Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 16 Maret 2010

Balian: Bermula dari Sidhi Guru Sukracharya

Oleh Ni Luh Putu Eka Marianti.


Balas dendam! Kata-kata itu terlontar dari mulut seorang balian ketika pasangan pasutri hendak meramalkan anaknya untuk mengetahui bagaimana proses kelahirannya dan siapa yang menumitis pada anaknya. Dan anehnya, si balian berkata, dengan mengatasnamakan Bhatara Gunung Agung yang memberikan wewenang kepada leluhurnya untuk melakukan balas dendam atas perlakuan yang telah ditimpakan kepadanya dalam kehidupan terdahulu, dan sekarang menuntut balas perlakuan itu melalui keturunannya. Kata-kata itu membuat sang ibu menjadi takut akan nasib anaknya. Sudah tentu, bagi masyarakat awam akan percaya saja akan semua itu, karena mereka tidak mengetahui bagaimana sesungguhnya tujuan dari kelahiran tersebut.

Sudah menjadi tradisi umat Hindu di Bali secara turun menurun untuk meramalkan setiap anak yang baru lahir kepada seorang dukun atau balian untuk mengetahui perihal kelahirannya. Pernyataan dukun seperti di atas, membuat saya menjadi heran, apakah mungkin Bhatara memberikan wewenang untuk melakukan balas dendam kepada roh yang akan terlahir ke dunia. Bukankah kita terlahir akibat karma buruk kita dan kita diberikan kesempatan kembali oleh Tuhan untuk memperbaikinya? Dan bagaimanakah pandangan agama lain jika mengetahui hal ini? Mereka pasti dengan mudah menjalankan rencananya yang sedari dulu telah dipersiapkan untuk menkonversi (mengalihkan) Agama Hindu. Dan bahkan mereka telah mengecam Hindu sebagai agama Bumi, bukan agama wahyu. Dan masih banyak lagi pernyataan-peryataan mereka yang melecehkan agama Hindu.

Nah hal tersebut terjadi, tiada lain karena akaibat kesalahan kita sendiri yang melecehkan para Dewa atau Bhatara yang kita yakini sebagai manifestasi Tuhan. Sesungguhnya Tuhan dalam Hindu tidak pernah menyarankan umatnya untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh-Nya, melainkan setip tindakan baik yang datangnya dari pikiran, perkataan, maupun perbuatan harus didasarkan atas kesadaran Tuhan. Artinya, setiap tindakan yang kita lakukan bergantung sepenuhnya kepada Tuhan Yang maha Esa.
Masyarakat haruslah jeli melihat dan mendengar peristiwa seperti tersebut di atas, sebab tak semua yang dibicarakan oleh si dukun itu benar. Terkadang dia merekayasa kejadian, sering memberikan penjelasan yang tak tentu, juga menyimpang dari sastra-sastra Hindu. Bahkan terkadang menambah konflik dalam rumah tangga seseorang. Kejadian ini banyak dialami oleh masyarakat, bahkan keluarga saya sendiri pernah mengalaminya, sehingga kami pun apriori terhadap dukun alias balian. Walaupun tidak semua balian seperti itu.

Sebaiknya jika kita ingin mengetahui kelahiran dari si anak, lebih tepatnya bertanya kepada seorang pendeta, sebab pendeta memiliki kualifikasi yang tepat untuk menjelaskan perihal seperti itu karena beliau telah mendalami ajaran sastra-sastra Hindu yang berpedoman pada kitab suci Weda. Sebenarnya yang perlu kita tanyakan mengenai kelahiran si anak adalah upacara apa yang sepatutnya dilakukan, agar anak dapat tumbuh sehat secara jasmani dan rohani, serta nama yang pantas untuk diberikan kepadanya.
Filterisasi memang harus dilakukan untuk menyikapi hal ini, bukan menelan semua apa yang dinyatakan oleh Pak Balian.

Zaman dahulu, pada masa Tretha Yuga, kita ketahui bahwa peranan balian atau dukun juga sudah ada. Namun dalam kapasitas yang berbeda. Dukun dalam masa tersebut hanya mengidentifikasi masalah melalui sebuah tanda-tanda alam dan ciri-ciri dari manusia yang dibawa sejak lahir. Oleh sebab itu, maka orang di zaman tersebut banyak datang untuk meramalkan nasib anak mereka kelak akan menjadi apa.

Budaya ini terus berkembang dan mendarah daging di India hingga sekarang. Namun ilmu membaca wajah dan membaca masa depan ini sesungguhnya ada karena peran seorang Brahmana yang merupakan guru dari para Daitya, yakni Bhagavan Sukracarya. Beliau mendapatkan hal ini dari putra Bhatara Siwa sendiri, yakni Ganesha. Sukracarya bahkan mampu melihat kehancuran dalam sebuah keadaan yang jelas, dan ia juga diberkati dengan kekuatan Sanjivani, yang mampu menghidupkan kembali orang yang sudah mati.

Peran ini dipelajari oleh banyak Brahmana, dan turun temurun dari generasi mereka lewat banyak cabang garis perguruan. Hingga peran ini diambil alih oleh dukun dan hasilnya sekarang Brahmana di India jarang yang meramal nasib seseorang. Perbedaannya dengan di Bali adalah, jika seorang anak lahir, maka ia akan diramal, apakah ia nanti akan jadi bajingan, seorang yang budiman, saleh, terpelajar atau ia akan jadi anak yang bandel. Tujuan ini adalah untuk mendeteksi sejak dini, jika sang anak diketahui masa depannya akan melenceng dari jalan kebenaran, maka tugas orang tua mengarahkan agar hal itu dapat diminimalisasi.

Semua anak termasuk anak raja hingga anak dari rakyat biasa melakukan tradisi ini. Sri Krishna sendiri diramal oleh Garga Muni, ketika beliau masih bayi, dan sang resi mendapatkan bahwa Krishna akan tumbuh menjadi manusia yang brilian. Rama diramalkan ketika ia sudah lahir oleh Bhagavan Vasistha, dan sang Bhagavan menyatakan bahwa kepribadian Rama setara dengan Dharma. Itulah alasannya mengapa sang anak harus diramal. Rahvana mendapatkan perlakukan yang sama. Ia diramal ketika ia masih bayi oleh ayahnya sendiri Bhagavan Visrava, namun karena perlakukan ibunya bernama Kekasih yang senantiasa memberikan semen cor keburukan pada otak Rahvana, maka darah pendeta sang ayah tak menurun secara optimal lagi.

Di Bali kasusnya lebih nyeleneh lagi. Seorang anak yang baru lahir di bawa ke Balian, lengkap dengan banten. Sang balian menanyakan, kapan sang anak lahir, lalu selanjutnya ia kerauhan. Sang balian kemudian bukannya menyatakan atau mengatakan tentang masa depan sang anak, melainkan yang dibahas adalah anak ini memiliki utang di Pura Prajapati pada kehidupannya dahulu, anak ini lari dari pengawasan Bhatara Yama, dan ia jatuh ke Bumi. Anak ini lari dari tempatnya menerima sanksi dan turun ke Bumi. Yah, seperti narapidana yang lolos dari pengawasan LP. Aduh, parah sekali, dan yang lebih malang lagi, ada seorang balian yang menyatakan, bahwa anak yang baru lahir ini adalah tumitisan sang Ibu dari suaminya, dan ketika besar nanti akan menuntut balas. Wah, kok jadi ribut seperti ini sih. Masa gara-gara balian yang nggak jelas kejuntrungannya, satu keluarga jadi bentrok.

Di Desa Beng, Gianyar, pernah ada kejadian satu dadia saling musuh dan saling puikin gara-gara menanyakan kepada balian, dan jawaban balian adalah yang menjadi musuhnya adalah keluarganya sendiri. Saya apriori terhadap balian karena alasan itu, namun tidak jarang juga banyak balian yang memang benar-benar menjalankan sesana-nya dengan baik, sehingga pewisik yang didapat juga dapat dipercaya. Lalu apa yang harus dilakukan? Cukup ikuti saja perintah sastra, jika sang anak lahir, upacarai saja sesuai dengan petunjuk sastra, jangan menanyakan mengapa ia lahir, terus apa ada yang membunuh dia pada masa lalunya, dan apakah banten tebusan untuk hal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar