Ni Made Riani
Balai Diklat Keagamaan Denpasar
Citra Ganesa pada mulanya tidak disertai dengan wahana (tunggangan). Pada delapan penjelmaan Ganesa yang dinyatakan dalam Mudgalapurana, Ganesa lima kali menggunakan tikus dalam lima penjelmaannya, menggunakan singa saat menjelma sebagai Wakratunda, seekor merak saat menjelma sebagai Wikata, dan menggunakan Sesa, naga ilahi, dalam penjelmaannya sebagai Wignaraja. Pada empat penjelmaan Ganesa yang terdaftar dalam Ganesapurana, Mohotkata menunggangi singa, Mayureswara menunggangi merak, Dumraketu menunggangi kuda, dan Gajanana menunggangi tikus. Dalam pandangan agama Jaina terhadap Ganesa, wahananya ada bermacam-macam, seperti tikus, gajah, penyu, domba, atau merak.
Ganesa seringkali digambarkan menunggangi atau diantar oleh seekor tikus. Martin-Dubost mengatakan bahwa tikus muncul sebagai wahana yang utama dalam sastra tentang Ganesa, di wilayah India Tengah dan Barat selama abad ke-7; tikus juga selalu ditempatkan dekat dengan kakinya. Tikus sebagai wahana muncul pertama kali dalam kitab Matsyapurana dan kemudian dalam Brahmandapurana dan Ganesapurana, dimana Ganesa menggunakannya sebagai kendaraan hanya pada inkarnasi terakhirnya. Ganapati Atharwashirsa mengandung sloka tentang Ganesa yang menyatakan bahwa gambar tikus terdapat dalam benderanya. Nama Musakawahana (berwahana tikus) dan Akuketana (berbendera tikus) muncul dalam Ganesa Sahasranama.
Tikus ditafsirkan dalam berbagai pengertian. Seorang penulis buku tentang Ganesa bernama John A. Grimes telah menafsirkan makna tikus sebagai atribut Ganesa. Michael Wilcockson mengatakan bahwa tikus melambangkan orang-orang yang ingin mengatasi keinginan dan mengurangi sifat egois. Yuvraj Krishan, seorang penulis buku Ganesa, mengatakan bahwa tikus itu bersifat merusak dan mengancam pertanian. Kata Sanskerta musaka (tikus) diambil dari akar kata mus (mencuri, merampok). Merupakan hal yang penting untuk menaklukkan tikus sebagai hama penghancur, sejenis wighna (rintangan) yang perlu untuk diatasi. Jadi menurut teori tersebut, Ganesa sebagai penguasa tikus menunjukkan fungsinya sebagai Wigneswara (dewa penghalau segala rintangan) dan memberi bukti terhadap perannya sebagai gramata-devata (dewa pedesaan) bagi rakyat yang kemudian meningkat kemuliaannya. Paul Martin-Dubost yang juga pernah menulis buku tentang Ganesa memberi sebuah pandangan bahwa tikus adalah simbol yang memberi sugesti bahwa Ganesa, seperti halnya tikus, mampu menembus bahkan memasuki tempat-tempat rahasia.
Ganesa adalah Wigneswara atau Wignaraja, dewa segala rintangan, baik yang bersifat material maupun spiritual. Ia mahsyur dipuja sebagai penyingkir segala rintangan, meski ia juga memasang rintangan pada umatnya yang perlu diberi cobaan. Paul Courtright mengatakan, “Pekerjaannya adalah menempatkan dan menyingkirkan rintangan. Itu merupakan kekuasaannya yang utama.”
Yuvraj Krishan menyatakan bahwa beberapa nama Ganesa mencerminkan perannya yang berkembang dari waktu ke waktu. M. K. Dhavalikar beranggapan bahwa karena cepatnya ketenaran Ganesa di antara dewi-dewi Hindu, dan kemunculan para Ganapatya, sehingga ada perubahan tekanan suara dari wignakarta (pencipta rintangan) menjadi wignaharta (penyingkir rintangan). Bagaimana pun, dua fungsi tersebut menjadi amat penting dalam karakter Ganesa, seperti yang dijelaskan Robert Brown, “Bahkan setelah Ganesa dalam Purana digambarkan dengan baik, Ganesa meninggalkan banyak hal-hal penting untuk peran gandanya sebagai pencipta dan penyingkir rintangan, sehingga memiliki aspek negatif maupun positif.”
Buddhi
Ganesa dianggap sebagai Dewa Aksara dan Pelajaran. Dalam bahasa Sanskerta, kata buddhi adalah kata benda feminin yang banyak diterjemahkan menjadi kecerdasan, kebijaksanaan, atau akal. Konsep buddhi erat dikaitkan dengan kepribadian Ganesa, khususnya pada zaman Purana, ketika banyak kisah menonjolkan kepintarannya dan cinta terhadap kecerdasan. Salah satu nama Ganesa dalam Ganeshapurana dan Ganesa Sahasranama adalah Buddhipriya. Nama ini juga muncul dalam daftar 21 nama di akhir Ganesa Sahasranama yang menurut Ganesa amat penting. Kata priya bisa berarti “yang tercinta”, dan dalam konteks suami-istri bisa berarti “kekasih” atau “suami”. maka nama Buddhipriya bisa saja berarti “Yang dicintai oleh kecerdasan” atau “Suami Buddhi”.
Ganesa diidentikkan dengan mantra Aum dalam agama Hindu (juga dieja ‘Om’). Istilah o(ng) karaswarupa (Aum adalah wujudnya), ketika diidentikkan dengan Ganesa, merujuk pada sebuah pemahaman bahwa ia menjelma sebagai bunyi yang utama. Kitab Ganapati Atharwashirsa memberi penjelasan mengenai hubungan ini. Swami Chinmayananda menerjemahkan pernyataan yang relevan berikut ini:
(O Hyang Ganapati!) Engkaulah (Tritunggal) Brahma, Wisnu, dan Mahesa. Engkaulah Indra. Engakulah api (Agni) dan udara (Bayu). Engkaulah matahari (Surya) dan bulan (Candrama). Engkaulah Brahman. Engkaulah (tiga dunia) Bhuloka [bumi], Antariksa-loka [luar angkasa], dan Swargaloka [sorga]. Engkaulah Om. (Itu sebagai tanda, bahwa Engkaulah segala hal tersebut). Beberapa pemuja melihat kesamaan antara lekukan tubuh Ganesa dalam penggambaran umum dengan bentuk simbol Aum dalam aksara Dewanagari dan Tamil.
Menurut Kundalini yoga, Ganesa menempati cakra pertama, yang disebut muladhara. Mula berarti “asal, utama”; adhara berarti “dasar, pondasi.” Cakra muladhara adalah hal penting yang merupakan manifestasi atau pelebaran pokok-pokok kekuatan ilahi yang terpendam. Hubungan Ganesa dengan hal ini juga diterangkan dalam Ganapati Atharwashirsa. Courtright menerjemahkan pernyataan sebagai berikut: “[O Ganesa,] Engkau senantiasa menempati urat sakral di pondasi tulang punggung [muladhara cakra). Maka dari itu, Ganesa memiliki kediaman tetap dalam setiap makhluk yang terletak pada Muladhara. Ganesa memegang, menopang dan memandu cakra-cakra lainnya, sehingga ia mengatur kekuatan yang mendorong cakra kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar