Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 01 Februari 2011

Jangan Jadikan Upacara Ajang Pamer Kewibawaan

Ida Ayu Tary Puspa

Ritual adalah perwujudan dari implementasi Panca Yadnya, baik itu dewa, pitra, resi, manusa, maupun butha yadnya. Melaksanakan ritual tentu harus seimbang dengan pendalaman tattwa dan kesadaran tata susila, karena ketiga hal tersebut adalah saling berkaitan dan saling mempengaruhi secara signifikan. Ritual yang digelar diusahakan tidak mengabaikan ketiga hal tersebut kalau kita menginginkan suatu keseimbangan hidup.

Dengan upakara yang dipersembahkan sebagai rasa bakti, maka akan ada pembagian wewidangan sebagaimana konsep tri angga dalam agama Hindu. Ada upacara yang dipersembahkan di sanggar tawang sebagai simbol hulu, di paselang sebagai simbol badan, dan di sor sebagai simbol suku. Nah menyelenggarakan ritual dengan pembagian seperti itu akan pula mempengaruhi banyak hal, karena kini di era kali ada keegoan yang ditunjukkan oleh umat, seperti apakah itu meniru pejabat yang menggelar upacara dengan mengambil akses bersama milik umum/masyarakat atau karena mengklaim suatu tempat sebagai miliknya sendiri padahal itu fasilitas umum. Taruhlah misalnya jika ada upacara yang dilaksanakan, baik itu untuk di pura maupun dalam tempat suci di rumah tangga, maka seringkali kita melihat jalan umum sebagai fasilitas umum digunakan sebagian untuk menempatan lapan/pangubengan. Tidak usah ditanya apa yang terjadi terhadap arus lalu lintas lebih-lebih yang dua arah di jalan tersebut. Atau ada tren terbaru dalam melaksanakan upacara terutama menggelar resepsi sampai mengambil ruas jalan dengan memasang tenda. Hal ini seakan mendapat legalitas dari pihak terkait yang bertanggung jawab terhadap hal seperti itu. Terkadang melakukan hal semacam itu sudah lumrah, tapi bijakkah hal itu dilakukan?
Hanya sekedar ada odalan di sebuah pura untuk memberi kesempatan kepada umat melakukan ritual, lantas jalan ditutup, baik dari utara maupun dari selatan misalnya. Lantas pengguna jalan dialihkan oleh pecalang dengan kumis tebal, kacamata hitam, dan arogan menuju jalan kecil yang menimbulkan kemacetan. Padahal setelah diselidiki, ternyata di jalan yang ditutup itu tidak ada aktivitas apa-apa, hanya saja kebetulan pura yang di-odalin saat itu sedang ada warganya yang akan datang bersembahyang dan tidak ada acara meprani atau mendak toya ning. Jadi umat saja yang berseliweran di jalan dan seakan jalan itu hanya milik mereka saja.

Pada kesempatan lain misalnya mengiring jenazah ke setra pada upacara ngaben yang paling sering memacetkan lalu lintas. Padahal ngaben sederhana dengan tidak memakai bade tumpang sehingga pengusung pun tidak terlalu banyak, tetapi masyarakat pengiring itulah yang memenuhi jalan sampai penuh. Kalau saja mereka sadar bahwa akses itu bukan milik sendiri, maka mestinya kesadaran sebagai manusia Hindu bangkit dengan toleran terhadap orang lain. Kalau hal itu tidak disadari, maka sampai kapan pun masyarakat akan tetap seperti itu. Coba kita bandingkan karena orang-orang sekarang sangat egois dan hedonis, bila jalan di depan rumahnya atau sekitar rumahnya ada yang berlubang, tidak pernah kita lihat masyarakat itu mau dengan hati nurani untuk sekedar menutup lobang itu yang bisa diisi batu, pecahan bata atau yang lainnya sehingga para pengguna jalan dapat terhindar dari keterperosokan masuk ke dalam lubang. Masyarakat sekarang apatis, karena hanya menunggu uluran tangan pemerintrah dalam menyelesaikan hal sekecil itu.

Di lain pihak memperbaiki sekecil itu untuk jalan yang berlubang tidak mau, lalu pada saat menggelar upacara, maka orang itu mengganggap bahwa jalan itu adalah miliknya, apakah itu wajar dilakukan? Kalau seperti itu melaksanakan sebuah ritual tentu tidak akan menghasilkan yadnya yang berkualitas karena telah membuat orang banyak ngedumel, susah bahkan mencemooh karena kenyamanan mereka terusik.
Seyogyanya yadnya yang dilaksanakan ikut pula membuat orang lain dapat menikmati yadnya tersebut alias berbahagia sehingga mereka pun akan turut mendoakan, asal yadnya itu dilaksanakan dengan lascarya. Bukankah yadnya itu diperuntukkan pula adalah untuk sesama sebagaimana dalam Agastya Parwa menyebutkan, bahwa Manusa Yadnya itu adalah yadnya terhadap sesama. Jadi hindari berpikir bahwa yadnya hanya dipersembahkan kepada Ida Sang Hyang Widhi saja.

Untuk dapat mewujudkan yadnya yang berkulaitas dan satvik, maka sesuai dengan yang termuat di dalam Bhagawad Gita XVII, 11,12,dan 13 adalah sebagai berikut:
Tamasika yadnya adalah yadnya yang dilakukan tidak sesuai dengan petunjuk kitab suci, tidak ada mantra yang dirapalkan, tidak ada dana punia yang diberikan, dilakukan tanpa dasar kepercayaan, tanpa kidung suci, dan dilakukan dengan kebodohan.
Rajasika yadnya adalah yadnya yang dilakukan dengan penuh harapan akan hasilnya, dilakukan dengan tujuan untuk pamer belaka dan dilakukan dengan dorongan hawa nafsu duniawi belaka. Tamasika dan rajasika yadnya adalah yadnya yang tergolong rendah kualitasnya dan tidak akan memberikan peningkatan spiritual.

Yadnya yang tergolong satwika yadnya adalah yadnya yang dilakukan bertentangan dengan tamasika dan rajasika yadnya. Merujuk sloka dalam Bhagawad gita di atas , maka ada tujuh syarat suatu yadnya yang berkualitas tinggi/satwika yang seyogyanya dilaksanakan yaitu.

Sraddha, yaitu kepercayaan bahwa yadnya itu dilaksanakan karena diajarkan kitab suci. Sebagaimana dasar agama Hindu adalah kepercayaan. Yadnya pun yendaknya diyakini sebagai kewajiban suci (yastawyam).

Lascharya, yaitu ketulusiklasan dalam mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, dan harta benda. Juga dapat diartikan tidak adanya keraguan dalam melaksanakan yadnya kepada Tuhan dan ciptaanNya. Sebagaimana dalam Kuntisraya karena keraguan Kunti pada waktu melaksanakan tapa brata mohon kepada Dewi Durga untuk memusnakahkan wabah yang menyerang Indraprasta. Hal itu berakibat masuknya raksasa Kalika ke dalam tubuh Ibu Kunti dan menyeret Sahadewa, anak tirinya untuk dipersembahkan kepada Durga. Sahadewa ikhlas untuk dipersembahkan sebagai yadnya. Karena itulah Dewa Siwa memasuki raga Sahadewa, sehingga Durga berubah menjadi Dewi Uma. Sahadewa pun selamat sekaligus dapat menyelamatkan Dewi Kunti. Inilah yang menjaid cikal bakal caru ekasata.

Widhi Drista, artinya bahwa setiap yadnya yang akan dilaksanakan hendaknya bersumber pada sastra atau peraturannya yang telah ditradisilkan.
Mantra, setiap mantra yang dilaksanakan hendaknya dilakukan dengan pengucapan mantra, baik oleh pandita, pinandita, dan yajamana.
Daksina, atinya memberikan dengan tuluas ikhlas.
Anasewa, artinya setiap yadnya yang dilaksanakan diharuskan untuk membagi-bagikan makanan dengan keikhlasan sesuai dengan kemampuan, di Bali disebut dengan ngejot sesuai dalam kitab Bhagawadgita yang disebut dengan sristannanam.
Nasmita, artinya yadnya yang dilakukan dimaksudkan adalah bukan dengan pamer kemewahan atau pamer kewibawaan untuk popularitas.

Bercermin dari sastra yang termuat di atas sudah saatnya umat Hindu dalam melaksanakan yadnya dapat melakukannya dengan baik sehingga menuju kepada yadnya yang satwika. Dengan demikian, maka membuat orang lain merasa senang dengan yadnya yang kita gelar merupakan yadnya yang berpahala.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar