Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 05 April 2011

Sidhimantra versus Aji Ugig

I Wayan Miasa


Berbicara mengenai kehidupan beragama, ada banyak hal saling bertentangan dalam kehidupan spiritual tersebut. Pertentangan ini atau perbedaan ini sering disebut dengan rwa bhineda. Namun rwa bhineda bukan sekadar dua hal yang berbeda, tetapi lebih dari itu. Kalau perbedaan itu sifatnya saling melengkapi dan bisa berjalan harmonis bukan hal yang perlu dipermasalahkan. Namun dalam kehidupan beragama itu sering terjadi persaingan untuk menunjukkan kelebihan, kehebatan, ketenaran kedudukan dan lain sebagainya.
Pertentangan yang saling bertolak belakang ini sering menimbulkan hal yang sangat kontradiktif dengan ajaran agama itu sendiri. Hal ini mulai terjadi di zaman Dwapara Yuga atau seperti diceritakan dalam Ramayana, di mana pada saat itu rsi, yogi, pertapa sering diganggu oleh para raksasa saat mereka melakukan tugasnya, agni hotra atau aktivitas religius lainnya. Para raksasa saat itu ingin menggagalkan usaha pemujaan kaum rsi, yogi, pertapa dan yang lainnya karena para raksasa takut akan karunia yang didapat oleh para rsi, yogi tersebut.

Begitu juga di zaman sekarang ini hal semacam itu masih terjadi, namun jenisnya berbeda. Zaman dahulu hal itu terjadi berdasarkan hukum rimba, yang kuat yang menang atau berkuasa. Tetapi hal itu tak berlaku lagi di zaman ini karena adanya hukum yang berlaku. Kalau zaman dulu para raksasa bisa mengobok-obok kunda (tempat agni hotra) dengan mudah tetapi di zaman sekarang bila hal tersebut dilakukan jelas sang pelaku akan berurusan dengan hukum.

Persaingan untuk mendapatkan atau memperoleh keuntungan, penghormatan, kedudukan religius di zaman ini dilakukan dengan cara mistis atau magis, di mana kegiatan tersebut dilakukan dengan cara tak kelihatan atau niskala. Para praktisi atau penekun ilmu atau ajian ini pada awalnya ingin memperoleh ajaran atau ilmu untuk kebaikan. Namun hal itu akan berubah bila dia atau mereka sudah mendapat sidhi (kekuatan niskala untuk melakukan sesuatu) dari proses belajar ilmu tersebut. Zaman dulu para praktisi tersebut ingin menguasai ilmu atau ajian-ajian tertentu guna mempertahankan diri, menolong orang lain dan lain sebagainya. Ada ajian memohon hujan, ajian sesirep, membuat racun (cetik) dan lain sebagainya. Hal ini bisa disaksikan di berbagai daerah menurut keadaan wilayah tersebut. Di daerah tandus, orang akan tertarik mempelajari ajian memohon hujan, di daerah yang curah hujannya tinggi orang akan tertarik menguasai ajian menolak hujan atau nerang, dan lain-lainnya. Motif dari penguasaan ilmu itu di zaman dulu ada demi kebaikan.

Seiring perkembangan zaman di mana persaingan hidup semakin ketat, maka ada beberapa praktisi tersebut menyalahgunakan ajian tersebut untuk hal-hal yang kurang baik atau negative. Misalnya untuk mengganggu upacara, menyakiti orang dan lain sebagainya. Oleh karena penyalahgunaan kemampuan ini, orang tua kita zaman dahulu menabukan kita mempelajari ilmu tersebut dengan istilah ajawera. Namun sayangnya, istilah itu juga berimbas pada kekhawatiran orang untuk mempelajari buku-buku suci mereka, dan hal itu masih terjadi saat ini. Penyalahgunaan ilmu atau ajian dari yang baik (sidhimantra) menjadi aji ugig atau wegig diakibatkan oleh tingkat kesadaran spiritual yang mengajarkan laba, puja dan pratista ditambah lagi dengan sempitnya pemahaman pengertian tentang bhakti.

Para praktisi aji ugig ini akan merasa bangga sekali bila mereka bisa mengganggu atau menggagalkan suatu perhelatan yadnya, baik Manusa Yadnya, odalan atau lain sebagainya. Hal ini terjadi karena adanya pandangan yang keliru tentang bhakti. Para penekun aji ugig ini beranggapan, bahwa dengan melakukan hal-hal yang bersifat negative (ngiwa) juga merupakan “bhakti”. Padahal sesungguhnya mereka-mereka tersebut berada dalam kekeliruan. Mereka atau orang seperti itu sebenarnya adalah orang yang ingin mendapatkan sanjungan atau pujian (puja), prasista (kedudukan) sehingga warga kebanyakan akan takut kepada mereka oleh karena kemampuam aji ugig-nya. Bahkan dulu terjadi praktisi-praktisi aji ugig yang merasa seperti “dewa” seperti Kamsa, Harinyakasipu dan yang lainnya.

Mungkin di zaman sekarang orang mencari atau ingin mendapatkan sidhi lebih didasari atas kepentingan pribadi, ekonomi atau atas dasar balas dendam. Seperti disebutkan di atas, di zaman ini orang tak bisa lagi menerapkan hukum rimba. Sehingga jalan yang ditempuh melalui jalan ngiwa atau niskala. Dan kesempatan untuk melakukan tersebut biasanya ada pada acara-acara seremonial seperti pernikahan, odalan. Hal ini terjadi karena kesempatan yang ada lebih terbuka pada saat-saat seperti itu. Apalagi yang berurusan dengan makanan orang yang berniat jahat punya kesempatan besar untuk menebar racun atau cetik di saat seperti itu.

Di Bali orang mengenal banyak gangguan saat mereka mengadakan perhelatan upacara, seperti adanya hujan buatan, gangguan para dedemit yang membuat pemilik upacara koos atau boros, sering terjadi pertengkaran karena saat melakukan upacara, ada juga pasangan mempelai yang tiba-tiba sakit bahkan sampai ada yang meninggal. Kejang-kejang atau membuat hal seperti itu merupakan sidhi yang didapat dari pemujaan-pemujaan kekuatan tertentu. Pemujaan-pemujaan yang ditujukan untuk memperoleh suatu kekuatan sebenarnya akan mengantarkan pelakunya menjauhi kepribadian Tuhan. Kegiatan-kegiatan seperti tersebut di atas sering dilakukan oleh kebanyakan dari kita karena kurang mengerti perbedaan mencari sidhi dengan kegiatan bhakti.

Bagi sebagian orang, pengertian bhakti baru sebatas mencakupkan tangan saat ada odalan atau upacara. Oleh karena itu bukan hal yang aneh bila terjadi penyimpangan dalam kegiatan keagamaan kita. Kegiatan pamer sidhi atau kekuatan magis yang ditujukan untuk mengganggu, mengusik orang, perhelatan keagamaan, merupakan kegiatan asurik. Jadi bisa dikatakan setiap usaha atau kegiatan yang dimaksud untuk kegiatan ini mendapatkan pujian (puja), laba (keuntungan), kedudukan (pratista) namun jalan tersebut tidak berada dalam jalur bhakti, karena sidhi yang mereka kuasai lebih ditujukan kepada kepuasan diri mereka sendiri dan bukan untuk kesejahteraan semua makhluk hidup atau sarwa prani.


Penguasa atau orang yang mendapatkan sidhi lewat jalur asurik akan cenderung mengumbar Sadripu, Saptatimira untuk mendapatkan kesenangan dirinya. Mereka terus mengharapkan penghormatan dari masyarakat. Bila mereka tidak mendapatkan pujian, kedudukan, keuntungan di masyarakat mereka akan cendrung memanfaatkan sidhi-nya untuk mengganggu, mengusik orang. Para pemilik sidhi juga akan mudah dimanfatkan oleh orang-orang yang memiliki permasalahan dengan warga lainnya. Apalagi bila orang yang menguasai sidhi tersebut emosinya tak terkendali. Di pihak lain ada juga penguasa sidhi (Sidhimantra) yang rendah hati, dan mereka ini bersifat penolong atau pelindung. Oleh karena pertentangan atau persaingan inilah terus terjadi perlombaan atau usaha meningkatkan ajian antara penguasa sidhimantra dengan penguasa aji ugig. Para penguasa aji ugig akan terus berusaha mencari celah untuk mengganggu, menyakiti orang lain. Karena ajian ini tidak mengajarkan orang tentang rasa rendah hati, prema, serta kebaikan-kebaikan lainnya. Mereka hanya berpacu meningkatkan kekuatan asura di dalam dirinya.

Bukan hal yang aneh lagi bila terjadi suatu ketimpangan dalam kehidupan sosial masyarakat dimana perbedaan antara yang kaya dengan yang miskin. Begitu mencolok, maka di sana akan berkembang perilaku-perilaku asura. Masyarakat di mana para warganya banyak menguasai sidhi akan cenderung tidak tertarik dengan kegiatan bhakti, rasa rendah hatinya kurang, senang mencari kesalahan orang lain atau singkat kata, mereka itu senang mencari-cari kesalahan orang. Seperti raksasa, mereka selalu ingin mengganggu kegiatan ritual, upacara pernikahan serta kejahatan-kejahatan lainnya. Karena keberhasilan mereka untuk mengganggu merupakan kepuasan pribadi mereka. Begitu hal itu terjadi, orang-orang akan dibuat oleh mereka itu takut, menghormati mereka, menyanjungnya dan lain sebagainya. Jika kebiasaan itu terus meningkat maka ego mereka pun terus semakin tinggi. Bila suatu ketika orang salah memperlakukannya, mereka akan memanfaatkan kemampuan magisnya.

Hal seperti ini akan terus berkembang bila masyarakatnya tidak bisa membedakan antara pemujaan dalam bhakti dengan pemujaan memperoleh sidhi: selama pemujaan untuk mendapatkan sidhi terjadi, maka selama itulah akan terjadi proses laba, puja, pratista. Selama itu pula akan terjadi ketidakharmonisan dalam kehidupan ritual atau spiritual kita. Untuk menghindari hal tersebut orang hendaknya mengikuti jalan bhakti untuk menumbuhkan rasa rendah hati, prema serta sifat-sifat kebajikan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar