Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 24 Mei 2011

Memenuhi Kebutuhan Banten Secara Swadesi

I Wayan Miasa

Dalam kegiatan kehidupan masyarakat Bali yang mempraktikkan agama Hindu, maka hampir semua kegiatan mereka selalu diiringi dengan pembuatan banten. Entah apa jenis kegiatan atau kejadian tersebut. Misalnya, kalau ada orang kecelakaan dibuatkan banten penebusan untuk kaanteb oleh pemangku di tempat terjadinya kecelakaan itu. Demikian juga kalau orang Bali membeli motor atau mobil, maka juga diberi upacara prayascita dan upacara lain yang dianggap perlu. Itu baru contoh kecilnya saja, belum lagi upacara-upacara dalam skala besar yang membutuhkan banyak bahan baku untuk membuat banten, yang mana bahan-bahan tersebut sering juga didatangkan dari luar Bali.
Melihat kenyataan yang ada di lapangan, bahwa banyak bahan upacara yang digunakan krama Bali didatangkan dari luar Bali, maka hal ini tentunya sangat berpengaruh pada biaya atau pengeluaran dana untuk pembuatan banten. Artinya, bahan mentahnya saja sudah “impor” belum lagi kalau setelah diolah menjadi banten, tentu wajar harganya bertambah mahal. Misalkan saja, Bali sekarang mendatangkan daun ibung (sejenis palem) dari Sulawesi sebagai pengganti janur. Ibung disukai oleh banyak krama Bali, karena tahan lama, yaitu warna putihnya tidak melayu dalam waktu lama, jadi mirip daun lontar tapi lebih tipis sehingga enak kalau digarap untuk jejaitan.

Memang dalam dunia perdagangan, arus barang ini ditentukan oleh supply and demand, tetapi setelah menyadari demikian besar kebutuhan bahan baku banten di Bali, maka akan semakin baik kalau kita bisa mencukupinya sendiri. Selain harganya tentu akan lebih murah, juga sekaligus menggerakkan ekonomi kerakyatan.Dengan terjadi perputaran ekonomi di lingkangan krama Bali sendiri, maka akan terjadi juga distribusi pendapatan kepada umat. Usahakan dulu memproduksi atau menanam sendiri, kalau sudah tidak bisa mencukupi barulah mencari kekurangannya di luar.

Sebenarnya hal ini sudah dipraktikkan oleh sebagian krama Bali. Masyarakat Desa Sibang misalnya, mereka bertanam berbagai jenis bunga: cempaka, kamboja, pacar, hingga tunjung, termasuk pandan arum untuk kembang rampe. Hampir di setiap pekarangan rumah orang di desa ini ditanami pohon bunga. Produk bunga ini tentu sangat laku di pasaran, karena kebutuhan canang sehari-hari untuk warga Denpasar saja sangat besar.

Contoh bagus itu tentunya patut ditiru oleh desa-desa lain, sehingga peluang ekonomi yang timbul dari kegiatan upacara ini dinikmati oleh krama Bali, bukan sebaliknya malahan menguntungkan krama dari luar. Kalau uang dibelanjakan di Bali, tentu akan semakin memperkokoh perekonomian Bali yang berarti sekaligus dapat terus memelihara tradisi Bali yang “mahal” ini.

Tentu menjadi tidak produktif dan sedikit konyol, kalau kemudian umat Hindu di Bali lebih mengedepankan gengsi saat menggelar ritual. Sebutlah contoh bila ada upacara pernikahan atau upacara Manusa Yadnya lainnya. Dulu, hiasan di pemesuan umah (pintu pekarangan) biasanya cukup dihias dari ambu, janur dan bahan lokal lain. Namun sekarang, masyarakat pun sudah mulai bergaya instan, di mana ornamen semacam itu pun mereka beli, sehingga kelihatan sangat mewah dan semarak bahkan mengalahkan hiasan pura saat piodalan. Intinya, beryadnya itu adalah panggilan hati atas nama agama, tetapi tentunya agama juga mengajarkan kita untuk produktif dan mengalokasikan dana dengan efektif, lebih mengedepankan sifat swadesi atau berusaha untuk berdikari dulu semampunya.

Sebelum kebiasaan konsumtif dan gaya instan kita semakin berkembang, maka hendaknya kita berusaha dulu mengolah kekayaan alam kita secara optimal. Belajar mencontoh pola perjuangan swadesi yang digagas Mahatma Gandhi.

Bali memiliki potensi alam yang lebih dari cukup, seperti Jembrana yang menghasilkan kelapa dengan janur dan selepahan yang melimpah, demikian juga di Tabanan dan daerah lainnya, sementara Karangasem sebagai penghasil salak dan Buleleng dengan produk buah anggurnya. Semua ini jika dimanfaatkan oleh krama Bali sendiri, niscaya pemerataan ekonomi akan terjadi dengan sendirinya.Bila perlu, telor dari daerah Utu, Gunung Sari, Jati Luwih dan dari peternak Bali lainnya kita dahulukan untuk dimanfaatkan. Demikian juga mengenai dupa, karena sekarang sudah banyak krama Bali mau bisnis dupa, maka perlu kita dukung. Sebutlah merk-merk dupa seperti Dewi Bulan, Arjuna Shakti, Dupa kaori, dupa Ayur, dupa Hare Krishna,dan sebagainya yang dikelola krama Bali. Masalahnya adalah, masih saja ada krama Bali yang lebih memilih membeli dupa produk orang luar, entah apa alasannya, meskipun harga sudah sangat kompetitif.

Kembali mengenai berswadesi untuk memenuhi kebutuhan bahan upacara atau banten, maka kemudian tentu kita perlu arif dalam memanfaatkan kekayaan alam kita. Misalnya, karena jumlah penduduk Hindu terus bertambah banyak yang berarti kebutuhan bahan upacara juga terus membengkak. Dengan demikian, supaya alam Bali tetap lestari dan pohon kelapa sempat menumbuhkan daunnya sebelum dipotong untuk bahan banten, maka perlu kiranya pertimbangkan memilih jenis tingkatan upacara supaya bahan banten kita tak cepat habis. Bukankah ada tingkatan upacara kanista, madya dan utama? Tentu tradisi Bali akan tetap lestari, jika alam Bali, tumbuh-tumbuhan asli Bali sebagai penyokong upacara tetap dipelihara bahkan dikembangkan keberadaannya, tidak hanya dieksploitasi habis-habisan. Salah satu contoh, kebutuhan pohon pinang, baik pohonnya, atau bunganya (bangsah) yang digunakan waktu ngaben kini sudah mulai langka. Karena itu, harus ada upaya membudidayakan tanaman ini meskipun nilai ekonomisnya tidak terlalu tinggi, tetapi tanaman ini juga tak mengambil ruang banyak di tegalan. Biasanya tumbuh di pinggir pangkung, tukad bahkan di tempat yang tak memungkinkan tanaman budi daya tumbuh di tempat itu.

Dalam usaha pemenuhan kebutuhan bahan upacara, kita seharusnya benar-benar melaksanakan ajaran Tri Hita Karana, tidak cukup berterimakasih kepada alam hanya dengan ritual saja. Dengan membuang sampah secara tertib, tidak mencemari lingkungan dan usaha sejenisnya, menanam pohon, semua itu bukti kecintaan kita dalam mewujudkan hubungan harmonis dengan alam.

Dengan cara ini tanaman ataupun tumbuhan yang kita pakai saat upacara agama tetap bisa tumbuh dengan baik, sehingga mudah didapatkan di alam, tidak kelimpungan ke sana ke mari mencari daun pule atau tiying ampel gading saat ngaben misalnya. Sebaliknya, bila kita tidak mau peduli kepada alam serta kita tidak mau menyesuaikan diri dengan tuntutan masa kini, maka bersiaplah menjadi sapi perahan saat upacara digelar. Kalau semuanya diserahkan kepada hukum pasar dan kita hanya bertindak selaku konsumen dan tidak belajar sebagai produsen, maka sudah jelaslah kemerosotan ekonomi yang akan didapat.

Karena itu, umat perlu diajak bersama-sama untuk memanfaatkan lahannya seefektif mungkin, walau luasnya terbatas. Bahkan pekarangan saja bisa ditanamai bunga cempaka atau kamboja yang bisa dijual atau bisa mencukupi kebutuhan sendiri. Dengan demikian, umat dapat menekan ongkos mahal upacara, akibat bahan mentah yang didatangkan dari luar, karena tentunya akan kena tambahan ongkos angkut, biaya penyusutan, biaya penyimpanan, penambahan biaya di jalur distribusi dan sebagainya.

Apalagi orang Bali mau mengelola sektor informal ini. Menekuni sebagai penjual busung, pedagang buah, pembuat canang dan aksesoris lainnya. Dengan demikian, warga Bali yang bekerja di sektor formal akan membeli banten yang merupakan sektor ekonomi informal. Ini berarti terjadi keseimbangan antara dua sektor ini. Dan ini pula yang disebut paras-paros sarpanaya, salulung sabhayantaka dalam arti sebenar-benarnya di sektor ekonomi. Bertemulah sekala dan niskala dalam harmoni yang indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar