Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 16 Maret 2010

Mengapa Terawangan Balian Sering Meleset?

Oleh Gede Agus Budi Adnyana


Dalam lontar Aji palayon dikatakan, bahwa jika hendak pergi kepada seorang balian, maka harus mengedepankan akal sehat. Jika sesuai dengan sastra agama dan logika, barulah dijalankan. Jika tidak, maka tinggalkan saja. Namun jika kita berbicara masalah logika, rasional atau nalar yang mengedepankan akal sehat, dalam tataran niskala, maka hal tersebut bukanlah sebuah hal yang mutlak diperlukan. Sebab dunia niskala berisikan banyak hal-hal di luar nalar namun itu terjadi.

Demikian pula, jangan sekali-kali menelan mentah-mentah apa yang diucapkan oleh seorang balian. Sebab jaman sekarang, tidak sedikit balian yang ngaku-ngaku ririh. Harus diakui, bahwa kehidupan sosioreligius masyarakat Bali sangat erat dengan dunia perdukunan ini. Pawisik dari balian dapat menjadi cikal-bakal berdirinya pura, dapat membuat sebuah palinggih yang sedari dulu tidak ada, sekarang dengan adanya pawisik itu tiba-tiba saja ada palinggih. Bahkan untuk nuwur jero mangku saja, harus menggunakan perantara balian, yang dipercaya mampu berkomunikasi dengan para Bhatara atau makhluk yang niskala.

Mengapa kehidupan masyarakat Bali dalam hal ini dalam ranah agama yang harus sedikit tidaknya melibatkan peran seperti ini? Jawaban untuk pertanyaan ini hanya dapat dijawab, jika kita melihat sisi dualitas hidup manusia yang berpengaruh pada pembentuk badan manusia itu sendiri. Dalam ranah bhairava tantra, ada yang disebut dengan prawerti dan niwerti. Dua sisi kubu ini akan menghasilkan satu energi yang dapat menghidupkan atau mendatangkan sakti.

Namun energi prawerti tidak memiliki kapasitas dalam sakti yang berkaitan dengan kewisesan. Sisi prawerti hanya berpusat pada kumpulan energi-energi potensial yang merupakan asli bawaan setiap makhluk, atau dengan kata lain, energi ini bermuara pada satu kesadaran yang menuntun manusia untuk mengartikan hakikat hubungan Tuhan dengan dirinya sendiri. Inilah yang membawa manusia pada bhakti.

Sedangkan aspek niwerti adalah satu sisi yang membangkitkan kekuatan, kesaktian, kewisesan, yang bermuara pada satu kekuatan supranatural, kekuatan magis, dan melebihi kekuatan normal lainnya. Maka penekun dalam sisi niwerti akan mendapatkan banyak kewisesan yang dapat digunakan oleh dirinya sewaktu-waktu.

Bisa jadi, jika seseorang yang sadar akan hakikat Tuhan-nya, melakukan bhakti, menemui banyak kendala. Kendala ini datang dari sebuah sisi kehidupan yang tidak bisa terlepas dari baik dan buruk, menang atau kalah, dan untung ataupun rugi. Manusia juga dalam menjalankan kegiatan agamanya semuanya ingin berjalan dengan baik, harmonis dan tiada halangan. Namun dunia bukanlah tempat tanpa halangan, bukan tempat tanpa rintangan dan keburukan. Untuk menghindari atau meminimalisir keburukan dalam kegiatan agama, maka peran niwerti diperlukan di sini, sebagai satu cara antisifasi agar halangan dalam menjalankan aktifitas ibadah dapat diminimalkan.
Contoh: Ketika seorang Hindu Bali akan melakukan sebuah upacara ngeresi gana, maka ia sudah pasti mengambil jalan bhakti. Namun dalam prosesi upacara ini, ia ingin agar semua halangan, semua rintangan, keburukan dapat diminimalisir dengan baik, agar yajna yang ia lakukan berhasil dengan baik. Maka ia datang ketempat balian, untuk menanyakan, apakah ada energi buruk di hari pada saat ia akan melangsungkan upacara resi gana? Apakah ada hari baik lainnya, atau apakah hari tersebut buruk? Jika ada keburukan, maka hal apa saja yang diperlukan untuk meminimalisir hal tersebut?

Contoh satu lagi: jika seorang Hindu Bali meninggal dunia, maka kerabatnya akan melaksanakan upacara yang bernaa ngaben. Jika seorang hanya berjalan dalam sisi Prawerti Marga, maka seusai upacara ngaben, ia tidak usah pusing apakah yang diaben mendapatkan tempat atau malah dirajam di neraka. Ia yakin akan hukum karma yang ada di dunia sana dan ia sudah sangat puas melakukan ngaben dengan tuntunan sastra yang benar.

Namun orang yang berada dalam tataran niwerti akan bertanya kembali. Apakah kakek saya yang baru diaben mendapatkan tempat, apakah ia tidak sengsara di sana, atau banten apakah yang kurang dan jika ia menderita di alam sana. Apakah yang harus dilakukan agar hukumannya dapat dikurangi? Dengan tujuan itu, maka ia pergi ke tempat balian, untuk meluasang, apakah kakeknya mendapatkan tempat atau tidak. Jika dihukum atau dalam keadaan susah, maka banten apa yang harus dibuat agar hukuman kakek bisa sedikit dikurangi. Dengan bertanya seperti itu, maka sang balian kerauhan dan memberikan solusi atas masalah yang dihadapi.

Jika kita cermati, maka keduanya berdasarkan sebuah bhakti. Yang satu melakukan upacara dengan sastra yang berarti ia bhakti, dan yang satunya lagi melakukan upacara dengan baik, namun karena dorongan kasihnya kepada sang almarhum, maka ia berkeinginan yang terbaik. Dengan demikian, mereka menggunakan jasa balian sebatas rasa kasih mereka.

Namun perlu diperhatikan, bahwa balian adalah manusia. Sehebat apa pun manusia, maka ia pasti melakukan kesalahan. Ada sebuah kisah yang menarik mengapa balian tidak mungkin menerawang sisi niskala dengan tepat seratus persen. Ceritanya begini: Dahulu, ketika manusia diciptakan, maka yang membungkus inti kehidupan (jiwatma) adalah citta, buddhi, ahamkara. Pikiran, kecerdasan atau intelejensi dan juga rasa keakuan yang luar biasa. Sisi rohani dengan pancaran kekuatan supranatural adalah satu cerminan dari aksi intelejensi, sedangkan ketika intelejensi rohani itu sedang bekerja, maka ahamkara atau rasa keakuannya menjadikan semuanya terselubung kembali. Jaring maya sangat sulit ditembus, dan layaknya seseorang melihat lewat sebuah jaring, maka apa pun yang ia lihat pasti kurang jelas, atau paling tidak penglihatan yag dilakukan tidak sejelas mata tanpa halangan jaring.

Demikian juga hanya dengan Balian dengan meneropong hal-hal berbau niskala, tidak akan mungkin mampu melihat seratus persen benar, terlebih lagi balian yang ngaku-ngaku sakti. Apa yang harus diperbuat? Yang perlu dilakukan adalah bahwa sesuatu kegiatan beragama kita jalankan saja dengan petunjuk sastra atau dengan tuntunan sang pandita. Jika menemukan sebuah kejanggalan, maka barulah cari solusinya dengan jalan niskala, namun tetap dengan mengedepankan akal sehat sebagai sebuah filterisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar