Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 01 Februari 2011

Bunculan versus Dampukan

I Dewa Gede Alit Udayana

Bunculan, oh bunculan. Ini dia salah sebuah kata dalam bahasa Bali yang sudah sangat jarang didengar, apalagi digunakan. Bahkan anak-anak muda kini sudah tidak mengenalnya (lagi), alih-alih mengakrabinya. Kata unik ini seolah sudah mati dan menjadi masa lalu. Namun syukurlah, kata itu masih bisa ditemukan dalam kamus bahasa Bali, antara lain yang disusun oleh I Wayan Simpen (1985) maupun yang disusun Wayan Budha Gautama (2009).
Tidak mudah mencari padanan dari kata (Bali) bunculan dalam bahasa Indonesia. Walaupun dapat, mungkin tidak akan pas benar dengan "rasa" kata yang sebenarnya. Mungkin hanya mendekati. Bahkan yang ditulis dalam kamus-kamus bahasa Bali itu juga mungkin tidak klop benar dengan "rasa" kata yang sebenarnya.

Nasib yang sama dialami oleh banyak kata dalam bahasa Bali, yang sulit dicari padanannya yang pas dalam bahasa Indonesia. Cobalah cari padanan kata-kata berikut ini: nenggel, tuukin, dan dangla. Sulit bukan? Kondisi ini mirip seperti menceritakan rasa buah pisang kepada orang yang belum pernah makan pisang. Manis seperti gula? Lembek seperti mentega? Tidak juga Yang paling pas, tentu merasakan sendiri rasa buah pisang itu, dengan memakannya. Demikian juga dengan kata bunculan ini. Bagi orang Bali yang lahir dan dibesarkan di Bali tempo dulu dapat dengan mudah memahami kata yang mulai jarang digunakan ini. Kini, seperti dikemukakan pada awal tulisan ini, saya tidak yakin, apakah para muda masih mengenal arti kata ini (seperti juga "nasib" banyak kata dalam bahasa Bali yang juga "terancam punah").

Bunculan terkait erat dengan masalah keberuntungan, khususnya dalam masalah perolehan rezeki. Mereka yang sudah bekerja keras dengan sangat keras, pontang-panting, toh sangat sulit mendapatkan rezeki, di"cap" sebagai bunculan. Lawannya, dampukan. Orang yang dampukan dapat dengan mudah memperoleh rezeki, meski tidak perlu berusaha terlalu keras. Di Bali, bunculan mudah dikaitkan dengan hari kelahiran yang jelek dari seseorang. Untuk menetralisisr keadaan buruk ini biasanya dilakukan ruwatan, di Bali dikenal sebagai bayuh, terhadap hari kelahiran, atau wetuan (oton). Jadilah yang lebih dikenal sebagai bayuh oton (ruwatan untuk menetralisir pengaruh buruk dan hari kelahiran).

Bunculan, dipercayai juga dapat disebabkan oleh sebab-sebab yang lain. Sebab-sebab lain tersebut misalnya ambah dan padewasan (hari baik) yang tidak cocok. Ambah artinya arah. Dalam wariga (semacam kalender, tuntunan mengenai hari baik) diatur arah (ambah) ke mana sebaiknya pada hari tertentu. Artinya, bila pada hari tertentu ambah-nya ke timur tetapi kita melakukan perjalanan ke arah sebaliknya (barat) maka boleh jadi kita akan gagal dalam pencapaian tujuan kita. Bunculan, kata orang, soal salah pedewasan, penjelasannya begini. Bagi orang Bali, segala aktivitas untuk melakukan sesuatu harus pada dewasa yang sesuai (baik). Ini dikenal sebagai dewasa ayu (hari baik). Umumnya, kegiatan yang berbeda akan mempunyai dewasa yang berbeda pula. Misalnya, dewasa ayu untuk membuat saluran air akan berbeda dengan dewasa membuat perahu. Demikian halnya, sehingga ada dewasa ayu untuk: ngaben, pawiwahan (perkawinan), membangun ramah, dan lain sebagainya. Untuk memulai usaha-usaha yang berkaitan dengan perolehan rezeki (usaha), ada dewasa khusus untuk itu.

Bunculan menunjuk kepada keadaan yang sial secara berkesinambungan. Menurut Kamus Indonesia-lnggris-Bali karangan I G. M. Sutjaja (2004), bunculan diartikan sebagai sial (bahasa Indonesia) dan unlucky/unfortunate (Inggris). Sedangkan, I W. Simpen dalam Kamus Bahasa Bali (1985) memadankan kata bunculan dengan pocol, kado, atau tuara asi. llustrasi berikut ini diharapkan dapat lebih memudahkan pemahaman itu.

Untuk lebih membuat terang soal ini ada baiknya ditampilkan sebuah ilustrasi, seperti ini. I Wayan Kisid misalnya, hanya nama rekaan, adalah seorang pedagang. Di manapun Kisid menggelar dagangannya, meskipun Kisid sudah memilih tempat yang strategis, tidak akan mendapat pembeli, atau kalaupun dapat, pastilah tidak sebanyak yang didapatkan pedagang lain yang dampukan. Bila ini menimpa Kisid terus-menerus, biasanya Kisid diminta untuk mebayuh oton, atau beralih profesi. Karena dia dianggap bunculan.

Kalau seseorang mengeluh dirinya bunculan, biasanya orang-orang segera menasihatinya: ente hanya kurang bekerja keras, kurang usaha saja. Bukankah usaha memerlukan kerja keras? Para praktisi bisnis kerap menyarankan bahwa keberhasilan yang mereka peroleh biasanya telah melalui berbagai kegagalan terlebih dahulu. Dalam benak para pebisinis, tidak ada istilah bunculan. Yang ada hanyalah belum waktunya saja. Dalam bahasa hebatnya: kegagalan hanyalah keberhasilan yang tertunda. Namun, percaya atau tidak bunculan memang ada, dapat dirasakan bagi yang mengalaminya.

Dalam pemahaman Hindu, itu dapat dipahami. Bukankah itu bagian dari karma kita yang pahalanya mungkin baru dinikmati sekarang? Oleh karenanya, agar dalam kehidupan yang akan datang tidak mengalami hal-hal buruk, maka berbuatlah yang benar dalam kehidupan sekarang ini. Itu nasihat para tetua. Bukankah perbuatan baik dalam kehidupan sekarang ini selain dapat dinikmati hasilnya saat ini, juga merupakan "tabungan" untuk kehidupan yang akan datang? Tabungan baik itu setidaknya dapat mengurangi utang perbuatan buruk yang masih tersisa. Bukankah senantiasa berbuat baik merupakan tuntunan dari srada karma phala?

(/ Dewa Gede Alit Udayana, tinggal di Bangli, Bali).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar