Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 17 Oktober 2016

Komentar Umat, Tak Perlu Ada Parisada

Di media sosial Face Book ada group tertutup atas nama Panitia Mahasaba XI Surabaya. Di sini dimuat berbagai usulan tentang bagaimana Parisada harus menjalankan perannya untuk memajukan umat, dan apa masukannya untuk panitia. Tentang kerja panitia umumnya semua memuji karena sangat transparan dan jelas bekerja dengan baik meski dalam berbagai keterbatasan. Berikut ini beberapa yang bisa dikutip tentang masukannya dan juga keluh-kesahnya tentang Parisada.

I Gede Wiyadnyana
Kuncinya, mari kita bersama-sama dalam urusan agama dilaksanakan dengan tulus ikhlas, tidak ada muatan macam-macam, contohnya kepentingan kelompok, demikian juga dalam pelaksanaan Mahasabha nanti mari kita dukung,walau dengan keterbatasan anggaran semoga Mahasabha dapat berjalan dengan lancar dan tertib dan dapat menghasilkan Pemimpin yg dapat bekerja dengan ikhlas untuk kepentingan keumatan, tidak hanya sekedar mencari popularitas, dan dapat menghasilkan keputusan-keputusan sesuai harapan umat Hindu.

Made Supana Wab
Saya sudah 30-an tahun ikut dalam kepengurusan PHDI Provinsi. Kepengurusan PHDI seperti benang kusut yang dapat saya simpulkan dengan kasar bahwa kita tidak faham berorganisasi. Lalu dari mana kita mulai membenahi, susah karena tidak faham. Dipilih tidak mau kerja, tidak dipilih menghasut. Itu yang saya alami di PHDI tempat domisili saya. Kalau pun mau kerja, kerjanya cuman urusan banten, bikin sate, bikin daksina, bikin gebogan, bikin lawar, bikin penjor dan bertengkar titik.

Wayan Dasna
Saya sedih membaca fenomena para pemimpin umat kita. Kapan bisa mencerdaskan dan mendidik umat kalau urusan pribadinya saja belum selesai. Semoga ada kesadaran untuk “ngayah” bukan mencari keuntungan dari umat yang sedikit tetapi sebagian besar tak terurus.

Made Supana Wab
Mengabdi dan melayani umat tidak harus jadi pengurus Parisada, terlebih di luar Bali lapangan pengabdian untuk umat sangat luas. Lakukan apa yang anda bisa lakukan, sekecil apapun bentuknya tetap memiliki manfaat. Hal kecil yang saya lakukan memfoto copy buku doa sehari-hari sebanyak-banyaknya sungguh berarti bagi umat pemula atau terjunlah dan bergabunglah dalam organisasi-organisasi Hindu dan lakukan karya nyata. Itu lebih berarti daripada menunggu Parisada berubah, suatu hal yang tidak mungkin. Masih sangat banyak umat Hindu di luar sana perlu dibina, tidak mahal kok, tidak susah kok. Telah saya coba setiap sembahyang malam bersama keluarga saya medana punia di plangkiran Rp 1 ribu, uang seribu tidak membuat saya kaya atau miskin. Selama setahun terkumpul minimal Rp365 ribu, itulah saya belikan sarana beragama Hindu misalnya buku-buku, dupa dan lain-lain dan sumbangkan ke umat/pura. Capek kalau hanya nunggu Parisada.

Wasito Adi Jero
Lebih bagus zaman Soeharto, PHDI-nya juga lebih bagus jaman Orba. PHDI zaman sekarang kan cuma rebutan antar soroh, itu yang terjadi, berebut sisyaa.

Agung Juliartha
Kalo tokoh-tokohnya masih berjudul “merasa paling” ini-itu dan doyan “pengakuan” ini-itu atau malah “bertopeng”, di daerah maupun di pusat, ujung-ujungnya memang benar adanya, setelah menjabat nggak jelas apa kirjanya.

Nengah Agus Tripayana
Umat di daerah-daerah seperti itik kehilangan induk. Kalau ada masalah agama, tak tahu harus mencari pencerahan ke mana. Belum lagi urusan mahalnya pelaksanaan yadnya.

Lanang Wiadnyana
Masyarakat tidak merasa perlu dengan adanya Parisada, apalagi sampai ada dualisme. Kalau untuk urusan agama, masyarakat dan kelompok masyarakat atau soroh sudah memiliki hubungan siwa sisya dengan sulinggih tertentu berdasarkan hubungan kesejarahan.

Gung Chaz
Mohon untuk panitia atau pengurus Mahasaba PHDI dan juga semua sulinggih yang hadir semoga bisa menyatukan umat Hindu semua. Bukan menjadi ajang penglompokan soroh, karena masa depan agama Hindu ada ditangan beliau semua. Semoga apa yang diwarisi oleh leluhur kita tidak sia sia.

Nyoman Suparta
Saya senang adanya PHDI. Tapi di balik keberadaannya, PHDI ternyata sarat kepentingan. PHDI belum mampu berbuat banyak untuk kepentingan umatnya yang kini menyebar di Indonesia. Cobalah kurangi berpolitik praktis, berpolitik kepentingan pribadi/sekelompok golongan. Mengabdilah sungguh-sungguh dan jujur untuk kepentingan umat. Saya berharap PHDI mampu lahir kembali sebagai PHDI yang sesuai harapan semula.

Wardana Astawa
Yang penting semua unsur terakomodir, dan usul saya bagaimana agar ada program “mencetak pustakawan Hindu”. Di tiap lembaga perpustakaan “pustakawan yang beragama Hindu banyak” , tapi berapa sih ada “pustakawan Hindu”. Kalau ada programnya saya lebih dulu mendaftar.

Putu Yuliarsa
Saya usul supaya Sabha Walaka dibubarkan, seperti yang pernah saya baca di posting FB beberapa hari yang lalu. Alasannya toh di Pengurus Harian ada ketua-ketua yang membidangi berbagai masalah. Jika Sabha Pandita membutuhkan kajian dalam bidang tertentu, tinggal minta ketua yang membidangi masalah tertentu di Pengurus Harian itu  mengumpulkan para pakar untuk berseminar. Jadi pakar-pakar Hindu itu tidak diikat dalam organ permanen di dalam Sabha Walaka, toh kenyataannya lebih banyak yang tak bekerja. Lebih efektif dalam mengkaji suatu masalah, jika masalah itu dibahas pakar yang kompeten sesuai bidangnya. Dampak positif lainnya membuat ketua-ketua di Pengurus Harian jadi produktif. Sekarang ketua-ketua bidang itu bingung apa yang dikerjakan karena rancu dengan tugas Sabha Walaka.

Pimpinan Parisada tertinggi juga harus jelas. Kalau Sabha Pandita dikukuhkan sebagai organ tertinggi, jabatan Dharma Adhyaksa harus merangkap sebagai Ketua Umum Parisada. Seperti dulu, cuma Ketua Harian diberi keleluasaan dalam menggerakkan organisasi. Sekarang ini siapa Ketua Umum Parisada yang nyata? Tidak ada, karena Ketua Umum Parisada sekarang hanyalah Ketua Umumnya Pengurus Harian, bukan Ketua Umumnya seluruh organ yang ada di Parisada.
Banyak hal yang harus dijernihkan kembali, semoga Panitia Mahasabha XI tanggap dan menyiapkan konsep agar Parisada menjadi majelis agama Hindu yang berwibawa dan jelas kerjanya di masyarakat.

Goeng Manik
Saya pernah mendengar bahwa Parisada sudah berubah badan hukumnya dari Majelis Umat menjadi Organisasi Kemasyarakatan jenis Perkumpulan. Ormas seperti ini setahu saya sama dengan ormas Front Pembela Islam, Lasykar Bali, Baladika, Pemuda Bali Bersatu, dan banyak lagi yang ada di negeri ini.
Apakah itu benar? Kalau benar sangat disayangkan bagaimana mungkin majelis keagamaan didaftarkan sebagai ormas perkumpulan.

Ormas itu hampir sama dengan partai politik cuma jenisnya yang beda, yang satu perkumpulan sosial yang satu perkumpulan politik. Sama-sama punya pengurus dari tingkat nasional sampai provinsi dan bahkan kabupaten yang disebut cabang dan ranting.
Parisada memang betul punya pengurus dari tingkat nasional sampai tingkat kecamatan, bahkan di luar Bali katanya sampai tingkat desa. Tetapi apakah Parisada punya anggota? Siapa anggota Parisada? Kalau disebutkan umat Hindu adalah anggota Parisada apakah semua umat Hindu punya KTA (Kartu Tanda Anggota)?

Parisada itu harusnya dikembalikan ke ciri majelis dalam hal ini majelis umat. Sama dengan Majelis Umat Islam (MUI). Kalau dimaksudkan untuk mencari dana dan sebagainya, majelis ini membuat perusahaan atau yayasan dan lembaga itu disuruh mencari dana, bukan Parisada.

(Raditya edisi Oktober 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar