Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 01 Februari 2011

Oh Iblis, Aku Tak Mau Menyesatkanmu

N. Putrawan

Sebuah pohon mangga yang berbuah lebat, dengan dedaunannya yang rimbun, pada musim panas ini dia adalah kedermawanan bagi pendamba kesejukan, para pencari keteduhan. Seorang lelaki separo baya duduk berteduh di bawahnya, nampaknya ia juga telah mencuri sebuah mangga setengah matang untuk dinikmatinya di tempat itu. Tak ada sesuatu istimewa pada peristiwa tengah hari yang dipenuhi cahaya matahari terik dan miskin hembusan angin itu.

Kemudian pada satu kesempatan, hembusan angin kecil semilir dari sela pohon pandan di tepian sungai berhembus ke bawah pohon mangga itu, hembusan yang mengalir ringan kemudian bergulung di hadapan si pencuri mangga tadi. Dalam sekejap gulungan angin lembut itu sudah berubah menjadi sesosok makhluk menyerupai manusia dan menjura kepada lelaki pencuri mangga itu.

“Terimalah salamku, wahai Maharsi, maafkanlah aku yang telah mengganggu dan mengagetkan istirahat siangmu!” sebut sosok makhluk mirip lelaki tua berjanggut putih panjang dan rambut bergelung seperti pedanda.

“Siapa Anda Tuan? Aku bukanlah seorang Maharsi, melainkan manusia duniawi biasa yang sedang mencuri sebiji buah mangga di kebun orang,” sahut lelaki itu tenang.
“Wahai sang bijak, wahai pribadi yang telah sempurna, wahai yang menyamar dalam kesederhanaan, dalam kerendah-hatian, Paduka dapat menipu jutaan mata manusia dengan penampilan dan kelahiran Paduka sebagai manusia biasa, sebagai manusia yang bahkan di kampung saja tidak terkenal, tidak pula kaya, apalagi pintar dan memiliki jabatan. Penyamaran kelahiran Paduka sungguh sempurna, tetapi aku adalah makhluk yang berasal dari alam bawah yang telah bertapa ribuan tahun. Hamba tahu siapa Paduka, karena hamba telah dianugerahi pandangan mata bathin sakti,” ucap setan dari alam bawah itu.

“Hm! Lupakanlah kesaktian mata bathinmu itu, ini adalah dunia nyata, Tuan sebuatkan saja apa keperluan Tuan menemuiku di sini dan aku pastikan akan meresponnya dengan cara-cara duniawi.”

“Oh Paduka yang telah selesai dalam pencarian, mohon berkenanlah Paduka menolong hamba. Pertapaan hamba ribuan tahun bertujuan untuk meningkatkan kesucian diri. Suatu masa, hamba berharap bisa terlahir sebagai manusia supaya bisa mencapai moksa. Mohon berkenanlah menunjukkan jalan pada hamba, bermurah hatilah Paduka, anggap saja hamba ini muridmu!”

“Wahai Tuan yang telah susah payah naik dari alam bawah untuk sekadar bertemu manusia biasa sepertiku ini, aku bukanlah Guru, bahkan untuk menjadi murid pun aku tak layak. Ide gila macam apa yang engkau kembangkan, sehingga ingin berguru padaku? Pergilah ke Himalaya atau ke Ashram-Ashram para Rsi, di sana Tuan akan mendapat tuntunan yang Tuan cari!

“Oh Paduka yang telah mampu berguru pada angin dan rumput teki, engkau yang telah sanggup berguru pada nyamuk dan lolongan anjing, yang dapat mendengar sabda ilahi dari suara halilintar dan suara jangkrik, mohon berkarunialah pada hamba, janganlah menghindar lagi!”

“Duhai Tuan yang dipenuhi gairah dan hasrat membara! Harapanmu seperti bara api berkobar yang akan membakar kesadaranmu. Jika gunung-gunung ingin menjadi lautan, jika samudra bercita-cita menjadi angin dan angin berharap menjadi akasa, lalu bagaimanakah jadinya nasib ciptaan ini? Assura berjuang untuk menjadi manusia utama, manusia bermimpi untuk moksa, kemudian penghuni kahyangan diturunkan kembali menjadi manusia di muka bumi. O Tuan! Pertimbangan apakah yang membuatmu berpikiran, bahwa menjadi manusia lebih beruntung daripada menjadi iblis? Lihatlah pohon mangga ini Tuan! Jika semua berebut menjadi buah, karena buah itu dipuji-puji banyak orang, lalu siapa yang mau menjadi akar, batang, daun dan bunga? Sebenarnya adakah buah tumbuh bila batang tiada, adakah langit berarti tanpa awan-awan, adakah tanah berarti tanpa panas matahari dan air? Siapakah yang paling mulia dari semua itu? Siang harikah yang lebih perkasa dari malam atau usus berisi kotoran itu lebih hina dari kepala? O Tuan, O saudaraku, O yang diamuk gelisah, Aku tak akan menyesatkanmu dengan mengajakmu menjadi sesuatu yang fungsinya lain sesuai yang telah diperuntukkan oleh yang mencipta kita. Lakukanlah fungsimu, berbahagialah dalam keberadaanmu. Kesempurnaan dan tujuan itu tidak di sana tidak di sini. Semuanya sudah ada pada dirimu!”

“Oh Paduka, pertapaan panjang hamba menjadikanku sulit menerima kebiasaan masa laluku, kebiasaan kaumku, berilah petunjuk!

“O makhluk yang dikasihi Sang Pencipta, apa yang dapat engkau nikmati itulah dunia dan tujuanmu, sebagaimana kumbang kotoran berbahagia dengan kotoran kerbau dan kupu-kupu berbahagia dengan sari bunga. Objek-objek luar dan identitas fisik, identitas makhluk bukanlah penentu kebahagiaan itu, melainkan ditentukan oleh kecenderungan alamiah yang dianugerahkan Tuhan kepada semua ciptaan, karena itu jangan melawannya. Jika pertapaanmu menjadikanmu bahagia, menjadilah iblis pertapa, mengapa engkau pusing dengan identitas keiblisanmu?”

“Matur suksma Paduka, wejanganmu membuatku tenteram.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar