Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 01 November 2011

Kilas Balik Keberadaan Umat Hindu di Kota Palu

Laporan Wayan Pariatni

Kini, keberadaan umat Hindu di berbagai daerah di Sulawesi sudah lumayan eksis. Mereka tersebar dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Gorontalo dan Sulawesi Barat. Tapi tentu belum banyak yang mengetahui, bagaimana awal mula kehadiran umat Hindu di tempat tersebut.

Keberadaan umat Hindu di kota Palu untuk pertama kalinya pada tahun 1966 yang dirintis oleh Bapak Nyoman Edy, B.BA, dan I Gede Widnya (mendiang) yang waktu itu sebagai polisi aktif sekaligus sebagai pinandita pertama. Selanjutnya pada tahun 1968 mereka mendapat tambahan seorang teman, sehingga ada 3 orang Hindu di kota itu. Seiring berjalannya waktu pada tahun 1977 umat Hindu di sana sudah mencapai 31 KK. Untuk memenuhi kebutuhan rohani, seperti untuk persembahyangan, maka umat Hindu kota Palu menyiasatinya dengan melaksanakan persembahyangan bergilir dari rumah ke rumah. Maklum, ketika itu mereka belum memiliki pura.

Karena belum memiliki pura, maka timbullah keinginan bersama untuk mendirikan bangunan Padmasari di rumah kelurga Bapak Nyoman Edy. Keinginan ini direspon positif oleh umat dan pemuda yang saat ini dimotori oleh Putu Sukarsa, Made Redita (mendiang) dan Made Kondro, hingga akhirnya bangunan tersebut terwujud dan difungsikan. Setelah era itu, tentunya masih perlu proses yang sangat panjang, hingga akhirnya umat Hindu memikirkan untuk memiliki rumah ibadah yang representatif dan harapan itupun terwujud.

Umat Hindu dikota Palu awalnya hanya memiliki sebuah Pura yang bernama Pura Agung Wankertha Jagatnatha Provinsi Sulawesi Tengah yang lokasinya terletak diketinggian bukit Jabal Nur kelurahan Talise dengan posisi menghadap ke arah laut (nyegara gunung). Keberadaan pura tak terlepas dari sejarah panjang yang menyertainya. Berdasarkan penjelasan dua orang tokoh sesepuh Hindu setempat, Bapak Nyoman Edy, B.BA dan pinandita Drs. Ida Bagus Wijakusuma serta seorang organ organisasi pemuda saat itu I Putu Sukarsa, berawal ketika tahun 1981 pengurus menghadap Bupati Donggala Dr. M. Kaleb dengan maksud untuk memohon bantuan tanah lokasi pura. Niat ini langsung direspon oleh Bupati dengan merealisasikan satu hektar tanah untuk pembangunan pura dan satu hektarnya lagi untuk lokasi pekuburan. Sejumlah nama tokoh umat Hindu kota Palu di antaranya dapat disebutkan antara lain, I Gde Mertawan, S.Sos, M.Si, Drs. Negare Widiasa, I Nyoman Dana, BA, dan lain-lain.

Kebahagian umat saat itu tak terbendung dan pada tahun yang sama panitia pembangunan yang diketuai oleh Dr. A.A.Ngurah Gde Djaja yang akrab disapa Dr. Djaya (beliau wafat bulan januari 2011) mulai mengumpulkan pengurus untuk merancang pembuatan turus lumbung, penyengker dan ruang ganti. Meskipun jumlahnya sedikit, ternyata peran pemuda saat itu sangat kompak dan luar biasa yang dimotori oleh I Putu Sukarsa, I Made Kondro, I Gede Kandita, Made Redita, I Nyoman Kormek dan I Wayan Budiarta.

Dalam perjalanan berikutnya, setelah adanya rencana pembukaan lokasi seleksi tilawatil qur’an, maka lokasi pura di tambah lagi menjadi dua hektar. Seiring berjalannya waktu, umat Hindu kota palu semakin berkembang sehingga panitia memulai memikirkan pembangunan pura permanen pada tahun 1984 dengan dana berasal dari umat Hindu kota palu dana punia umat dari Desa Tolai dan sumbangan dari pemerintah. Mendiang Dr. Djaja juga sempat mengadakan penggalangan dana dalam acara yang bertajuk Bali Night.

Sembahyang Dikerubungi Lalat
Perlahan namun pasti akhirnya bangunan pura berdiri dengan megah. Masalah kecil pun muncul mengingat lokasi pura merupkan bekas tempat pembuangan sampah, sehingga umat yang melaksanakan persembahyangan sedikit terganggu dengan adanya serangan lalat yang mengerumuni banten, sehingga setiap persembahyangan umat yang membawa banten harus menyiasati dengan cara membungkus menggunakan plastik. Demikian juga halnya pada malam hari serangan nyamuk terasa sangat mengganggu.

Panitia pembangunan tak pernah surut dalam berusaha hingga dibangunlah sebuah kori agung yang menurut keterangan Putu Sukarsa-tokoh pemuda saat itu- dan Nyoman Edy, seluruh biaya pembangunan kori agung disumbangkan oleh ketua panitia mendiang Dr. Djaja dari hasil penjualan sebuah mobil kijang merah kesayangannya.

Ditunjuknya Sulawesi Tengah sebagai tuan rumah MTQ, ternyata saat itu membawa berkah bagi umat Hindu karena lokasi MTQ yang melintasi jalur pura. Karena itu, akhirnya pada tahun 1995 akses jalan mulai ditata, jalan mulai diaspal demikian juga penerangan listrik. Mengingat Pura Jagatnatha ditata sesuai konsep tri mandala, maka panitia mulai menata kawasan madya mandala. Dua buah bangunan permanen berupa balai agung dan balai gong akhirnya berdiri berkat sumbangan pimpinan Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Palu, yaitu I Gede Dharmada. Sementara itu, pagar keliling di sekitar madya mandala pun rampung berkat dana punia umat yang secara spontan dengan sistem lelang, di mana umat ber-dana punia satu meter atau lebih.

Pada tahun 1997 Made Suparta yang belum lama dipindahtugaskan di PT. Nindya Karya memiliki gagasan, bagaimana jika lokasi pura yang berbukit-bukit ini ditata sehingga menyerupai Pura Besakih. Gayung pun bersambut, di mana Ketua PHDI saat itu-mendiang Dr. Djaja-bekerja sama dengan komponen organisasi terjun langsung. Dengan dukungan penuh Made Suparta, alat berat pun dikerahkan dari pagi hingga malam hari. Akhirnya lokasi pura yang dulunya berbukit dan terjal disulap menjadi indah seperti yang terlihat saat ini.

Tahun 1997 tercetuslah ide untuk membuat gedung sekretariat bersama organisasi-organisasi Hindu yang diberi nama Milana Graha Sabha diketuai oleh Drs. I Ketut Donder (saat ini sedang menyelesaikan study S3 di India). Lokasi gedung sekretariat terletak sebelah timur bagian depan lokasi pura yang kini berdampingan dengan bangunan Rumah Bersalin Siti Fadilah milik Muhamaddiyah. Meski pembangunannya sempat lama terhenti setelah alih kepengurusan, kini gedung Milana Graha Sabha pembangunannya mengalami peningkatan.

Gong Sumbangan Gubernur Terbakar Habis
Prosesi ritual keagamaan terasa kurang mantap jika tanpa dilengkapi dengan suara gamelan. Mendiang Dr. Djaja bersama sekertaris PHDI Provinsi Sulawesi Tengah, I Ketut Suasana, SH memohon bantuan seperangkat gong kepada gubernur Bali pada saat itu. Belum lama berselang usai di-plaspas, asrama pura tempat di mana gong tersebut disimpan terbakar dan menghanguskan seluruh isinya. Kejadianya tepat pada tanggal 1 Mei 1999 (Penulis sebagai saksi saat itu, atas perintah mendiang Dr. Djaja akhirnya proses penyelidikan pihak kepolisian dihentikan). Tak ingin berlama-lama larut dalam kesedihan, mendiang Dr. Djaja, Ketut Suasana beserta jajarannya kembali mengupayakan untuk bisa mendapatkan seperangkat gong, dan akhirnya seperangkat gong baru pun teruwjud sebagaimana yang digunakan hingga saat ini.

Puing-puing asrama pura pun dibongkar untuk dibangun kembali kali ini bangunan asrama yang konsep awalnya difungsikan sebagai ruang ganti dan peristirahatan para pinandita ini sepenuhnya disumbangkan oleh keluarga Made Suja, S.Sos yang pada waktu itu menjabat sebagai pimpinan Bank Indonesia. Sebagai wujud rasa terimakasih maka bangunan asrama tersebut diberi nama Suja Graha. Sebuah papan nama kecil pun diletakkan pada bagian depan bangunan, kini papan nama tersebut sudah hilang dan berganti dengan papan nama yang lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar