Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 05 April 2011

Dengan Veda dari Manawa Menuju Madawa

I Ketut Sandika

Pendidikan merupakan salah satu aspek yang berperanan penting dalam meningkatkan sumber daya manusia (SDM). Karena SDM yang berkualitas akan berimplikasi pada kemajuan suatu bangsa. Apalagi hidup di zaman moderenitas yang mana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi demikian pesatnya, hal tersebut mesti dapat diimbangi pula dengan peningkatan SDM yang berkualitas tentunya melalui proses pendidikan. Dengan kata lain sistem pendidikan yang baik akan berwujud pada peningkatan SDM yang baik pula. Dan, dalam hal ini manusia dikatakan memiliki suberdaya yang baik sekaligus berkualitas adalah manusia yang memiliki kecerdasan (kemampuan) holistik, bukan manusia dengan mengandalkan satu aspek kecerdasan saja.

Bertitik tolak dari hal tersebut, pendidikanlah memegang peranan penting untuk membangun SDM dengan kecerdasan holistik. Menilik dari keberadaan dunia pendidikan di Indonesia, bolehlah berbangga hati karena dunia pendidikan Indonesia telah banyak melahirkan orang-orang dengan gelar yang tinggi. Logikanya, orang yang berpendidikan tinggi tentunya akan membawa bangsa pada kemajuan dan kedamaian. Karena secara rasionalistis, bahwasannya dengan pendidikan tinggi, orang akan memiliki karakter yang tinggi (baik) pula. Tetapi realita menjawab terbalik, banyak orang dengan gelar tinggi justru terjerumus ke dalam perbuatan yang tidak bermoral. Sebut saja kasus Gayus yang disinyalir melibatkan pejabat-pejabat tinggi, maupun kasus lainya. Dan, notabene pelakunya adalah orang-orang dengan gelar tinggi dan celakanya lagi pelakunya adalah pejabat negara yang seharusnya mengayomi rakyat, tetapi sebaliknya malah merampok rakyatnya sendiri. Dari hal tersebut mencerminkan bahwa pendidikan Indonesia telah gagal di dalam membangun karakter moralitas masyarakat dan perlu dipertanyakan, apakah sistem pendidikan Indonesia masih relevan diterapkan dewasa ini?

Tidak dipungkiri memang, pendidikan di Indonesia memiliki berbagai kelemahan. Salah satu dari berbagai kelemahan tersebut adalah pendidikan kita masih meniru pola pendidikan sistem ala Barat. Di mana sistem pendidikan hanya berorientasi pada peningkatan kecerdasan intelektual saja, tetapi tidak memperhatikan kecerdasan spiritual. Sat Guru Satya Narayana dalam wacananya menyebutkan: “Pendidikan saat ini hanya berorientasi untuk mengembangkan kepandaian dan keterampilan dengan sedikit menitikberatkan pada kualitas yang baik. Apalah artinya semua pendidikan yang ada di dunia, jika seseorang tidak memiliki karakter yang baik, ibarat mata air yang makin lama makin kering. Tidak ada gunanya, jika pendidikan berkembang disertai dengan nafsu yang berlebihan. Inilah yang membuat manusia menjadi pahlawan dalam kata-kata tetapi tidak pernah berbuat apa-apa”.

Berbeda dengan pendidikan ala Veda, di mana sistem pendidikan Veda adalah sebuah sistem pendidikan yang menanamkan pentingnya peningkatan kecerdasan spiritual, tetapi tidak melupakan kecerdasan yang bersifat intelektual. Selain itu pendidikan dalam Veda memiliki tujuan esensial adalah mendidik manusia (Manawa) untuk dapat menumbuhkan sifat-sifat (karakter) kedewataan (madawa) dalam dirinya. Seorang sisya (murid), jika mampu menumbuhkan sifat-sifat kedewataan (daiwi sampad) dalam dirinya dan mengendalikan sifat keraksasan (asuri sampad) dalam dirinya, dengan seketika akan memiliki kecerdasan spiritual dan bukan hal yang tidak mungkin akan berimplikasi pula pada bangkitnya kecerdasan intelektual. Pendidikan Veda akan memberikan penyadaran bagi para sisya (murid) untuk menyadari hakikat sang diri sejati dan bagaimana cara melepaskan diri dari kerudung maya.

Tradisi pendidikan Veda pada umumnya berlangsung di gurukula-gurukula (pasraman), yang mana acharya (guru) tinggal bersama dengan para sisya (murid). Hubungan yang begitu erat terjalin antara acharya dengan sisya, kemudian sisya dengan tulus bhakti melayani guru layaknya dewa dapat kita temukan dalam pendidikan Veda. Karena pola pendidikan Veda menegaskan, bahwa guru adalah perwujudan dari Tuhan itu sendiri “Acharya Dewa Bhawa” (Taitriya Upanisad). Berbeda dengan pendidikan dewasa ini, guru diacuhkan oleh siswanya dan celakanya lagi banyak siswa memaki-maki guru lantaran tidak suka sama pelanjaran yang diajarkan. Hubungan antara guru dengan murid dalam pendidikan Veda sangat harmonis karena dengan harmonisnya hubungan tersebut aliran transformasi pengetahuan dari sang guru kepada muridnya akan berjalan dengan baik, sehingga sang murid akan mudah memahami pengetahuan dari sang guru. Dan, sang murid diharapkan pula tunduk hati menerima apa yang diajarkan oleh sang guru tanpa adanya keraguan.

Proses pendidikan Veda bukan bersifat klasikal seperti sekarang, tetapi murid (sisya) duduk di bawah dekat kaki guru (acharya) untuk mendengarkan ajaran-ajaran suci dari sang guru (Upanisad). Guru akan menyampaikan secara lisan pengetahuan suci, kemudian dengan perenungan yang dalam ke dalam diri sang murid mencari kebenaran di balik segala pengetahuan tersebut. Dari perenungan secara intens tentang pengetahuan dari Guru dan diimbangi dengan sadhana spiritual baik itu Gayatri Shadana dan Sandhya Upasana maka dengan sendirinya karakter ke-dewataan akan tumbuh dalam diri sang murid. Betapa pentinganya menumbuhkan karakter kedewataan dalam diri, maka kajian nilai-nilai pendidikan Veda dipandang perlu dikembangkan di dalam sistem pendidikan dewasa ini yang tiada lain untuk meningkatkan kualitas manusia dari Manawa menuju madawa. Karena pada hakikatnya tujuan pendidikan adalah membentuk manusia bijaksana dan memiliki karakter ke-dewataan untuk kedamian dunia, bukan membentuk orang pintar, tetapi membuat dunia kacau.
Om Gam Ganaphataye.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar