Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Minggu, 15 Januari 2017

Kemajemukan dan Pengendalian Firi

Wacana oleh I Nyoman Tika
Rasa persatuan saat ini seakan di uji berbagai kasus  sensitif tentang SARA. Emosi publik  yang sensitif  kembali dipakai senjata untuk mengoyak ketenteraman Indonesia. Negara majemuk ini seakan mudah diprovokasi oleh segelintir orang lewat media sosial yang semakin mudah membentuk viral di dunia maya. Nalar publik menjadi buntu, phenomenal self menjadi kian menguat, yaitu persepsi diri yang selalu berlawanan  dari diri yang sesungguhnya (Infered  self).

Ketika itu terjadi maka seorang manusia sejati dan berbudi luhur keadaannya bagaikan seekor ular yang membuang kulitnya, demikian pulalah orang yang sabar senantiasa meninggalkan kemarahan dari dalam hatinya (Sarasamuscaya sloka 95) haruslah menjadi tiang utama masyarakat, yang kini kian riuh.
Agama sejatinya menjadi penerang bak dian di lorong gelap. Agama bisa maju dan terus berkumandang bila dalam diri penganutnya terbersit sifat sabar, sebab segala sesuatu yang ada di bumi ini adalah milik dari orang sabar, demikian juga apa yang ada di jagat raya ini adalah juga milik orang yang berhati sabar. Hanya dengan kesabaranlah keberhasilan itu dapat diperoleh. Mereka yang sabar dipuji dan dihormati di bumi, dan apabila mereka mati surgalah ganjarannya.
Itu sebabnya kekuasaan yang dilirik banyak orang bukanlah akhir dari perjalanan panjang manusia. Uang dan kekayaan lain tak sebanding dengan kesabaran itu sendiri. Benar kata orang bijak bahwa kekayaan utama adalah kesabaran hati. Lalu apa gunanya emas permata dibandingkan dengan kesabaran, sebab hanya kesabaran saja yang bisa menasehati orang dari kesesatannya, sedangkan emas dan permata hanyalah bagian dari bongkahan-bongkahan tanah yang membisu.
Bongkahan tanah yang membisu tandus, lantas mustahil ada persahabatan tanpa kesabaran hati, yang ada pastilah kemurkaan, marah dan dendam. Oleh karena itu pupuklah terus kesabaran di dalam hati masing-masing saat kehidupan yang rentan diterjang isu-isu sensitif walaupun manusia telah memasuki zaman globalisasi. Manusia hadir dalam keterasingannya sendiri. Sungguh sangat disayangkan, bahwa lahir menjadi manusia adalah  berkah yang paling besar untuk mengangkat derajat dirinya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang dapat melakukan kebajikan pun kejahatan.


Di bingkai itu benar adanya bahwa terlahir menjadi manusia bertujuan untuk melebur perbuatan-perbuatan jahat ke dalam perbuatan-perbuatan bajik, hingga tidak ada lagi perbuatan-perbuatan jahat yang masih tersisa dalam diri, inilah hakikat menjadi manusia. Hanya dengan menjadi manusia kejahatan itu dapat dilebur dalam kebajikan.
Itu sebabnya,  manusia dalam masyarakat kapitalis misalnya,  berkonfrontasi dengan realitas yang dibuatnya sendiri (sebagai sebuah kelas) yang tampil ke hadapannya sebagai fenomena natural yang asing bagi dirinya. Secara keseluruhan terikat dengan hukum-hukum, aktivitasnya terikat untuk memenuhi hukum-hukum individual tertentu demi kepentingannya (egoistik) sendiri. Namun ketika bertindak ia tetap berdasarkan hakikat kasus, sebagai objek, bukan sebagai subjek.
Ketika manusia menghindar sebagai  obyek dan bukan subyek, maka banyak pihak curiga ada tendensi bahwa kemajemukan menjadi terkoyak  seperti  yang dikhawatirkan saat  saat ini. Namun  sentimen agama terus diproduksi seakan kebinekaan sudah mulai terancam,  dengan kasus-kasus yang berbau politik dan untuk  merenggut kekuasaan dengan memamerkan kekuatan massa. Kegoyahan keberagaman  sejatinya adalah sesuatu yang masih perlu diuji kesahihannya.
Di demensi itu elemen negara harus hadir untuk menjaga kebinekaan. Dalam alam kemajemukan menarik melihat wedaran Sarasamuscaya bahwa “sesungguhnya semua agama memiliki tujuan yang sama. Semua agama mengajarkan kebajikan (kebenaran) untuk mencapai alam surga dan pembebasan dari kesengsaraan; namun cara masing-masing dalam mencari kebenaran berbeda-beda” (Sarasamuscaya, sloka 35).
Atas dasar itulah bagi Indonesia sebagai bentuk negara kesatuan yang penuh dengan keragaman dan terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama dan kepercayaan, dan lain-lain harus mampu mempersatukan berbagai keragaman itu sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Berangkat dari itu, maka menarik menyimak konsepsi  Mahatma Gandhi, tentang satyagraha.
Secara harfiyah satyagraha berarti suatu pencarian kebenaran dengan tidak mengenal lelah. Berpegang teguh  pada kebenaran artinya satyagraha  merupakan jalan hidup seorang yang berpegang teguh terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan mengabdikan seluruh hidupnya pada Tuhan Yang Maha Esa. Karena jalan satu-satunya untuk mencapai tujuan ini adalah dengan sarana ahimsa, maka satyagraha juga berarti”mengejar tujuan benar dengan sarana ahimsa. Ajaran ini berarti “keteguhan berpegang pada kebenaran. Ajaran ini menyerukan untuk tidak ada sedikit pun toleransi atau sikap kompromi dalam menegakkan nilai kebenaran. Bisa dikatakan bahwa Gerakan ini merupakan gerakan non-kooperatif (tidak bekerja sama) dan menentang kebijakan-kebijakan Inggris untuk mencapai kebenaran.
Satyagraha kental dengan filosofi Hindu,  dari suatu agama yang telah bertahan ribuan tahun. Di deminsi itu agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memilki potensi untuk berakhlak baik atau buruk. Potensi buruk  akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri makan, minum, seks, berkuasa, dan rasa aman. Apabila potentsi sraddha dan bakti seseorang lemah, karena tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka perilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi buruknya yang  bersifat instinktif atau implusif (seperti berjinah, membunuh, mencuri, minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi).
Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi sraddha dan bakti  itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri seseorang, maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self control) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
Kontrol diri merupakan demensi tingkah laku yang dibutuhkan dalam budaya yang beragam. Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Itu sebabnya pada hakikatnya terlahir sebagai manusia  di bumi yang beragam adalah kesempatan untuk melakukan perbuatan bajik yang hasilnya akan dinikmati di akhirat. Apa pun yang diperbuat dalam kehidupan ini hasilnya akan dinikmati di akhirat; setelah menikmati pahala akhirat, lahirlah lagi ke bumi. Di akhirat tidak ada perbuatan apapun yang berpahala. Sesungguhnya hanya perbuatan di bumi inilah yang paling menentukan. Om Nama Siwa ya****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar