Oleh I Nyoman Sugiarta dan I Ketut Sukayasa //
Sabda dari Sri Krisna patut kita renungkan secara mendalam: ”Dengan cara apapun engkau sembah Aku dengan ketulusan kasihmu, pada akhirnya semua akan kembali kepadaKu.” Sungguh pernyataan yang amat mulia kalau kita dapat renungkan dengan seksama. Nilai kemuliaan kasih dalam ketulusan budi umat beragama dalam menjalani tugas kehidupan ini adalah pangkal mula terwujudnya kedamaian jiwa.
Sesungguhnya setiap agama mengajarkan umatnya untuk selalu dapat berbuat baik dengan sesama umat manusia, tanpa memandang derajat dan kedudukan. Karena hakekat keberadaan agama itu adalah tuntunan hidup yang adi luhung menyangkut dunia nyata dan akhirat (sekala dan niskala). Bagaimana umat mampu memaknai keberadaan dunia tersebut secara balance agar dapat bermuara pada hidup yang damai (damai di dunia nyata dan akhirat). Alam nyata tempat interaksi umat dapat menciptakan iklim yang kondusif sehingga mampu beraktivitas positif. Kualitas spiritual manusia di alam fana menjadi faktor penentu utama terciptanya kedamaian hidup umat beragama menuju kedamaian abadi ke alam baka. Sesungguhnya alam yang harmonis sebagai ibu kandung yang utama dalam kita menjalani kehidupan ini.
Ketika umat beragama mulai begitu mudah dan murah melampiaskan amarahnya (amuk massa) sambil mengeluarkan kata-kata kotor atau perilaku yang kebablasan merupakan anomali terhadap keberadaan ajaran agama itu sendiri. Merasa kuat, sering mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada dengan mengenyampingkan substabsi yang ada. Penomena yang krusial ini menjadi dilema yang dapat merusak tatanan hidup yang harmonis. Lantunan nyanyian bait suci keagamaan yang mengusik kalbu, kini nadanya mulai sumbang kedengaran karena iramanya mulai tidak padu.
Maraknya kegaduhan muncul dengan aksi di luar batas logika nalar ajaran agama yang ada, pertanda ada interaksi sosial yang rapuh mengancam. Luapan kemarahan di luar kendali diri umat oleh hasutan orang sesat, kemudian melakukan aksi pengrusakan dan pembakaran tempat suci dengan alasan sepele menjadi ironi yang menodai kemuliaan ajaran agama itu sendiri. Dimensi agama dalam setiap godaan yang melanda, menjadi domain untuk mampu diredam dengan menunjukkan kualitas diri.
Peran agama sebagai pencerah umat menjadi faktor utama terhadap keharmonisan kelangsungan hidup yang ada. Bagaimana umat mampu memaknai ajaran agama secara baik dan benar, yang mampu diwujudkan mulai dari cara berpikir yang baik (positif), berkata yang baik, serta berbuat yang baik ( Tri kaya Parisuda ). Bagaimana mampu mengharmoniskan setiap aktivitas agar bermuara pada kedamaian. Sekecil apapun yang kita dapat lakukan harus didasarkan oleh kemuliaan pikiran, perkataan, serta sikap. Ini menjadi tantangan yang sangat pelik untuk mampu mewujudkan keseimbangan hidup di tengah berbagai cobaan dan godaan yang menghadang.
Tentu penulis sangat terenyuh ketika melakukan sembahyang ke Pura Besakih beberapa waktu silam, dimana umat berduyun-duyun “ tangkil” ditengah terik matahari dan guyuran hujan menerpa. Didasari oleh ketulusan budi, untuk berserah kehadapan-Nya, menjadi bentuk bakti utama yang harus terus dapat dipelihara secara utuh. Agama tanpa ketulusan umatnya adalah upaya yang sia-sia. Di balik kebanggaan yang ada, maka muncul keprihatinan dimana sampah berserakan ditempat parkir, di halaman pura, oleh lemahnya kesadaran umat membuang sampah pada tempatnya. Tentu keadaan yang tidak kondusif ini dapat mengganggu umat yang mau sembahiyang.
Mampu membangun keseimbangan hidup dengan memelihara lingkungan secara baik dan harmonis adalah bagian penting dari keberadaan umat itu sendiri. Kontek keberadaan Tuhan itu harus mampu diwujudkan dalan interaksi lingkungan sosial secara harmonis. Ketika lingkungan alam mulai mengalami degradasi oleh ulah umat yang serakah, secara tidak langsung jalan menuju Tuhan akan ikut mengalami hambatan.
Kemuliaan Umat
Ketika ada umat mengaku beragama, kemudian perilakunya tidak mencerminkan perilaku yang mulia sesuai ajaran agama yang ada dengan melakukan tindakan tidak terpuji, maka tentu diragukan integritas dirinya dalam memahami ajaran agama secara baik dan benar. Kita bisa banyak belajar dari kasus Tanjung Balaari Medan, dimana umat yang rapuh pemahaman ajaran agamanya akan mudah terhasut oleh kasus-kasus sepele, berupa aksi pengrusakan atau pembakaran, melakukan menyegel tempat ibadah umat agama lain secara sepihak dengan alasan yang tidak jelas. Belajar dari kasus Pura Trowulan di Jatim beberapa waktu silam, kasus Ciekusik Tangerang. Karena saking fanatiknya yang berlebihan sampai melakukan penodaan dan penghinaan terhadap agama lain.
Bercermin dari dari kasus miris tersebut mengundang keprihatinan yang sangat mendalam bagi kita bersama di tengah hetrogenitas umat beragama yang ada. Sesungguhnya hakekat atas keberadaan agama tersebut sebagai media pembasuh batin, agar tercerahkan dari perbuatan tercela. Di tengah dinamika kehidupan yang semakin komplek, seharusnya setiap umat beragama dapat lebih dewasa menyikapi segala dinamika yang ada, agar tidak terjebak oleh perilaku yang memalukan.
Munculnya analogi yang keliru, dimana muncul label perilaku miris dimana di satu sisi mengatakan membela Tuhan, sementara perilakunya sangat bertentangan sifat-sifat Tuhan dengan melakukan tindakan tercela berupa kekerasan. Umat seperti ini tentu perilakunya sudah salah alamat. Tuhan dalam segala wujud ke-esaan-Nya, tidak perlu dibela dengan tindakan tercela oleh umat yang mengaku peduli. Hakekat atas keberadaan Tuhan, sesungguhnya adalah penuh cinta kasih kepada setiap umat manusia. Seharusnya umat mampu menunjukkan kualitas dirinya secara mulia dengan berlomba-lomba mampu berbuat mulia kepada sesama makhluk hidup. Sifat-sifat Tuhan dalam segala manifestasinya selalu cinta damai, bukan sifat yang suka bikin onar. Kemuliaan keberadaan Tuhan seharusnya tidak perlu adanya pembelaan oleh umat secara sepihak dengan aksi pengrusakan dan pembakaran segala.
Pada dasarnya kemuliaan ajaran agama bukanlah seperti bentuk jajahan politik praktis seperti di parlemen yang mengenal istilah kekuatan mayoritas dan minoritas dalam mencapai tujuan atau merebut kekuasaan. Bukan pula mengenal istilah single mayority, sehingga berhak mendikte yang minoritas sekehandak hati. Keberadaan agama juga bukan seperti produk barang dagangan yang mengatakan bahwa agamanya yang paling benar dan hebat, sementara yang lain palsu. Pandangan sesat yang terpelihara seperti ini di kalangan tertentu akan mudah terprovokasi membikin kegaduhan oleh hal sepele.
Memahami ajaran agama yang baik dan benar bukan seperti menonton pertandingan sepak bola, ada pihak lawan, dan harus dikalahkan sebagai bentuk kehebatan team yang ada. Integritas umat berkualitas yang memadai sesungguhnya ditunjukkan oleh kualitas kemuliaan budi dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Tidak lebih dari itu. Kemuliaan umat sangat ditunjukan oleh sifat-sifat ketuhanan yang dipraktikkan dalam keseharian di tengah cobaan hidup. Agama sebagai petunjuk jalan hidup ( way of life), maka agama harus mampu tampil terdepan sebagai pegangan yang pertama dan utama. Domain agama adalah kekuatan pengasahan budi secara intens, sehingga melahirkan tingkat kematangan spiritual yang prima menuju kedamaian.
(Penulis Peminat Masalah Sosial Masyarakat, Staf Pengajar Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Bali).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar