Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 28 Desember 2016

Festival Candi Kembar 2016

Tulisan seperti itulah (lihat judul) yang banyak penulis temukan dalam sepanduk-sepanduk maupun umbul-umbul yang terpasang di sekitar candi kembar  Plaosan di Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.

Kata-kata seperti itu pula yang penulis sering dengar dari para pembawa acara maupun pejabat yang memberikan sambutan ketika mereka melakukan  tugasnya. Tulisan yang penulis temukan dan kata-kata yang penulis dengar tersebut, ketika penulis hadir sebagai duta seni dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta dalam pembukaan Festival Candi Kembar pada tanggal 5 Nopember 2016 sore hingga malam hari.


Tanpa menyaksikan langsung kegiatan yang terjadi di sekitar Candi Kembar, tulisan maupun kata-kata seperti dalam judul dapat saja mengecoh bagi mereka yang membaca maupun yang mendengarnya. Karena, menurut hemat penulis, yang dimaksudkan kata-kata maupun tulisan tersebut adalah festival (lebih tepatnya pesta: pen.) seni yang berlangsung di lapangan sebelah Candi Kembar. Dikatakan atau diberi label Candi Kembar, memang di sebelah area festival terdapat tiga buah Candi, yakni yang satu lebih kental dengan nusansa Hindunya (bentuknya seperti  Candi Prambanan), sedangkan yang duanya lagi ada nuansa Budha, karena puncaknya berbentuk menhur (mirip Candi Borobudur). Kedua (sepasang) Candi yang puncaknya berbentuk menhur ini, ukuran dan bentuknya nyaris sama.
Hary Mulyatno yang akarab dipanggil Hary Genduk (dosen Jurusan Tari ISI Surakarta sekaligus penggagas festival ini) menuturkan seusai pembukaan 5 November 2016 lalu, bahwa selain ketiga candi tersebut (yang satu Hindu dan yang dua Budha) juga ada bangunan pendapa, namun saat ini tinggal tiang-tiangnya karena bangunan terebut telah rusak dimakan waktu. Lebih lanjut dijelaskan Hary, bahwa dengan demikian di lokasi tersebut ada perwakilan dari Hindu, Budha, dan Jawa. “Adanya konsep inilah saya tertarik untuk mengadakan festival seni di Candi tersebut,” demikian akunya. Gagasan ini diawali pada bulan Oktober lalu, lewat berbicara dengan penunggu candi, kemudian berbicara dengan penduduk di sekitarnya, dilanjutkan dengan tokoh-tokoh seni yang memiliki kantong-kantong budaya.

Festival ini direncanakan akan berlangsung selama sebulan pada setiap hari Sabtu dan Minggu. Saat pembukaan  tidak kurang dari lima kelompok seni dengan berbagai jenis seni ditampilkan. Adapun kelompok seni yang dimaksud,  ada yang dari Jakarta, Surakarta, Yogyakarta (Universitas Yogyakarta dan ISI Yogyakarta), Kalimantan, dan Klaten (masyarakat setempat). Jenis-jenis kesenian yang ditampilkan: Bali (tari Rejang, Topeng, Legong Kraton,  dan Sekarjagat); Jawa (karawitan Jawa, musik lesung, Topeng Ireng, umbul donga, dan parada wayang sebagai wakil dari seni rupa).
Festival dibuka oleh Kepala Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Tengah mewakili Gubernur,  dan kelihatan juga  hadir antara lain: Prof. Dr. Surachman wakil rektor UGM, Prof. Dr. Rochana Widiestutiningrum, S. Kar., M. Hum., (rektor ISI Surakarta). Prof Surachman ketika memberi sambutan mengemukakan, bahwa diadakan festival  Candi Kembar ini merupakan satu paket dari Candi Borobudur maupun Prambanan. Anak Agung Putra Artanegara (dosen Jurusan Tari Isi Yogyakarta) menuturkan saat pembukaan,  bahwa acara semacam ini  di  Candi Prambanan sudah berlangsung cukup lama.
Adapun  kegiatan untuk minggu-minggu berikutnya Hary menuturkan, bahwa sudah ada yang siap datang  kelompok-kelompok seni dari Jakarta, Madura, Jember, dan Malang. Yang cukup menarik dari festival ini adalah semua kegiatan ditanggung sendiri oleh mereka yang tampil pada festifal tersebut. Sebagaimana dituturkan oleh Hary, bahwa sekaa (kelompok) yang tampil dalam festival ini, segala sesuatunya ditanggung oleh mereka. Mereka datang, makan dan pulang, semua ditanggung sendiri.  Namun ketika penulis amati di lapangan, panitia telah  menyiapkan sarana pentas seperti panggung lengkap dengan lighting dan sound system-nya. Di samping itu, panitia juga menyiapkan media pentas seperti gamelan yang dibutuhkan oleh para peserta festival. Lebih lanjut dituturkan Hary  (selaku salah seorang  panitia), bahwa dana yang perlu dipersiapkan untuk penyelenggaraan festival ini, diperoleh dengan urunan sesama anggota panitia. Jadi, dalam hal ini panitia belum melibatkan pemerintah untuk urusan dana.
Di sisi lain, yang membikin penulis terharu adalah ketika tarian umbul donga (doa) tampil di area pentas. Suasana saat itu sangat khusuk, pada hal sebelumnya suasana cukup hingar bingar, karena para penonton kadang-kadang ada yang masuk ke arena pentas. Juga, ketika tarian doa tampil, penulis merasa di wongke (dihormati) kembali. Hal ini penulis rasakan, karena tarian doa (bernuansa Jawa) yang ditarikan oleh dosen-dosen senior ISI Surakarta yang sebagian besar bukan umat Hindu, mereka menari dengan tulus dan khusuk untuk berdoa di arena pentas dekat candi. Hal ini juga membikin penulis langsung teringat kepada para leluhur.

Sebagai Wahana Berekspresi dan Berdampak Ekonomis.
Prospek ke depannya, festival yang direncanakan sebagai agenda tahunan ini, diharapkan menjadi ajang untuk berekspresi, berkreativitas, dan berinovasi bagi para seniman yang ingin menuangkan gagasan maupun ide-ide yang belum sempat terealisir. Dengan tersedianya ajang ini, diharapkan semakin banyak muncul kantong-kantong atau kampung-kampung budaya, seperti slogan yang diusung dalam festifal ini, yakni “menuju kampung budaya”.
Semakin banyaknya seniman-seniman dengan mengikutsertakan anggota  kelompoknya   datang ke festival ini, diharapkan juga  mampu mengangkat sisi ekonomi bagi masyarakat di sekitar festival dilaksanakan. Mereka yang berdomisili di sekitar festival diselenggrakan, berinisiatif untuk membuka warung makanan, selain untuk peserta festival juga untuk para penonton. Di samping itu,  ada yang menyewakan toilet, dan ada yang menyewakan kamar untuk bermalam, bahkan mungkin ada yang menyewakan rumahnya sebagai home stay. Seperti yang terjadi di Lumajang Jawa Timur, I Nyoman Chaya (yang baru-baru ini bertirtayatra ke Pura di Lumajang) menuturkan, bahwa sejak didirikannya Pura di Lumajang masyarakat sekitarnya ikut kecipratan rejeki, baik lewat berjualan, menyewakan kamar mandi, maupun kamar-kamar rumahnya untuk beistirahat bagi yang bertirtayatra.
Hal yang hampir sama juga terjadi di Pura Kepasekan Karangpandan, Karanganyar, Jawa Tengah, ketika dilaksanakan piodalan (yang berlangsung selama tiga hari) setiap Purnama Ketiga. Sepuluh hari menjelang piodalan, warga di sekitar Pura berlomba-lomba membangun warung semi permanen di Jaba luar Pura. Warung-warung tersebut digunakan untuk tempat menjual makanan, minuman, baju kaos (bergambar Pura), perhiasan (terutama batu akik), dan ada juga yang menjual batik. Di samping itu, rumah-rumah pemukiman di sekitar pura, oleh pemiliknya juga disewakan kepada umat yang tangkil (pemedek) ke Pura, yang sebagian besar datang dari Bali.
Dari paparan di atas, ada beberapa hal perlu digarisbawahi antara lain, pertama,  gagasan diselenggarakannya festival seni di Candi Kembar (Plaosan) berangkat  dari proses yang sangat sederhana, yaitu dimulai dari pembicaraan antara pelaku spiritual yang bernama Hary Mulyatno dengan penunggu candi. Gagasan ini muncul, akibat dari ketertarikan Mulyatno untuk membangkitkan atau membangun kembali adanya kerukunan yang terjadi pada zaman dahulu. Kerukunan tersebut dapat dilihat dari adanya  Candi bernuansa Hindu, Candi bernuansa Budha, dan sebuah Pendapa yang bernuansa Jawa yang dibangun secara berdampingan. Kedua,  dari kesepakatan antara Mulyatno dengan penunggu candi, kemudian pembicaraan dilanjutkan dengan penduduk kampung di sekitar candi, dan tokoh-tokoh seni. Ketiga,  dibentuk panitia yang sama sekali belum memiliki dana, sehingga para panitia berinisiatif urunan sebagai modal awal untuk beaya persiapan festival. Ke empat, festival yang direncanakan sebagai agenda tahunan, diharapkan menjadi ajang berekspresi, berkreasi, dan berinovasi bagi para seniman. Di sisi lain, kegiatan ini juga diharapkan mampu mengangkat ekonomi masyarakat setempat. Semoga.
(I Ketut Yasa adalah dosen ISI Surakarta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar