Oleh I Dewa Gede Alit Udayana //
Ini adalah salah satu sesonggan Bali, yang bila diartikan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia berarti: kenyang tanpa makan, mentereng tanpa berganti pakaian. Mungkinkah hal itu terjadi? Mungkin saja. Pada kondisi-kondisi tertentu yang membuat hati seseorang bergembira meluap-luap. Senang bukan main, atau merasa bahagia (sekali). Hati sedang berbunga-bunga. Kondisi seperti ini tidak mesti karena uang, atau material pemuas nafsu naluriah semata. Lebih dari itu ada kondisi psikologis tertentu yang dapat membuat seseorang merasakan kebahagiaan yang amat sangat.
Anak muda yang sedang jatuh cinta (mungkin) dapat dijadikan contoh dari makna sesonggan ini. Tidak tergambarkan betapa bahagianya anak muda yang sedang jatuh cinta, terutama untuk cinta pertamanya. Bagi yang pernah jatuh cinta, tentu dengan mudah dapat memahami penjelasan ini. Efek yang ditimbulkan oleh perasaan bahagia meluap hampir mirip dengan kesedihan mendalam. Sama-sama tidak suka makan, cenderung bertingkah aneh. Bedanya, yang bahagia adalah positif, sedangkan yang sedih sebaliknya.
Kebahagiaan anak-anak seperti ini bagaikan sudah kenyang tanpa makan, dan gagah tanpa pakaian baru.
Bagi orang-orang tua, kebahagiaan yang seperti ini lebih disebabkan karena keberhasilan mencapai tingkat spiritualitas tertentu, atau karena berhasil menciptakan kondisi yang diidamkan. Contoh dari kasus pertama, misalnya sudah berhasil “ngewangun karya” menyelesaikan (dengan sukses) upacara besar, semisal Ngenteg Linggih yang sejatinya sudah lamadiidamkan akhirnya terwujud (juga). Dalam kondisi ini yang bersangkutan akan merasa bahagia yang meluap-luap sampai tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Kebahagiaan terasa sampai memenuhi dada. Senyum dan sungging terasa mudah dilakukan. Untaian kalimat yang pas untuk menggambarkan suasana hati seperti itu adalah “wareg tan paneda, bungah tan panganggo.” Kalau saja suasana hati seperti ini dapat dijaga saban waktu, banyak kerugian yang dapat dicegah atau dihindari. Ini tidak saja menguntungkan secara psikologis (kejiwaan) tetapi juga material-lahiriah. Bayangkan, ketika suasana hati yang berbunga-bunga, kita tidak perlu membeli pakaian baru, pakaian sederhana seolah-olah sudah sangat memuaskan. Kebahagiaan ternyata dapat mengirit sumberdaya.
Ada kondisi-kondisi serupa yang dapat menyebabkan seseorang, terutama bagi orang-orang tua dapat merasakan kebahagiaan seperti ini, semisal anaknya mengikuti nasihat orang tua sehingga anak-anaknya menjadi suputra (anak baik). Orang-orang tua sangat bahagia pada kondisi seperti ini. Orang-orang tua biasanya meluapkan rasa bahagia dengan berujar, “wareg ta paneda, bungah tan mapanganggo.” Perasaan serupa juga dirasakan ketika anak-anak sudah sukses dan menjalani Grehasta (menikah, membina keluarga baru), apalagi anak-anak sudah memberikan cucu, suasana batin setara dengan “wareg tan paneda, bungah tan mapanganggo” ini segera menyeruak di dada. Sejatinya kebahagiaan itu murah (?)
Kebahagiaan semacam ini biasanya menyangkut hal-hal yang bersifat spiritualitas dan atas hakikat manusia. Sebaliknya, keberhasilan yang lahiriah, keduniawian, hedonis, tidak mampu mencapai tingkat ini. Paling banter hanya sesaat. Esoknya, atau sesaat kemudian sudah harus dipuaskan dengan perolehan lahiriah baru, semisal keberhasilan membeli mobil baru, tanah luas, bahkan menang dalam Pilkada. Ini sungguh akan segera membebani. Bayar pajak untuk mobil, dan tanah, serta memuaskan konstituen yang segera menagih janji kampanye. Tentu bukan berarti perolehan yang bersifat lahiriah akan selalu bersifat negatif. Sama sekali bukan. Maksudnya, kebahagiaan lahiriah itu sungguh-sungguh sangat sementara.
Kebahagiaan yang abadi bukankah ketika bisa menyatu dengan Pencipta? Ajaran tentang moksah dan kamoksan juga intinya begitu. Ketika mampu mencapai tingkat itu, sesuatu yang kasar (lahiriah) akan segera ditinggalkan.
Soal kebahagiaan, orang-orang bijak mengatakan bahwa kebahagiaan adalah soal yang harus diusahakan. Kebahagiaan itu bukanlah dicari, tetapi diciptakan. Rasa bersyukur atas segala apa yang dicapai menjadi kuncinya. Atau dengan kata lain, kebahagiaan ada pada jiwa yang bersyukur.
Kembali ke awal tadi, sejatinya rasa bahagia hingga mencapai tingkat “wareg tan paneda, bungah tan mapanganggo” dapat pula diusahakan. Bersyukur dengan kondisi saat ini, dan mensyukuri capaian yang bahkan sederhana sekalipun, membantu mencapai tingkat itu.
(Penulis tinggal di Bangli, Bali).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar