Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 16 Maret 2010

Menyambut Nyepi dengan Penuh Kedamaian

Oleh: I Komang Agus Widiantara

Nyepi yang merupakan perayaan suci agama Hindu dan sekaligus Tahun Baru Saka yang jatuh pada “Penanggal Ping Pisan Sasih Kadasa” menurut sistem kalender Hindu Nusantara, yaitu di saat Uttarayana (hari pertama matahari dari katulistiwa menuju ke garis peredaran di lintang utara), merayakannya dengan sepi yang kemudian bernama nyepi artinya membuat suasana hening, tanpa kegiatan (amati karya), tanpa menyalakan api (amati agni), tidak keluar rumah (amati lelungan), dan tanpa hiburan (amati lelanguan), yang dikenal dengan istilah Catur Brata Penyepian.



Selama meyambut hari raya nyepi, berbagai kegiatan yang di lakukan masyarakat untuk mempersipakan segala sesuatu, baik sarana maupun prasarana dalam proses upacara nanti seperti Tawur Agung Kesanga yang dilakukan sehari sebelun perayaan nyepi keesokan harinya. Upacara ini dilakukan tentu saja untuk persembahan manusia kepada para Bhuta Yadnya agar terjadi keseimbagan dan keharmonisan dalam menjaga hubungan erat antara manusia dengan alam sekitar (palemahan). Namun terkadang acara tersebut dipandang sebelah mata hanya dipersepsikan sebagai formalitas dan pelengkap hari raya nyepi. Hal tersebut bisa kita amati khususnya di Bali yang kental akan berbagai jenis upacaranya (ritualnya).

Selain itu hiruk-pikuk dalam perayaan nyepi sering sekali terjadi kejanggalan dan ketidak sesuain dengan konteks hari rayanya. Banyak masyarakat (Bali-Hindu) yang acuh tak acuh, merayakannya penuh dengan kemewahan, berpesta poria, minum-minuman keras di setiap gang-gang perumahan maupun balebanjar atupun wantilan dan yang sangat memprihatinkan sekali yaitu bahkan ada masyakat yang memanfaatkan moment ini (nyepi) untuk berjudi, karna hari ini merupakan hari libur nasionl yang di tetapkan oleh pemerintah, sehingga masyarakat(Bali-Hindu) menggunakan waktu senggang ini untuk bersenang-senang. Sangat lucu dan sekaligus mengherankan. Perayaan suci (nyepi) yang sangat disakralkan dan di hormati disambut dengan penuh kegemerlapan duniawi yang tak habis-habisnya sepanjang tahun. Kemungkinan banyak umat non Hindu di luar sana yang mengetahuinya dan berfikir, kenapa bisa seorang masyarakat Bali-Hindu yang taat dan disiplin akan ritual keagamaaan bisa-bisanya menyambut hari rayanya sendiri penuh dengan foya-foya dan bersenang-senang dengan berbagai kegiatan hiburan ? Masyarakat Bali yang di puja-puji di luar sana, dengan berbagai label keramahan, ketaatan, bermoral, ramah, tamah semuanya terberangus dalam sebuah muara anomali yang terpuruk.

Memang tidak bisa dimungkiri arus pariwisata global telah mengubah pola pikir dan karakter masyarakat Bali khususnya. Sektor ini telah merubah watak manusianya semakin liar dan binal. Tentu saja disini mereka tidak bisa menahan diri dalam arus materi yang diorientasikan demi untuk mencukupi kebutuhan hidup yang semakin kompleks dan menggila. Terlebih dari sektor itu berdampak signifikan dalam merusak alam Bali yang menjunjung tinggi ajaran Tri Hita Karana. Bali yang sekarang bukanlah Bali yang dikenal seperti dahulunya. Bangunan yang super megah dengan ketinggian yang melebihi peraturan yang diberikan telah di langgar dan sekaligus disepakati dengan jalan damai(kompromi), tanpa memperhitungkan dampak dari apa yang telah di sepakatinya tersebut. Semuanya itu hanyalah keteledoran manusianya sendiri, mau terjebak dalam dunia fana yang penuh dengan sajian keduniawiaan.

Sungguh ironis sekali, ketika ketidakberdayaan manusia dalam menahan hawa nafsu(kama) maka terjerumuslah ia dalam lembah muara keterpurakan yang meyesatkan. Tanpa menyadari ia sejatinya hanyalah manusia biasa yang merupakan ciptaan Tuhan yang penuh dengan kelemahan. Dalam hakikatnya menyambut perayaan agama seperti perayaan nyepi yang merupakan hari raya yang dijunjung tinggi umat Hindu-Bali sebenarnya harus dihormati dan di sambut dengan penuh kedamaian, keheningan, intropeksi diri dan menyelami sambil mempelajari kesalahan-kesalahan yang kita lakukan sebelumnya bukan meyambut dengan berbagai pesta poria yang penuh dengan kenikmatan duniawi. Karna waktu kehidupan bagi manusia sangat terbatas.

Entah kapan waktu akan mengakhiri kehidupan manusia dan dunia ini. Sebelum jatuh dan jauh dari penyesalan marilah sebagai masyarakat Hindu Bali khususnya, meyambut perayaan nyepi dengan penuh hikmat betul-betul menyadarkan diri sendiri dengan keyakinan yang kuat, meskipun belum bisa sepenuhnya melakukan catur brata penyepian, dengan tahap demi tahap serta proses pembelajaran bukan tidak mungkin hal itu dapat kita capai, demi mencapai kesejahteran hidup lahir maupun batin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar