Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 14 April 2010

Tanah Impian

N. Putrawan

Kabar wangi aroma rempah Nusantara pun akhirnya sampai ke telinga orang Eropa, dan mulailah petualangan pedagang Eropa ke Asia Tenggara.

Berkat ditemukannya teknologi mesin uap oleh James Watt, berlayar dari Eropa ke Asia pun terasa lebih ringan dan cepat. Jalur perdagangan laut ini memudahkan bangsa Eropa mengambil rempah-rempah Nusantara. Tergiur keuntungan berlipat, kabar tentang kebun rempah-rempah di dunia Timur yang murah meriah pun kian merangsang saudagar Eropa untuk datang langsung membeli rempah-rempah ke Nusantara. Tak terhenti di situ, karena kemudian antarbangsa Eropa pun akhirnya saling berlomba berebut pengaruh di Nusantara, baik melalui jalan politik, ekonomi, agama dan sebagainya. Belanda, Inggris, Portugal adalah deretan bangsa Eropa yang ikut dalam “perlombaan” menaklukkan bumi rempah-rempah itu.

Demikianlah, oleh suatu sebab cara pandang sebuah bangsa, mereka melihat suatu wilayah atau kawasan sebagai “tanah impian” yang dapat memenuhi hasratnya. Eropa pada zaman kolonialisme memandang Nusantara dan Asia lainnya sebagai tanah impian yang dapat memperkaya ekonomi bangsanya. Karena alasan keuntungan ekonomilah mereka datang jauh-jauh.

Fenomena ini bukanlah surut, meski status bangsa kita sudah merdeka. Kini, tetap saja Nusantara sebagai tanah impian negara-negara kaya yang memiliki ketinggian teknologi dan manajemen pasar yang hebat. Konglomerasi perusahan internasional pun berlomba berinvestasi di Indonesia untuk melakukan pengeboran tambang, industri pariwisata, perdagangan, otomotif dan lainnya. Inti dari semua aktifitas itu adalah: bagaimana mengisap keuntungan sebesar-besarnya dari bumi Indonesia. Dulu, tentara Kompeni yang membuat bangsa kita tak berdaya 350 tahun, kini investasi yang membuat kita terkapar. Bahkan modal asing itu kita undang dengan merengek-rengek supaya mau membangun ekonomi kawasan kita.

Bila melihat tayangan “Wild Life” di National Geographics, maka kita mudah dapat belajar dari hewan liar di padang luas Afrika. Bila serombongan singa menemui suatu kawasan hamparan yang banyak rusanya, maka rombongan singa ini akan berkelahi untuk mengalahkan penguasa singa yang telah ada di sana sebelumnya. Bila kawanan singa pendatang ini menang, maka menjadi penguasalah mereka atas semua potensi makanan di hamparan itu, tapi bila pertarungan itu tuan rumah yang menang, maka si pendatang harus pergi menjauh sebelum menjadi objek pembantaian. Artinya, kebutuhan akan makanan dan kebutuhan akan ruang sebagai “rumah” sebagai “Gumi” adalah bersifat insting. Ketika semua makhluk ingin mengejawantahkan instingnya, maka penyelesaian dari kepentingan yang saling bertubrukan ini adalah pertarungan.

Dalam kasus khusus di Bali, entah bagaimana cikal bakalnya, tiba-tiba saja pulau ini telah menjelma menjadi “tanah impian” dari orang-orang dengan berbagai kepentingan. Tokoh spiritual mencoba menaklukkannya, berikutnya, lusinan raja mengirim tentara untuk menjadikannya daerah taklukkan, tak ketinggalan pedagang-pedagang Cina pun berebut datang untuk menangguk untung dari pulau kecil ini.

Bicara kisah takluk-menaklukkan, cerita pulau ini menjadi sangat tua. Yang diketahui hingga sekarang, penakluk pertama secara politik adalah kerajaan asal Jawa, kemudian pada zaman-zaman berikutnya raja-raja dari Jawa yang lain kembali menaklukkan Bali dan selanjutnya menghuni pulau ini secara beranak pinak. Tak jelas, apakah tanah ini memang “tanah impian” atau “tanah pelarian” bagi manusia Jawa. Dari dulu, dari dulu.
Namun kini, orang-orang Jawa yang telah beranak pinak di Bali puluhan generasi itu telah merasa dan mengklaim dirinya sebagai “orang Bali” hanya karena satu alasan: mereka datang duluan di Bali. Tapi, kembali pada teori insting “mencari makanan” dan “mendapatkan ruang” orang-orang Bali kini merasakan adanya ancaman nyata ini. Arus pendatang luar pulau yang ikut mengais rejeki di Pulau Bali secara perlahan merangsek dominasi penduduk asli. Secara politik, para politisi dan pejabat pemerintah mungkin masih didominasi orang Bali, tetapi dalam pertarungan ekonomi semuanya belum bisa dipastikan siapa yang mendominasi. Hanya pada tataran investasi skala besar telah terbukti modal asli Bali sangat kecil perannya. Nah, bagaimana di sektor skala menengah dan sektor ekonomi informal?

Pulau kecil ini nampaknya setia menjadi saksi segala bentuk pertarungan yang terjadi sepanjang masa. Dan tanah ini pun rupanya hanya mau bersahabat dengan para pemenang. Misalnya, ketika Pemerintah Kolonial Belanda memenangi pertarungan atas Bali tahun 1906-1908, maka berikutnya, semua penguasa (raja-raja) lokal menjadi bawahan atau kaki tangan Belanda. Yang tak sudi tunduk, maka mereka pasti tak mendapat ruang dan makan di Bali: keselong (dibuang) ke Nusa Penida, Lombok atau Betawi adalah hukumannya.

Dan kini, ketika klan atau soroh-soroh bangkit, ternyata ditemukan kenyataan kalau konon mereka semua berasal dari Jawa. Artinya mereka semua keturunan pendatang yang pernah memiliki riwayat sebagai pemenang dalam pertarungan di pulau ini di masa lampau. Tak ada yang mau mengklaim kalau soroh-nya bernenek moyang asal Gunung Agung atau Gunung Batukaru. Mereka gengsi mengaku produk asli Bali, tapi ketika kompetitor pekerja Jawa datang, tiba-tiba saja para soroh yang konon keturunan Jawa itu mengaku sebagai orang Bali. Entah! Tapi sejarah mencatat, hanya pemenanglah yang menghuni pulau ini. Jadi kalau ingin bertahan di sini, artinya harus menjadi pemenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar