Mahasabha PHDI sudah selesai. Sabha Pandita dan Ketua Umum berseteru dan perseteruan itu dilaporkan ke Presiden samoai Kepala BIN. Menteri Agama kesal dan tak mau hadir dalam Mahasabha.
Mahasabha XI Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat yang diselenggarakan sejak Jumat 21 Oktober 2016 ditutup oleh Dirjen Bimas Hindu Prof. Drs. I Ketut Widnya M.Phil. P.hD. Terpilih sebagai Dharma Adyaksa Periode 2016 – 2021 adalah Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba, menggantikan Ida Pedanda Gede Sebali Tianyar Arimbawa. Sedangkan Kolonel (Pur) I Nengah Dana terpilih sebagai Ketua Sabha Walaka mengalahkan Marsekal TNI (Pur) Ida Bagus Putu Dunia untuk menggantikan Putu Wirata Dwikora. Ketua Umum Pengurus Harian dimenangkan Mayjen TNI (Pur) Wisnu Bawa Tenaya. Mantan Pangdam Udayana itu mengalahkan Mayjen Pol. (pur) IGM Putera Astaman.
Kendati berhasil memilih dan menetapkan pengurus yang baru Mahasabha XI ini dinilai sebagai yang terburuk sepanjang sejarah PHDI dalam upaya majelis itu melaksanakan hajatan lima tahunannya.
Sejumlah peserta maupun peninjau menyatakan kekecewaannya atas berbagai insiden yang terjadi saat dilangsungkannya Mahasabha, terutama insiden yang membuat sejumlah pandita marah-marah sampai keblablasan dan melanggar sesana kewikon seorang sulinggih. Mereka berteriak-teriak sampai ditenangkan oleh para walaka dan pecalang yang terdiri dari prajurit TNI AL yang beragama Hindu.
Indikator yang dipergunakan untuk menyatakan sebagai hal yang terburuk pada pelaksanaan Mahasabha XI adalah sejumlah orang menyebutkan tidak dipergunakannya anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yang sah sebagai pedoman pelaksanaan Mahasabha XI. Di samping itu munculnya berbagai insiden yang semestinya tidak perlu terjadi, seperti marah-marah dan saling tuding yang ujungnya tak memperlihatkan sebagai majelis keagamaan Hindu.
Benih perseteruan antara Sabha Pandita dengan pengurus harian sudah terjadi sebelum Mahasabha. Karena dianggap tidak mematuhi AD/ART yang ada untuk tata tertib dan tata persidangan, 5 orang pandita anggota Sabha Pandita membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo yang juga ditujukan kepada Wakil Presiden, Pimpinan DPR dan DPD, Menkopohukam, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, Panglina TNI, Kepala BIN, Kepala Staf TNI AL, Kapolri, Dirjen Bimas Hindu dan semua instansi terkait di Jawa Timur, sebagai tempat diselenggarakan Mahasabha itu. Kelima pandita yang menandatangani surat itu adalah Dharma Adhyaksa Ida Pedanda Gde Ketut Sebali Tianyar Arimbawa, wakil-wakil dharma adhyaksa Ida Mpu Siwa Budha Daksa Darmita, Ida Sinuhun Siwa Putra Parama Daksa Manuaba, Ida Pandita Gede Bang Buruan Manuaba dan Ida Rsi Bujangga Hari Anom Palguna. Tidak jelas kapan ada rapat Sabha Pandita sehingga ke lima orang ini berani menandatangani surat atas n PHDI.
Surat ini langsung dibalas oleh Ketua Umum PHDI Pusat Mayjen Purn. Suwisma dengan alamat surat yang sama, dari presiden sampai instansi di Jawa Timur, persis seperti surat sebelumnya. Di sana Suwisma menyebutkan tak ada satu pun pasal-pasal dalam AD/ART yang dilanggar panitia. Hal-hal yang kecil begini dibawa ke presiden tentu sesuatu yang memalukan. Karena itu Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin memanggil Dharma Adhyaksa, Ketua Sabha Walaka, Pengurus Harian dan Dirjen Bimas Hindu di kantornya sehari sebelum Mahasabha. Menteri Agama mencoba mendamaikan mereka dan dipaksa membuat surat pernyataan damai. Namun kekesalan Menteri Agama nampaknya tetap ada. Presiden Jokowi batal membuka Mahasabha dan diwakilkan kepada Wapres Jusuf Kalla. Menteri Agama sendiri enggan untuk hadir, hanya satu menteri hadir yakni Menteri Koperasi AA Puspayoga.
Menteri Agama belakangan juga tak hadir saat upacara penutupan setelah mendapat laporan jalannya Mahasabha tidak mulus. Pidato penutupan Menteri Agama dibacakan Dirjen Bimas Hindu Prof. Ketut Widnya.
Persidangan memang tidak mulus. Pangkalnya adalah ada yang menyebut panitia dalam hal ini SC (stering comite) memakai aturan lain dalam persidangan. Namun Ketua SC KS Arsana memban
Tidak ada komentar:
Posting Komentar