Oleh I Wayan Miasa
Masyarakat Bali pada zaman dulu hidup sangat bersahaja sebelum datang para pelancong ke pulau ini. Dalam kehidupan sehari-harinya mereka dekat dengan alam dan peralatan yang dipakai pun mudah didapat dari alam atau mudah diperoleh dari lingkungan sekitar. Misalnya saja saat mereka memerlukan sebuah tas untuk membawa hasil panennya mereka cukup membuat “kisa”, sebuah anyaman dari daun kelapa.
Begitu pula saat mereka mau membawa makanan, mereka cukup membuat “tekor” dari daun pisang. Karena bahan “tekor”, “kisa” tersebut berasal dari alam, maka saat sang pemakai membuangnya sebagai sampah, hal tersebut saat itu tidak mengotori alam karena semua berbahan alami. Kebiasaan buruk membuang sampah sembarangan pada zaman dahulu memang tidak terasa pada zaman tersebut karena semua proses penguraiannya berlangsung cepat karena sampah saat itu bersifat organik.
Pada zaman ini kita mewarisi kebiasaan membuang sampah seperti zaman dahulu, dimana kita terbiasa membuang sampah sembarangan tanpa mempedulikan apakah sampah itu sampah organik atau tidak. Hal ini sering bisa kita saksikan saat masyarakat habis makanan di warung atau di suatu kedai misalnya. Mereka dengan santai membuang pembungkus makanannya tersebut seenaknya. Cukup lempar ke suatu arah, selesai urusan. Jika pembungkus tersebut dari daun, itu mungkin tidak masalah. Masalahnya adalah dimana saat ini banyak pembungkus tersebut berupa plastik, kaleng, botol serta bahan-bahan lainnya yang tidak mudah terurai. Jika kebiasaan membuang sampah anorganik terus dilakukan maka sudah tentu lingkungan kita akan dipenuhi sampah anorganik dan hal tersebut tampak tidak indah, jauh dari rasa bersih dan bahkan akan terkesan kumuh. Kebiasaan membuang sampah sembarangan seperti itu lambat laun akan menimbulkan efek domino, jika sampah anorganik tersebut terus menumpuk dan mencemari lingkungan di sekitarnya. Cobalah perhatikan di lingkungan sekitar kita saat terutama di lingkungan yang dipenuhi sampah anorganik. Sudah bisa dipastikan bahwa di lingkungan tersebut terkesan kumuh dan kumal, udara terasa pengap dan menyesakkan. Begitu pula bau kurang sedap tercium dimana-mana. Hidup dengan lingkungan seperti itu lama kelamaan tentu akan berefek pada kesehatan atau kualitas hidup warga di sekitarnya.
Masyarakat Bali jika tidak segera bertindak untuk mengubah kebiasaan mereka dalam membuang sampah, maka sudah bisa dipastikan pada suatu saat Bali akan menjadi “pulau beribu jenis sampah”. Jika hal ini sampai terjadi, Bali tidak lagi menjadi pulau sorga terakhir di muka bumi ini, namun menjadi pulau sorganya sampah. Pada saat seperti ini warga kita harus bersiap-siap menghadapi kehidupan ke titik nol. Artinya Bali tidak lagi indah, bersih, lestari namun dipenuhi kekotoran atau sampah. Keadaan seperti ini juga kan berpengaruh pada dunia pariwisata Bali. Para wisatawan sudah pasti tidak akan menjadikan Bali sebagai tujuan berlibur lagi. Jika wisatawan tidak datang lagi ke Bali maka efek sampingnya yang akan kita rasakan adalah timbulnya pengangguran. Ketika terjadi banyak pengangguran maka timbul pula masalah sosial lainnya di dalam kehidupan masyarakat kita. Apalagi selama ini masyarakat kita telah terbiasa dengan buaian pariwisata dengan pola hidup konsumtifnya, terbiasa hidup berfoya-foya dan hura-hura dan bergelimang kegemerlapan.
Ketika kita tidak siap dengan akibat dari efek buruk dari serbuan sampah anorganik tersebut maka kita sebaiknya dari sejak dini mengajarkan generasi penerus kita untuk hidup bersahabat dengan alam sekitarnya dan mulai peduli dengan kebersihan di sekitar mereka. Kita seharusnya juga mengajarkan anak-anak kita tentang pentingnya membuang sampah secara baik dengan memilih dan memilah sampah. Hal ini sangat penting untuk masa depan pulau Bali dan masyarakat pendukungnya. Karena kebersihan itu bukan saja menjadi tanggung jawab beberapa pihak saja namun menjadi tanggung jawab seluruh penghuni pulau ini. Pola pikir yang beranggapan bahwa kebersihan itu hal nomor sekian juga perlu diubah. Ingatlah, kebersihan dan kenyamanan lingkungan di Bali sangat berpengaruh pada kehidupan di segala aspek terlebih lagi Bali sebagai tujuan wisata dunia. Sudah tentulah kualitas kebersihannya harus berstandar dunia. Mulai sekarang kita harus membuka mata dan berusaha menerapkan ajaran tri hita karana dan bukan sekadar wacana belaka. Untuk melaksanakan hal tersebut tentu bukanlah hal yang mudah namun bisa diawali dari lingkungan sekitar kita bisa bekerja sama dengan desa pakraman dalam mewujudkan dan menerapkan ajaran tri hita karana tersebut.
Sebelum sampah anorganik itu “menguasai” Bali maka masyarakat kita harus “eling” dan “ngeh” bahwa kehidupan kita sangat tergantung dari kebersihan lingkungan alam Bali dan masyarakat Bali tergantung pada pariwisata. Jika Pulau Bali dipenuhi sampah, alamnya rusak, sawah-sawah menghilang, hutan-hutan menyempit, mata air tercemar maka kita harus bersiap menuju “nereka” di pulau ini. Hal ini sering dikatakan para pelancong dari luar negeri yang mengalami langsung perubahan yang terjadi di pulau ini. Mereka mengatakan bahwa Bali tidak seindah dulu lagi dan sekarang dimana-mana tercemari sampah anorganik. Jika hal terus berlangsung, maka Bali bukan lagi menjadi tujuan wisata utama lagi bagi mereka. Mereka pun tidak lagi menyarankan teman-temannya untuk berlibur ke Bali. Jika hal seperti benar terjadi, maka kita perlu introspeksi diri dalam menata kebersihan lingkungan. Bila perlu masyarakat di Bali menerapkan slogan “Barang bawaan yang menjadi sampah harus dibawa pulang”. Artinya para pelancong harus membawa kembali barang bawaannya yang bisa mengotori Bali, misalnya pembungkus makan yang mereka bawa dari daerah asalnya. Hal ini sering terlihat di lingkungan pelancong dari negeri kita sendiri dimana mereka membawa makanan dari daerahnya dan sampahnya mereka buang di Bali.
Jika kita ingin mewujudkan kesadaran pentingnya kebersihan, maka semua pihak di pulau ini harus mau duduk bersama dan berbagi dalam mewujudkan Bali bersih dari sampah anorganik. Para pengusaha yang membuka usahanya di Bali harus berbagi keuntungan dengan masyarakat di pulau ini atau masyarakat kita melakukan “asasinasi” namun tentu kita tidak ingin hal ini terjadi. Masyarakat Bali harus berani menyuarakan pentingnya kebersihan Bali untuk menjaga kelanjutan perekonomian di Bali, terutama pada dunia pariwisata. Para pengusaha hotel dan restauran harus menyisihkan keuntungannya untuk kebersihan di pulau ini.
Semoga saja apa yang dicita-citakan oleh ajaran agama kita bisa terwujud di Bali, yaitu masyarakat yang sejahtera, damai, sentosa dan bukan sebaliknya dimana masyarakat hidup seperti zaman nomaden, tanah subur hilang, cari ladang baru lagi atau slogan habis manis sepah dibuang. Marilah kita jaga Bali dari kehancuran yang disebabkan oleh serbuan sampah anorganik serta efek domino yang menyertainya. Masyarakat Bali itu sangat tergantung pada keadaan pulaunya dan ingatlah warga Bali belum terbiasa bersaing di “dura Bali” oleh karena itu berjuanglah untuk menjaga kebersihan di tanah Bali ini.
(Raditya edisi Oktober 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar