Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 01 Februari 2011

Mendak Tirta di Lembah Sindhu untuk Ngemit Jagat Bali

Laporan Putrawan

Beragam cara yang ditempuh umat Hindu di Nusantara dalam rangka mengekspresikan sradha bhakti-nya ke hadapan Ida Hyang Widhi. Bagi umat kebanyakan, menggelar berbagai ritual dan bersembahyang ke berbagai pura adalah bentuk-bentuk ekspresi spiritual paling umum, sedangkan elemen-elemen lain mewujudkannya dengan menambahnya dengan melakukan pelayanan (seva), mengabdi dengan tekun pada swadharma-nya masing-masing. Atau ada juga yang menempuh jalan yang lebih trancendent, menekuni Raja Yoga untuk meningkatkan kesempurnaan rohani.

Sejumlah umat Hindu dari Bali yang sangat antusias akan keberadaan agama Hindu di Nusantara menempuh jalan yang lebih khusus untuk menguatkan eksistensi Hindu Nusantara dan terwujudnya masyarakat yang hidup harmonis: harmonis dengan dirinya sendiri, dengan insan lain, dengan alam dan dengan Tuhan. Jika elemen-elemen lain penggiat keagamaan melakukan dharma wacana untuk menyebarkan pencerahan kepada umat dan umat lain bekerja keras memperbaiki tempat-tempat suci, maka kelompok ini lebih menaruh perhatian terhadap pendukung keberlangsungan Hindu Nusantara dengan memperkuat hubungan dengan energi cosmic (cosmic mind) atau disederhanakan menjadi energi taksu. Menurut penggiatnya, struktur masyarakat Hindu Nusantara yang kuat, harmonis, eksis, produktif dan efektif tidak cukup hanya diusahakan dengan usaha-usaha rasional saja, tetapi mutlak dibutuhkan “supply” energi taksu, sehingga usaha-usaha keduniawian dalam rangka menciptakan masyarakat yang Vedic mendapat dukungan dari alam.

Usaha-usaha inilah yang telah dirintis dan terus dilakukan oleh Made Dwija Nurjaya, Jro Mangku Aseman dan lain-lain untuk memperkuat jaringan energi taksu Hindu Nusantara. Berbagai usaha telah ditempuhnya, dengan biaya pribadi, pengusaha dupa ini telah merogoh sakunya untuk menjalankan misi tersebut. Setelah sebelumnya berusaha memperbaiki hubungan niskala dengan leluhur di Dalem Solo (Candi Ceto), kemudian mengadakan permakluman (mepejati) di pusat taksu Sabrang Malayu, Palembang (baca Raditya edisi 162), kemudian matur pakeling ke Kutai. Setelah tangkil ke semua lokasi tersebut, kemudian pada tanggal 4 Januari 2011, Made Dwija Nurjaya bersama Jro Mangku Aseman, asal Subamia-Tabanan berangkat ke Jamu Kashmir, India untuk merajut kembali taksu Hindu Nusantara dengan lelangit (leluhur) Hindu di lembah Sindhu. Keberangkatannya ini juga atas dukungan dari A.A. Oka Ratmadi (Tjok. Rat) selaku penglingsir puri dan mewakili rakyat Bali (Ketua DPRD Bali).

Jro Mangku Aseman setibanya kembali dari India mengatakan kepada Raditya, bahwa secara spiritual terdapat 11 langit atau lapisan alam astral dengan 11 dewa yang menempati 11 langit itu. Yang disebut langit ke 11 adalah alam kamoksan (ngewindu) atau Siwa Sampurna. Untuk di Bali terdapat pintu hingga langit keenam, kemudian secara hirarkhis di alam sunia, pintu langit ketujuh terdapat di Dalem Solo, langit ke delapan dan sembilan di Sabrang Malayu (Bumi Ayu dan Goa Putri) dan langit 10 dan 11 terdapat di Jamu Kasmir (Lembah Sindhu). Jadi menurut Mangku Aseman, untuk menguatkan Hindu Nusantara, selain dengan memperkuat eksistensi penganutnya di alam sekala, juga mesti ditindaklanjuti dengan memelihara keterhubungan ke 11 pintu langit itu.

Bila “langit” itu tidak terpelihara dengan baik dalam artian lapisan alam tersebut tidak mendapat perhatian dalam bentuk bhakti dari para penerus umat Hindu, maka terjadi ketidakbahagiaan dengan roh-roh yang berada di lapisan tersebut. Akibatnya, keguncangan di alam sana akan menimbulkan kesulitan-kesulitan di alam nyata. Sujud bhakti dari umat untuk masing-masing lapisan langit itu adalah energi bagi roh-roh di alam tersebut untuk berevolusi naik. Dengan berevolusinya roh-roh di tiap tingkatan langit, maka manusia di alam material pun akan otomatis terangkat naik dan inilah disebut jalinan harmonis antara sekala dan niskala. Karena itulah dalam tradisi kepercayaan orang Hindu Bali, bhakti kepada leluhur sangat penting untuk menolong diri sendiri. Dan leluhur yang dimaksud tidak sebatas lelintihan soroh, tetapi leluhur dalam pengertian, bagaimana energi spiritual dalam bentuk wahyu suci Weda diturunkan kemudian diteruskan oleh orang-orang terdahulu hingga energi spiritual yang penuh taksu itu sampai di Bali.

Untuk itu, leluhur terdahulu sudah membangun “pos” sebagai tempat di mana tiap lapisan langit itu bisa “diakses” seperti telah disebutkan di atas,yaitu Bali (Besakih-Batukaru), Dalem Solo, Bumi Ayu-Goa Putri, dan Jamu Kasmir (Lembah Sindhu). Jika “pos-pos” tersebut tidak terpelihara dengan baik dari sisi niskala (spiritual), maka tujuan umat Hindu untuk mencapai langit kesebelas (Moksa) menjadi sulit.
Jro Mangku Aseman dengan didampingi Made Dwija Nurjaya menjelaskan, ketidakharmonisan hubungan dengan pusat-pusat taksu Hindu tersebut akan menimbulkan masalah di alam nyata. Akibat perlindungan yang lemah dari energi niskala, karena pikiran orang-orang belum tersinkronisasi dengan pusat-pusat taksu tersebut, maka pengaruh-pengaruh budaya luar yang bersifat non Wedic akan mudah menerjang dan menaklukkan masyarakat. Inti persoalannya adalah pikiran orang-orang yang mudah terpengaruh anasir asing akibat tidak kuatnya fondasi pikiran. Dan fondasi pikiran yang bersifat Wedic salah satunya akan bertambah kuat dengan supply dari energi taksu Hindu itu (satelitnya) yang dibangun di berbagai tempat sebagaimana disebutkan di atas.

Di Lembah Sindhu

Sebelum menuju Jamu Kashmir, pada 5 Januari 2011, Made Dwija Nurjaya dan Jro Mangku Aseman terlebih dahulu menyucikan diri di Haridwar-sungai Gangga. Dari sana perjalanan mereka teruskan ke Rajastan, mengunjungi makam penyebar Islam pertama di India. Namanya Hazrat Khwaja Moinuddin Hasan Chisty atau yang lebih dikenal dengan nama Gharib Nawaz. Tujuan mereka mengunjungi makam orang Muslim itu adalah untuk membawa salam perdamaian dunia dari Bali, jadi semacam negosiasi niskala. Kunjungan mereka ini disambut langsung oleh keturunan ke 23 dari Gharib Nawaz dan mendoakan maksud kedatangan dua duta asal Bali ini.

Setelah masimakrama dengan “penguasa muslim” di sana, Jro Mangku Aseman dan Dwija selanjutnya menuju Jamu Kashmir dan tiba di negara bagian itu pada 8 Januari 2011. Tiba di sana mereka bingung, sebab tidak tahu lokasi mana menjadi pusat taksu lembah Sindhu. Sebelumnya, atas petunjuk niskala dari Rsi Danandrya, mereka diisyaratkan pergi ke Jamu Kashmir. Selanjutnya setelah mereka berjalan tak tentu tujuan, turunlah tuntunan untuk pergi ke sebuah temple di lereng bukit di kota Katra, provinsi Jamu. Setelah berangkat ke tempat dimaksud, peta niskala yang dibaca Mangku Aseman menunjukkan, bahwa kalau tempat yang dimaksudkan adalah Temple Shri Mata Vaisno Devi. Untuk mencapai lokasi itu mereka harus naik kuda dengan ongkos 1500 rupee per orang.

Konon, di sanalah Smrti Sindhu diturunkan di masa lampau kepada Rsi Danandrya. Dan dalam kawasan temple yang luas itu, mereka akhirnya dapat menemukan sebuah bangunan yang merupakan petilasan Rsi Danandrya. Jadi inilah titik di mana Smrti Shindu diwahyukan. Sebagai tanda permakluman, bahwa penangkilan mereka untuk menunjukkan bhakti kepada leluhur dan mohon restu bagi kesentosaan umat Hindu Nusantara, dilakukanlah sejumlah ritual untuk mengaktifkan dan menyambung power taksu di tempat itu dengan taksu Hindu Nusantara. Berbagai ritual yang dilakukan adalah ngenteg linggih, mupuk pedagingan, mepasupati dan mulang pancadatu dengan pis bolong tiga biji dan benang tri datu. Sarana yang teramat sederhana itu, seperti daksina ala India dan sesajen lainnya selanjutnya oleh Jro Mangku Aseman kaanteb (dihaturkan) dengan diiringi mantra dan menggelar mudra Siwabumi, mudra prajapati dan mudra pasupati. Dengan ritual komplit ini, maka umat Hindu dari Bali yang ingin bertirta yatra ke tempat itu tinggal mebhakti saja, karena petilasan itu pun sudah diformat sesuai fungsi tempat suci di Bali.


Nebusin di Makam Kabir

Salah satu tempat yang dikunjungi Made Dwija Nurjaya dan Mangku Aseman di Agra adalah makam orang suci Hindu yang hidup pada zaman penjajahan Moghul di India. Dia adalah Kabir. Orang suci ini mati tragis karena dibunuh oleh putra mahkota kerajaan, karena putra mahkota itu cemburu dengan ketenaran Kabir. Ceritanya begini, Kabir memiliki kebiasaan hidup riang gembira, di mana-mana selalu tersenyum gembira sambil bernyanyi-nyanyi. Berita orang suci ini sampai ke istana, lalu diundanglah dia ke istana oleh putra mahkota.

Sampai di istana, Kabir ditanya oleh putra mahkota, apakah benar ia selalu gembira dalam keadaan apa pun. Kabir menjawab, bahwa memang hidupnya hanya berisi kegembiraan. Karena ingin menguji, putra mahkota pun melakukan cara ekstrim, yaitu dipenggalnya tangan kiri Kabir. Ternyata ekspresi Kabir biasa saja, tetap bernyanyi. Selanjutnya tangan kanan Kabir dipotong, satu persatu kakinya dibuat buntung, toh Kabir masih bisa bertahan dalam nyanyiannya. Merasa jengkel dengan kemampuan orang itu, putra mahkota pun memerintahkan pengawalnya memenggal leher Kabir, maka berhentilah nyanyian Kabir untuk selamanya.

Tapi karena peristiwa ini, orang-orang Hindu maupun Muslim di sana menaruh hormat kepada kemuliaan Kabir. Sejak saat itulah nama Kabir banyak dipakai orang, baik Hindu maupun Muslim, bahkan beberapa nama tempat suci non Hindu pun banyak memakai nama Kabir di depannya.

Memasuki makam Kabir bukanlah perkara mudah. Di daerah yang masih terjadi konflik ini memasuki tempat-tempat penting jelas akan sulit. Tapi ajaibnya, saat mereka tiba di lokasi tersebut saat malam, ternyata sejumlah penjaga tak ada nampak, kemungkinan tertidur. Tapi begitu Made Dwija memotret makam itu, kilatan cahaya blitz kameranya mengejutkan para penjaga dan mereka mendatangi Jro Mangku dan Made Dwija sambil marah-marah karena mengiranya sebagai penyusup. Beruntung sebelumnya, Jro mangku sudah sempat melakukan ritual nebusin, karena Kabir mati salah pati, maka perlu dimuliakan supaya tidak kesengsaran di alam sana. Sekali lagi Jro Mangku Aseman menegaskan, ketidakbahagiaan roh-roh para pendahulu akan mempengaruhi kualitas hidup generasi penerus yang kini hidup di dunia. Jadi siapa pun roh-roh terdahulu, apalagi leluhur Hindu wajib kita doakan supaya dapat meningkat ke alam-alam yang semakin halus.

Ngadegang Tirta Lembah Sindhu
Setibanya kembali di Denpasar, dua perwakilan umat Hindu asal Bali atas nama perintah niskala ini kemudian ngadegang tirta di Pura Kerta Sabha yang berada di Jaya Sabha, rumah dinas Gubernur Bali. Tirta dari Lembah Sindhu (Temple Shri Mata Vaishno Devi) selanjutnya ditempatkan dan kasungsung di Bali untuk memberi power, ngemit jagat Bali. Ikut mendak tirta ini masing-masing, Mangku Pura Goa Lawah, Mangku Pura Pucak Sari. Ngelinggihang tirta diiringi menggelar caru siap mesambleh.
Dengan telah utuhnya kembali hubungan niskala (taksu) Bali-Jawa-Sumatra-India, maka selanjutnya masyarakat Bali dan Nusantara tinggal merawatnya, supaya aliran energi kosmis itu tetap lancar dan membantu mencerahkan pikiran kita di dalam menghadapi tantangan dan kompetisi di era global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar