Senin, 15 April 2019

Intisari dan Prinsip-Prinsip Utama dalam Bhagavata

AA Gede Raka

Selalu ada hubungan pribadi yang akrab dan mendalam antara Tuhan dan bakta-Nya. Melalui mukjizat suciNya, Tuhan membuat baktaNya menyadari dan mengalami bahwa Beliau ada di mana-mana, mahatahu, dan mahakuasa. Tuhan dan bakta itu saling tergantung dan yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Karena itu, selain memuji-muji kemuliaan Tuhan, Bhagavata juga membicarakan bakti, semangat kepasrahan, sifat jalan spiritual, dan juga ketidakterikatan para bakta.

Bhagavata mengungkapkan doktrin bakti yang harus menjiwai perbuatan yang dilakukan, sehingga membawa manusia menuju kebijaksanaan. Tidak ada perantara yang bisa berada di antara Tuhan dan bakta. Mereka saling berhubungan secara langsung. Baktilah yang membuat Tuhan menganugerahkan karuniaNya. Juga bisa dikatakan bahwa kebudayaan Hindu mempunyai tiga komponen ini: bhakta, Bhagawaan,dan Baagavataam. Tuhan adalah satu-satunya perlindungan bakta. Tuhan adalah hartanya, hidupnya, dan segala sesuatu baginya.

Bocah Dhruwa ingin duduk di pangkuan ayahnya. Tetapi, ibu tirinya tidak mengizinkan ia melakukan hal itu. Ia pulang ke rumah dengan sedih dan setelah memberi tahu ibunya, ia memutuskan akan pergi ke hutan untuk melakukan tirakat yang keras. Dhruwa bertapa di rimba raya tanpa mengindahkan panas terik, hawa dingin, dan hujan. Tuhan merasa senang kepadanya dan menampakkan diri di hadapannya sambil berkata bahwa Beliau akan menganugerahkan apa saja yang dikehendakinya. Pada waktu itu Dhruwa berkata, “Swami! Saya menghendaki Swami!” Tuhan menjawab, “Dhruwa! Engkau menghendaki suatu hal dan untuk itu engkau telah melakukan tirakat ini. Sekarang engkau meminta hal lain.

Awalnya engkau ingin diberi anugerah, agar engkau berhak duduk di pangkuan ayahmu. Tetapi, sekarang engkau mengatakan bahwa engkau menghendaki anugerah lain dariKu. Bukankah engkau sudah mendengar bahwa pikiran, perkataan, dan perbuatan seseorang harus satu dan sama: manasyeekam, vacasyeekam, karmanyeekam, mahaatmanaam. Artinya, ‘Mereka yang pikiran, perkataan, dan perbuatannya selaras sepenuhnya adalah orang-orang yang mulia’. Orang yang berbudi luhur harus menjaga agar pikiran, perkataan, dan perbuatannya selaras. Pertama, dapatkan pemenuhan untuk keinginanmu. Perintah kerajaanmu selama beberapa waktu dan laksanakan berbagai tugasmu dalam tahun-tahun mendatang. Akhirnya, Kuberkati engkau sehingga setiap orang akan mengenangmu setelah engkau meninggal dunia. Engkau merupakan satu-satunya bintang berkilauan yang menetap selamanya di tempatnya di angkasa.” Inilah yang dimaksud dengan studi yang baik bagi umat manusia adalah mempelajari manusia.

Walaupun Prahlada dilemparkan dari puncak gunung ke dalam kobaran api atau dipaksa minum racun yang mematikan atau diijak oleh gajah yang sangat besar atau diteggelamkan dalam lautan yang bergelora, sesaat pun ia tidak pernah berhenti melantumkan nama Tuhan. Ia terus menyanyikan kemuliaan Tuhan dengan tiada putusnya. Ia tidak mengindahkan ajaran-ajaran gurunya, Chanda dan Amarka. Ia bahkan bertindak selangkah lebih jauh dengan berkata kepada ayahnya, “Ayah dapat menklukkan seluruh dunia, Ayah dapat mengendalikan gerakan berbagai planet dan bintang, matahari, bulan, dan semua lainnya. Ayah dapat mengendalikan kelima unsur alam, tetapi ayah tidak dapat menaklukkan musuh-musuh batin Ayah!” Ketika Hiranyakashipu, ayahnya, bertanya kepadanya, “Di manakah Tuhan?” Ia berkata, “Jangan meragukan keberadaanNya dalam alam semesta ini kapan saja, di mana saja! Tuhan ada di mana-mana!”

Hiranyakashipu bertanya dengan marahnya, “Prahlada! Apakah Tuhanmu ada di dalam tiang ini?” Prahlada menjawab, ” Ya!” Ketika Hiranyakashipu mematahkan tiang itu, sebagaimana kita ketahui, Tuhan dalam wujud Awatara Narasimha melompat keluar dari situ.

Di sini kita harus mengetahui makna yang terkandung dalam peristiwa penting ini. Tiang melambangkan upadhi ‘pakaian’ atau badan. Mematahkan tiang berarti membuang kelekatan pada badan. Selama kita masih memiliki kelekatan pada badan, kita akan penuh dengan rasa keakuan, iri hati, dan sebagainya, yang akan membutakan, sehingga kita tidak dapat melihat atau lupa bahwa Tuhan ada di mana-mana. Prahlada memiliki kasih tanpa syarat dan kepasrahan mutlak kepada Tuhan.

Gajendra, raja gajah, diterkam oleh seekor buaya dan ia tidak dapat keluar dari sungai. Gajendra berjuang dan mengerahkan segenap tenaganya untuk melepaskan diri dari gigitan buaya itu, tetapi tanpa hasil. Akhirnya ia kehabisan segenap kekuatan serta tenaganya untuk melanjutkan perjuangan itu. Ia berteriak memohon dengan segenap hatinya kepada Govinda, penyelamatnya, “Oh Tuhan! Hanya Engkaulah perlindunganku, penolongku. Aku tidak mengetahui lainnya. Aku tidak dapat melepaskan diri. Hanya Engkaulah yang dapat menyelamatkan daku dari keadaan yang berbahaya ini. Siapa lagi yang bisa datang saat ini untuk menyelamatkan daku? Oh Tuhan! Selamatkan aku, selamatkan aku, selamatkan aku!” Pada saat itulah ia diselamatkan dari gigitan buaya.
Kita harus mengetahui makna yang terkandung dalam seluruh peristiwa ini. Sungai itu adalah hidup kita. Buaya melambangkan berbagai keinginan dan kegemaran mengumbar kesenangan indra. Gajendra adalah jiwa atau individu. Pada mulanya dengan belalainya ia berpegang kuat pada sebatang pohon dan berdoa. Tuhan tidak memberi tanggapan. Hanya setelah ia melepaskan pegangannya, mengangkat belalainya ke atas, dan berdoa kepada Tuhan dengan sepenuh hati mohon agar diselamatkan, maka Tuhan menyelamatkannya. Kita harus menganggap kisah ini sebagai salah satu contoh bakti dan kepasrahan mutlak kepada Tuhan.

Tuhan, Sri Mahawishnu, mengirim senjata cakraNya yang disebut Sudarshana, menghabisi buaya itu, dan menyelamatkan Gajendra. Su berarti ‘baik’ dan darshana berarti ‘pandangan yang penuh karunia (welas asih)’. Jadi, karunia-yalah yang menyelamatkan kita, bukan kekuatan, kekuasaan, harta dan sebagainya. Tuhan hanya akan menanggapi bila kita pasrah diri sepenuhnya kepadaNya.
Demikian pula keadaan Draupadi ketika ia dilecehkan dan akan ditelanjangi di depan sidang istana yang terbuka. Ia memegang sarinya erat-erat dengan satu tangan dan berdoa kepada Tuhan, berusaha menyelamatkan serta melindungi kehormatannya. Tuhan tidak bereaksi. Hanya belakangan ketika ia menangkupkan kedua tangannya dalam sikap hormat (namaskaara), maka Sri Krishna menyelamatkannya. Ini berarti kesepuluh jari di kedua tangannya ditangkupkan ketika ia berdoa kepada Krishna. Kelima indra persepsi (jnaanendriya) dan kelima organ kegiatan (karmeendriya) yang dilambangkan dengan kelima jari di setiap tangan, harus diserahkan kepada Tuhan dengan menangkupkan kedua tangan pada waktu kita berdoa kepada-Nya.

Tuhan tidak pernah suka dinomorduakan. Beliau tidak pernah menerima bakti separuh waktu. Seorang bakta harus memikirkan Tuhan dan menyanyikan kemuliaanNya di mana-mana, sepenjang waktu, dan bukan hanya ketika ia sedang berada dalam keadaan bahaya dan kesulitan. Seorang anak tidak akan pernah meninggalkan ibunya sendirian walaupun sang ibu memukulnya. Jika dipukul, ia bahkan memeluk ibunya lebih erat.

Demikian pula, perlu sekali kita berpegang teguh kepada Tuhan dan iman harus lebih besar bila kita menghadapi berbagai kesulitan. Kesengsaraan manusia adalah kedekatan dengan Tuhan. Malapetaka manusia adalah kesempatan bagi Tuhan. Kita sama sekali bukan bakta bila kita melarikan diri dari Tuhan atau kehilangan kepercayaan kepadaNya, karena menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup. Demikianlah, seluruh Bhagavata penuh dengan berbagai kisah semacam itu; menguraikan dan menjelaskan ketulusan, ketabahan, kesetiaan, keteguhan iman, kepasrahan mutlak, dan bakti mendalam yang dimiliki bakta tertentu yang terkenal. Bersamaan dengan itu, kitab ini memuliakan dan memuji-muji kebesaran, kasih, serta belas kasihan Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar