Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 05 April 2011

Tukang Terang, Tukang Tenang, Tukang Perang dan Seterusnya

Ida Ayu Tary Puspa

Yadnya adalah yang kita lakukan untuk ucapan terima kasih kepada Beliau karena telah terciptakan ke dunia ini. Kita diciptakan oleh Prajapati dengan yadnya dan bersabda dengan ini engkau akan mengembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu. Demikian Bhagawadgita III.10 menyuratkan. Dalam melaksanakan yadnya yang diwujudkan ke dalam Panca Yadnya dalam sebuah ritual, maka ketahuilah (Atharwa Veda. XII.1.1) bahwa “kebenaran (satya) hukum yang agung, yang kokoh dan (rta), tapa brata, doa dan yadnya, inilah yang menegakkan bumi. Semoga bumi ini, ibu kami sepanjang masa, memberikan tempat yang lega bagi kami.

Melaksanakan yadnya dalam sebuah ritual, maka akan ada pilar-pilar pokoknya, baik itu sang pemilik yadnya, sang pemuput yadnya, dan sang pembuat sarana yadnya. Ketiga komponen itu berperan untuk menyukseskan ritual tersebut. Menyitir sloka Atharwa Veda di atas, maka yang memiliki yadnya tidak dapat hanya menyerahkan yadnya itu sukses pada sang pemuput upacara saja atau kepada tukang banten saja karena banyak hal yang mesti dilakukan oleh sang punya yadnya. Baik itu doa, maupun melakukan tapa brata dilandasi ketulusikhlasan, bahwa yadnya yang dilaksanakan adalah yadnya yang satwika dengan berpegang pada, bahwa yadnya itu dihaturkan sesuai dengan sastranya, oleh mereka yang tidak mengharapkan buahnya dan teguh kepercayaannya, bahwa memang sudah kewajibannya untuk beryadnya, adalah satwika, baik.

Beragama dengan pengamalan ajaran sesuai kitab suci adalah yang patut karena sang punya yadnya percaya dan yakin bahwa ritual yang dilaksanakan sudah dirancang secara matang, mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan dengan melibatkan ketiga pilar tersebut. Akan tetapi ada orang tertentu yang ternyata tidak melaksanakan sebuah ritual dengan mengabaikan kemampuan diri dan keluarga dalam beryadnya, yaitu dengan mengandalkan orang-orang tertentu dengan profesi tertentu untuk terlibat dalam yadnya yang akan digelar. Mencari tukang selamat dari keberhasilan memasak di dapur, agar nasinya dan masakan menjadi matang. Mencari tukang terang, agar tidak terjatuh hujan pada saat ritual digelar, juga mencari tukang tenang yang mampu membuat ritual berjalan hening.

Kalau demikian, ternyata sang pemilik yadnya sudah berkolusi dengan mereka untuk menyelamatkan yadnya yang digelar. Andai saja kita sebagai umat Hindu percaya bahwa yadnya yang digelar akan berhasil dengan dilandasi oleh pelaksanaan yang santun dalam melaksanakannya sebagaimana yang dimuat dalam Rg Veda I.10.2
Yat sanoh sanum aruhad bhury aspata kartvam, tad indro artham cetati yuthena vrsnir ejati

Terjemahannya:
Tuhan yang Maha Esa melindungi mereka yang bhakti, yang meningkatkan diri secara bertahap dengan berbagai aktivitas. Tuhan yang Maha Esa akan hadir dengan berbagai kemahakuasaan-Nya untuk menganugerahkan keberuntungan.

Sloka di atas merupakan hal yang harus dijalankan umat dengan Bhakti Marga sebagai perwujudan cinta kasih yang murni dan tulus kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bhakti dengan tingkatan aparabhakti dapat dilakukan dengan pemujaan atau persembahan dan kebhaktian dengan berbagai permohonan itu sangatlah wajar, karena keterbatasan pengetahuan yang dimiliki umat Hindu, tetapi tentu permohonan itu pun adalah permohonan yang wajar. Misalnya, “sarvaprani hitangkara” atau “sukhino bhavantu”.

Kalau ternyata para tukang di sekitar upacara itu mohon sesuatu yang tidak wajar berarti mereka mengingkari akan kebesaran Tuhan dan bersifat mistis. Misalnya musim sedang hujan, tetapi memohon agar tidak turun hujan, maka ini berarti akan menghalangi Dewa Indra untuk memberikan kehidupan, kesuburan, dan kesejukan kepada bumi dengan segala isinya. Kalau ternyata dalam menjalankan tugas untuk memohon agar tidak turun hujan atau memindahkan hujan ke tempat lain, yaitu dengan menyalakan dupa panjang yang tidak boleh padam, maka pawang hujan akan melaksanakan kegiatannya itu dengan ritual. Akan tetapi ternyata taruhannya untuk melaksanakan tugas itu cukup beresiko karena ternyata ada yang pernah mengalami justru kematian yang dihadapi yang kata orang-orang bahwa pawang hujan tersebut kalah mesiat di dunia yang kita tidak ketahui.

Atau ternyata ada pula persahabatan yang aneh dengan makhluk halus (gamang) di mana untuk menyelamatkan yadnya yang digelar bantuan yang diminta untuk menenangkan sebuah upacara adalah bantuan dari makhluk halus tersebut. Hal ini kalau dilakukan berarti kita tidak mempercayai bahwa Tuhan mampu memberikan kita keselamatan, asalkan kita menjalankan upacara itu dengan ketulusikhlasan sebagaimana yang termuat dalam Bhagavad gita XVIII. 16 sebagai berikut.
Man mana bhava mad-bhakto mad-yaji mam namaskuru
Mam evaisyasi satyam te pratijanepriyo si me

Terjemahannya
Pusatkanlah pikiranmu kepada-Ku, berbhaktilah kepada-Ku, bersujudlah kepada Aku, engkau akan tiba pada-Ku, Aku berjanji setulusnya padamu, sebab engkau sangat Kukasihi.

Bagi yang tingkat bhaktinya sudah lebih tinggi dalam berbhakti kepada Tuhan, mereka tidak akan meminta dan meminta melainkan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan. Penyerahan diri itu bukanlah suatu hal yang pasif yang tanpa aktivitas melainkan bahwa dengan bekerja yang tulus akan mendapatkan pahala yang baik pula. Bhakti dengan penyerahan diri yang tulus disebut dengan parabhakti atau bhakti yang luhur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar