendorong untuk mendirikan tempat suci seperti Pura Sakenan di Desa Jati Bali, Kecamatan Ranomeeto, Kabupaten Konawe Selatan Sultra. Darmayatara peletak sendi kehidupan dalam beragama Hindu yaitu Dang Hyang Nirartha telah menuntun umat Hindu untuk mendirikan sebuah pura, yaitu Pura Sakenan.

Para Transmigran asal Bali yang notabena beragama Hindu walaupun mereka lebih banyak bekerja sebagai petani baik itu di sawah maupun di kebun telah pula memberi spirit Hindu bagi para petani nonHindu, karena budaya pertanian yang religius telah pula memberi suatu tatanan kehidupan yang berbudaya dalam memperlakukan seorang Sakti Dewa sebagai lambang kemakmuran, yaitu Dewi Sri. Sistem subak yaitu irigasi ala Bali telah pula memberi masukan bagi petani setempat dalam memperlakukan air sebagai simbol dari sang pemelihara, yaitu Dewa Wisnu. Secara tidak langsung ternyata para petani tranmigran asal Bali telah mengenalkan kepada masyarakat setempat betapa berbudaya dan religiusnya orang Hindu dalam berkehidupan termasuk dalam melakoni pekerjaan, karena semuanya mengandung simbol sesuai ajaran Hindu. Tanah yang dijadikan sebagai tempat mengusahakan pertanian adalah Dewi Pertiwi yang selalu dihormati dan diperlakukan secara bijak. Budaya bertani yang religius selalu diterapkan oleh masyarakat Hindu transmigran untuk memohon, agar apa yang telah ditanam akan mendapat karunia pula dengan harapan bahwa hasil panen akan berlimpah dan anugerah dipanjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifstasi sebagai Dewa Tri Murti dengan masing-masing Saktinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar