Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Sabtu, 25 Maret 2017

Simbolisme Angklung dalam Upacara Kematian

Oleh I Ketut Yasa
Angklung yang dimaksud dalam tulisan ini adalah gamelan Kembang Kirang,  yang juga dikenal dengan sebutan gamelan Angklung Don Pat (empat nada). Gamelan ini  sering  digunakan dalam upacara kematian. Apabila ada upacara kematian  yang memerlukan karawitan, gamelan angklung don pat hampir selalu digunakan.
Barungan atau perangkatnya terdiri dari instrumen-instrumen melodis berupa pamade, kantil, reyong, dan jegogan; instrumen matra berupa kempur; dan  instrumen sebagai pemurba irama berupa sepasang kendang, serta kajar.
Upacara kematian  dalam tulisan ini didominasi oleh  ngaben, dan akan disinggung sedikit mengenai nyekah (mukur).   I Gusti Agung Gede Putra dalam bukunya Cudamani Upacara Mapandes (Potong Gigi) & Upacara Atiwa-tiwa (Ngaben) menyebutkan, bahwa beberapa tata cara ngaben antara lain: dengan cara dikubur terlebih dahulu, dan ada dengan cara membakar mayat. Di samping itu,   di beberapa tempat (daerah) yang berdekatan dengan Kahyangan-kahyangan seperti Batur, Besakih, Uluwatu dan daerah-daerah pegunungan, yang dibakar bukan mayat, melainkan sebuah tiruan mayat yang dibuat dari kayu cendana ataupun bunga sebagai perwujudan. Hal ini untuk menghindari abu dan asap dari mayat mengotori Kahyangan dan atau gunung yang mereka sucikan. Lebih lanjut dijelaskan Putra, bahwa    tujuan dilaksanakannya ngaben adalah untuk mengembalikan unsur tubuh manusia kepada asalnya. Jasad yang terdiri dari panca- mahabhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), bayu (zat gas, udara), teja (cahaya, sinar), dan akasa (eter) akan dikembalikan segera kepada panca- mahabhuta. Manusia terdiri dari tiga unsur  yaitu: (1) badan kasar yang disebut sthulasarira yang merupakan jasad yang tampak dan terdiri dari lima unsur, yaitu pancamahabhuta, (2), Antakaranasarira, yaitu yaitu roh atau jiwa yang berasal dari seru sekalian alam yang merupakan sumber hidup, dan (3), Suksmasarira, yaitu tubuh yang bersifat sementara berujud perasaan dan pikiran, yang merupakan perpaduan dari tubuh kasar dan tubuh halus. Kalau diwujudkan dalam diagram adalah seperti berikut.


Pada diagram di depan terlihat bahwa jiwa terbungkus oleh   badan rasa. Untuk melepaskan jiwa yang dibungkus  agar bisa kembali kepada jiwa seru sekalian alam, maka badan rasa harus dihaluskan sampai tipis dan akhirnya unsur-unsur badan rasa yang berasal dari sarinya pancamahabhuta bisa disedot oleh pancamahabhuta sampai habis, sehingga jiwa bisa bersatu kembali pada sumbernya.  Agar jiwa bisa kembali dengan sumbernya, tidak cukup dengan upacara ngaben. Karena upacara ngaben merupakan tingkat awal atau kasar, sehingga harus ada upacara lanjutan yang tingkatannya lebih halus, yaitu upacara nyekah atau mukur.

Simbolisme Angklung
Pemahaman simbolisme,  L. White dengan tulisannya  berjudul “On The Concept of Culture dalam buku A. Monteqeu Flontir of Antropology, (1974) menyatakan, bahwa simbol adalah  benda obyek material yang nilainya ditetapkan oleh orang yang menggunakannya. Menurut Victor Tuner dalam bukunya The Forest of Simbols Aspects of Mdembu Ritual, (1967), bahwa simbol merupakan penyederhanaan dari aspek-aspek kebudayaan manusia yang dipakai untuk menguraikan dan melukiskan sesuatu.
Dalam kegiatan upacara masyarakat Bali (Hindu) sarat dengan simbol-simbol, namun di antara mereka banyak yang tidak paham terhadap makna yang terkandung di dalamnya. Sebagaimana dikatakan oleh Alan R. Beals, et. al., dalam bukunya berjudul Cultur in Proses, (1967) bahwa “All rituals, including interaktion ritual, invove the use of simbolic actions, geatures, objecfs, and words that seem to be meaningful but whose meaning is oftenunknown to the performer” (seluruh upacara termasuk dari interaksi dalam upacara, dalam pergaulan sehari-hari melibatkan peng- gunaan tindakan, isyarat, benda dan kata  simbolis yang nampaknya penuh arti, namun  banyak di antara mereka/pelaku yang tidak memahaminya).
Terkait dengan fenomena di atas, maka berikut ini akan dipaparkan simbolisme angklung, baik yang berkaitan dengan fungsi masing-masing instrumen maupun fungsi secara ensamble  dalam upacara kematian. Dengan harapan, masyarakat khususnya para pelaku upacara mengerti dan atau paham dari maksud atau makna yang terkandung di dalamnya.
Berbicara tentang simbol dalam kesenian,  Bandem dalam “Majalah Kebudayaan” (1991/1992) mengemukakan bahwa “kesenian sebagai bagian dari kebudayaan merupakan simbol dari masyarakat dan mengandung nilai-nilai hidup di  dalam masyarakat.”  Lebih lanjut dijelaskan oleh Bandem, bahwa dalam mengamati wujud (struktur) kesenian Bali khususnya gamelan Gong Kebyar, dapat menyimpan nilai kehidupan masyarakat Bali dan ternyata gamelan itu mempunyai nilai “Bhineka Tunggal Ika” yang perlu dihayati secara mendalam. Sebagai sebuah orkestra yang paling besar wujud barungannya (perangkatnya) terdiri dari bermacam-macam instrumen seperti gong, kempur (kempul), trompong, jegogan, calung (jublag), penyacah, reyong, gangsa, kendang, cengceng, kajar, rebab dan suling. Dengan mengacu pada deskripsi lontar Prakempa dan analisis para ahli gamelan Bali, bahwa di dalam Gong Kebyar telah tersirat fungsi-fungsi instrumen seperti berikut. Instrumen trompong dan gangsa berfungsi sebagai pembawa lagu; jegogan,  jublag dan penyacah berfungsi sebagai pemangku lagu; kendang dan cengceng mempunyai fungsi sebagai pemurba irama dan menatur dinamika lagu; gong, kempur, kenong dan kajar berfngsi sebagai pemangku irama.
Berbagai fungsi instrumen-instrumen tersebut di atas, dapat disejajarkan dengan fungsi instrumen-instrumen yang terdapat dalam gamelan Angklung seperti kendang dan cengceng  berfungsi sebagai pemurba irama dan mengatur dinamika;  kempul, dan kajar sebagai pemangku irama; pamade dan kantil sebagai pemangku lagu, dan reyong sebagai pembawa lagu. Demikian pula, fungsi-fungsi tersebut dapat dianalogkan dengan struktur masyarakat Bali yang dalam kehidupan sehari-hari masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda-beda, sesuai dengan  kemampuannya  untuk mewujudkan masyarakat yang mempunyai identitas ke Bali-an. Di antara mereka ada yang bertugas sebagai pendeta, penari, pengrawit, kelian, sinoman, dan sebagainya.
Selanjutnya penggunaan ensambel Angklung dalam upacara kematian,  dimulai pada acara persembahyangan (sebelum pemberangkatan jenazah menuju ke tempat pembakaran). Acara ini biasanya dilakukan dalam bentuk prosesi dengan menyunggi “adegan”  dibuat dari daun rontal yang dihias dengan bunga sebagai perwujudan dari yang meninggal. Prosesi ini diringi dengan gamelan Angklung menuju Pura Kawitan,  Pura Desa, dan Pura Dalem (kalau waktunya cukup). Akan tetapi, apabila waktunya tidak memungkinkan, biasanya acara ini cukup dilaku- kan di Pura Kawitan bagian Madya Mandala.
Acara selanjutnya adalah pemberangkatkan jenazah. Ketika jasad almarhum sudah  berpindah kekuasaan dari alam keluarga ke dalam kekuasaan atau di tangan warga desa, (yang akan menggarap sepanjang perlajalanan ke tempat pembakaran), maka andaikata jasad diapa-apakan oleh warga desa, anggota keluarga bersangkutan tidak bisa berbuat apa-apa. Pada kesempatan ini muncul suara teriak-teriak penuh kegembiraan dari pengusung wadah dan disemangati oleh karawitan Balaganjur dan atau Kalaganjur yang keras  gemuruh dan kadang-kadang kasar, yang mengantar dari bagian paling belakang barisan. Dalam hal ini, fungsi karawitan Kalaganjur secara simbolik adalah menghantarkan stulasarira (tubuh kasar) almarhum. Karena upacara ngaben merupakan upacara pensucian tingkat awal yang masih pada tarap kasar. Sebagaimana dikemukakan Putra, dalam bukunya Cudamanik Upacara Mepandes (Potong Gigi) & Upacara Atiwa-tiwa (Ngaben), bahwa “pada waktu upacara ngaben mayat itu masih ada, sehingga pancamahabhuta lebih menonjol, oleh karena itu upacaranya lebih kasar... .”
Perlu juga dikemukakan di sini, bahwa selain diiringi oleh  suara teriak-teriak dan karawitan Kalaganjur yang kharakter musikalnya begitu bergejolak, keras dan kadang-kadang kasar; dalam prosesi ini juga ada  suara kakawin (tembang ageng). Sementara karawitan angklung, berada pada posisi di depan wadah (jadi bukan di belakang wadah sebagi tempat jenazah). Dengan demikian karawitan angklung dalam hal ini adalah untuk mengiringi “adegan” (perwujudan) bukan untuk mengiringi jenazah. Sajiannya terdengar sayup-sayup, sehingga membangkitkan rasa syahdu dan kerinduan yang mendalam. Jadi sajian karawitan angklung sangat kontras dengan karawitan Kalaganjur. Iringan  karawitan Kalaganjur secara simbolis sebagai penghantar tubuh kasar almarhum, memang sangat sinkron dengan musikalitas yang ditampilkan.
Sementara karawitan Angklung dengan musikal yang kedengaran sayup-sayup, membangkitkan rasa syahdu dan kerinduan yang mendalam,  maka secara simbolis dapat dikatakan untuk mengantarkan suksmasarira, yaitu tubuh yang bersifat sementara berujud perasaan dan pikiran yang merupakan perpaduan dari tubuh kasar dan tubuh halus.   Demikian pula  ketika pada upacara lanjutan yang tingkatannya lebih tinggi (halus) yang disebut dengan nyekah atau mukur. Jadi  dalam upacara nyekah atau mukur seluruh rangkaian acaranya yang antara lain (manah toya ning, ngangget don bingin, ngangkid ke pasih, ngelinggihang di pengorong, mepralina, nganyut sekah ke pasih, dan ngelingihang ring Mrajan), menggunakan karawitan Angklung. Namun akhir-akhir ini ada yang mengguna- kan gamelan Semaradahana. Gamelan ini memiliki suara dan sifat musikal yang sangat lembut. Di samping itu, gamelan ini selain dapat menyajikan gending-gending angklung, juga gending-gending Semar Pagulingan, serta gending untuk memendet yang sangat diperlukan dalam upacara ngelinggihan sekah di Pengorong. Jadi yang jelas bukan menggunakan karawitan Kalaganjur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar