I Nyoman Sugiarta dan I Ketut Sukayasa
Nyepi adalah sebuah proses pematangan jasmani dan rohani menuju hidup lebih sempurna. Di tengah keheningan dalam pelaksanaan Nyepi adalah bentuk kontemplasi diri dalam upaya mencari hakekat diri yang sesungguhnya. Dengan terus berpacunya roda kehidupan, menuntut adanya flashback sebagai bentuk mengingatkan.
Ketika kita mampu memaknai hakekat hidup dan kehidupan lebih utuh, maka menuntut jiwa yang selalu eling. Ini menjadi tantangan kita di tengah dinamika godaan yang menyesatkan selalu menghadang. Dalam perenungan sunyi diharapkan mampu menggetarkan nurani dalam memperteguh kekuatan menjalankan darma agama.
Terbangunya kekuatan dialog sunyi (sipeng) yang dilakukan oleh umat dengan penuh kehampaan pada saat Nyepi diharapkan mampu memberikan vibrasi yang positif dalam interaksi kehidupan dengan sesama. Kekuatan dialog diri diharapkan sebagai daya dorong (inward looking) dalam memaknai hakekat kehidupan yang telah dan akan terjadi. Kohesi positif ini akan menjadi domain utama atas interaksi jiwa dengan alam semesta.
Insan beragama yang mampu mengasah kekuatan dialog dalam sunyi yang mumpuni akan dapat memetik saripati kehidupan yang seimbang (balance of life). Ini adalah sebuah proses pematangan diri yang panjang menuju kehidupan yang sempurna.
Perayaan Nyepi diharapkan mampu sebagai lentera jiwa yang memberi spirit kehidupan baru yang lebih bermakna. Dapat memusatkan pikiran (dyana), secara utuh saat dialog sunyi pada keheningan Nyepi. Vibrasi positif ini diharapkan mampu memetik hikmah terdalam, atas hakekat diri di tengah gelombang samudera kehidupan. Ini menjadi tantangan umat untuk lebih mawas diri, agar keberadaan Nyepi mampu melahirkan insan bijak, jauh dari pikiran (manacika) yang menyesatkan. Nyepi diharapkan dapat menebar kekayaan nilai kejiwaan yang utuh lewat perenungan dalam upaya mencari hakekat jati diri yang sesungguhnya. Siapa sesungguhnya diri kita dan mau kemana dalam menjalani kehidupan ini. Pertanyaan dasar yang memerlukan ketulusan dan kejujuran jiwa terdalam untuk menjawabnya.
Perenungan Nyepi dalam sunyi diharapkan mampu menyentuh ruang yang terbutakan oleh keserakahan atau ketamakan diri (sad ripu) dalam pemenuhan kebutuhan, agar menjadi lebih insyaf.Sesungguhnya hekekat hidup dan kehidupan ini adalah sebuah penantian di ujung lorong yang gelap (kematian) yang tidak dapat ditolak. Untuk itulah keberadaan keheningan Nyepi diharapkan mampu memberi getar dinding nurani terdalam bahwa sesuatu itu pada akhirnya akan ada batasnya.
Keberadaan Nyepi diharapkan mampu menerangi jiwa dalam meneretas kehidupan penuh cinta kasih. Aura positif dari kekuatan diri yang penuh keheningan akan mampu memancarkan sinar kebajikan dalam balutan penuh cinta kasih dalam menjalani kehidupan ini.
Sifat-sifat serakah yang kuat melekat dalam diri dapat terlebur oleh kekuatan dialog sunyi Nyepi dalam penyadaran diri. Mampu mengembalikan hidup dan kehidupan ke titik nol, hasil dari perenungan adalah tantangan bagi setiap umat. Untuk itu memerlukan tingkat pemahaman dialog sunyi saat Nyepi, agar dapat menepis segala godaan yang menyesatkan. Bagaimana kita mampu memaknai keheningan diri dalam perenungan sebagai seorang papa, bahwa sesungguhnya kita tiada. Ketika kita dapat memaknai hakekat antara ada dan tiada dalam menjalani kehidupan ini, maka akan memberi tingkat ketenangan diri yang memadai.
Memaknai Nyepi
Nyepi adalah sebuar proses pengembalian (tawur) atas apa yang telah kita petik (ambil) sebagai sari kehidupan, agar dapat dikembalikan dengan memadai sebagai simbul bakti. Terbangun proses kehidupan yang seimbang dalam artian sekala dan niskala, adalah suatu bentuk penghargaan terhadap alam semesta yang telah melimpahkan rahmatnya. Pola eksploitasi (pengambilan) yang berlebihan adalah perilaku yang keliru dalam menjaga alam. Kebaikan alam semesta dengan segala isinya harus mampu dikelola dengan manajemen keluhuran budi, agar selalu memberi manfaat seoptimal mungkin selama kita menjalani kehidupan.
Alam dalam artian luas (Buana Agung dan Buana Alit) akan mengalami guncangan, ketika kita tidak mampu menjaga keseimbangan yang pada akhirnya merusak keharmoniasan hubungan sesama makhluk hidup. Untuk itu sangat menuntut adanya kesadaran yang utuh atas panggilan diri, agar mampu menjaga alam secara seimbang. Mampu memaknai kehidupan, dimana merusak alam semesta sama dengan merusak diri sendiri. Keterikatan kita untuk selalu menjaga alam semesta adalah sebuah keharusan. Alam akan memberi pelajaran, ketika kita mulai merusaknya secara kebablasan.
Nyepi juga diharapkan mampu mengendalikan kekuatan panca indera, agar dapat menekan gelombang nafsu yangberlebihan. Senjata ampuh yang dapat merusak diri kita adalah ketika kebuasan nafsu panca indera kita tidak mampu dikendalikan. Untuk itu perlu adanya refleksi diri yang kuat membingkai, agar tidak terperosok ke lubang terjal. Nyepi sebagai media membangun dialog dalam sunyi, agar mampu menyentuh ruang papa agar dapat melahirkan sosok umat suci terlahir kembali. Nyepi adalah proses pengayaan jiwa dalam keheningan yang penuh dengan muatan spiritualitas.
Menyambut Tahun Baru Caka 1935, dengan pantangan (catur brata) yang menjadi bentuk penghayatan diri. Jauh dari bentuk hura-hura dan hiburan (amati lelanguan) yang menjebak. Umat dapat memaknai Nyepi dengan puasa tidak menyalakan api atau memasak (amati geni) sebagai bentuk ujian diri. Kita mesti mampu memusat diri tidak makan selama 24 jam, bagaimana dapat merasakan rasa lapar. Ini adalah bentuk toleransi diri dalam merasakan penderitaan ketika ada saudara kita yang kekurangan (tidak makan) karena hidupnya papa. Dari segi kesehatan puasa sangat bermanfaat bagi tubuh, untuk menormalkan metabolisme tubuh. Di samping itu puasa (tidak makan) dalam jangka waktu tertentu dapat juga digunakan untuk melatih ketahanan fisik.
Sesungguhnya Catur Brata Penyepian adalah sebagai alat menguji kadar pengendalian diri kita. Sejauh mana kualitas diri yang ditunjukkan oleh kemampuan menjalankan Catur Brata Penyepian. Bagaimana ketika kepekaan kerja panca indera dihentikan sementara, sebagai bentuk napak tilas bersifat ke dalam dan ke luar (inward and outward looking) dalam upaya meredam sifat keserakahan. Ketika kegelapan (amati geni) terjadi sebagai simbul mampu memusatkan pikiran melalui puasa tidak makan (upawasa) adalah bagian dari melatih tingkat kesabaran jiwa. Keadaan ini akan menyentuh jiwa untuk selalu eling akan hakikat kehidupan.
Dengan berhentinya proses aktivitas keseharian (amati karya) saat Nyepi, secara fisik memberi tubuh untuk istirahat. Keadaan ini akan dapat digunakan sebagai perenungan apakah kerja yang kita lakukan dapat bermafaat untuk diri kita sendiri dan orang lain. Apakah pekerjaan yang kita lakukan mengambil hak orang lain (korupsi), sehingga mengalami penderitaan secara kolektif masyarakat? Perenungan seperti ini adalah bentuk mengingatkan kita agar hasil yang kita peroleh tidak “matehamahan wesia.” Sekecil apapun rejeki kita peroleh kalau diperoleh dengan cara suci akan “mesari” dalam menjalani kehidupan ini.
Kenapa dalam keheningan Nyepi tidak diperkenankan bepergian (amati lelungan) dan mencari hiburan (amati lelanguan). Dalam era sekarang ini, ketika pikiran mengalami kejenuhan, maka biasanya akan refreshing ke tempat yang menarik, entah ke pantai, ke gunung atau ke tempat hiburan. Ini cara umum dilakukan oleh sebagian besar masyarakat, agar kejenuhan dirasakan hilang. Cara instan ini memang dianggap cukup mujarab oleh kalangan tertentu, tetapi itu terkadang hanya bersifat di permukaan saja. Ketika kekuatan jiwa kita masih rapuh, maka secara reflek permasalahan itu akan muncul kembali dengan sendirinya memburu kita. Untuk itu memperkuat ketahanan diri, dimana dapat memaknai hakekat hidup dengan segala problemanya agar lebih sabar, tenang, tabah, dan tulus menghadapinya. Terbangunnya kekuatan jiwa yang mumpuni dalam perenungan Nyepi akan memberi dampak pada kualitas diri dalam menghadapi segala tantangan dan cobaan.
(Penulis Peminat Masalah Sosial Masyarakat, Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bali).
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar