Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 30 September 2016

Revitalisasi Nilai-Nilai Hindu Penyelematan Lingkungan

Oleh I Nyoman Tika //
Selamatkanlah tumbuhan untuk selamatkan dunia,” demikian slogan didengungkan, dan “Bergabunglah bersama kami untuk membuat dunia menjadi lebih baik,” itu slogan yang lain. Menyelamatkan lingkungan hidup dimulai dari tindakan awal. Ini adalah bumi kita, kita tahu yang mana yang berharga. Orang semakin berseru dan berselogan, namun tradisi penyelamatan menurut Hindu dengan Tumpek Kandang dan Tumpek Bubuh, sudah ada dan setiap enam bulan dirayakan. Namun, semakin maraknya kerusakan lingkungan khususnya di Bali, dugaan yang kuat adalah tradisi itu kini hanya berhenti di tataran ritual, dan generasi muda semakin berjarak, sehingga kerusakan lingkungan pun semakin parah.


Orang boleh berdebat dengan teori Antroposentrisme, manusia dan kepentingannya dianggap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan yang diambil dalam kaitan dengan alam, baik secara langsung atau tidak langsung, seakan membenarkan kerakusan manusia yang tak terkendali. Benar kata orang Inggris, Butterfly is not a beauty without caterpillar.

Di awal Agustus tahun 2016, saya ikut mendampingi mahasiswa Undiksha yang lolos Pimnas, (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional) ke 29 di kampus IPB. Ada sebanyak 145 PTN dan PTS ikut ambil bagian karena PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) lolos seleksi, dan ada paling tidak 445 PKM kelompok dari mahasiswa. Kegiatan ilmiah mahasiswa ini benar-benar menampilkan wajah berbeda, dengan mengusung gebyar Bhineka Tunggal Ika, kreativitas menjadi sangat menarik. Namun, keteribatan kampus di Bali Hanya diwakili oleh Unud, Undiksha dan Universitas Mahasaraswati. Artinya mahasiswa Hindu belum banyak terlihat. Ini menjadi refleksi bagi generasi muda Hindu, dan kampus-kampus Hindu dan kampus yang jumlah mahasiswa Hindu yang besar di Bali untuk memacu kreativitas dan motivasi yang tinggi bagi mahasiswa untuk berinovasi.

Ada beberapa pelajaran yang dapat ditarik dalam pelaksanaan Pimnas ke 29 di IPB itu, pertama, mahasiswa dapat melihat bagaimana, IPB menjaga kebersihan lingkunga, pohon-pohon besar dibiarkan tumbuh dan terawat dengan baik, sedikit pun tak tersakiti, dengan taman –taman dan kelas yang tertib dan pegawai yang ramah, serta tidak ada corat-coretan, mahasiswa. Hal itu menjadi harapan yang sangat baik, walaupun disana pelajaran Tri Hita Karana tak pernah digaungkan, sedangkan di Bali, walaupun ada tumpek Pengatag, transfer keyakinan itu semakin terkendala dalam diri generasi kita. Tentu ada sesuatu yang salah. Disinilah peran pendidikan semakin penting.

Kedua, bisa kita yakini bahwa pendidikan merupakan salah satu upaya potensial dalam mengatasi krisis lingkungan yang terjadi saat ini dan masa yang akan datang. Oleh karena itu, pendidikan berbasis Hindu seharusnya menjadi pelopor dalam penangan lingkungan. Membuang sampah ke dalam sungai, perlu kesadaran bahwa sungai adalah suci.

Kesakralan suatu tempat yang disampaikan di lingkungan sekolah akan lebih efektif menyentuh dan melekat pada diri peserta didik. Penanaman kepedulian terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan di lingkungan sekolah dapat dilakukan melalui proses belajar mengajar yang bermuatan pendidikan lingkungan hidup, penyediaan lingkungan sekolah yang asri, dan ditunjang dengan fasilitas sekolah. Pendidikan lingkungan hidup di lingkungan sekolah merupakan modal dasar bagi pembentukan etika lingkungan pada lintas generasi, apalagi bagi umat Hindu yang memiliki ajaran dengan  nilai-nilai agung untuk melakukan interaksi dengan alam sekitarnya. Disinlah pentingan konsepsi ekosentrisme yang berkaitan dengan etika lingkungan yang lebih luas, yakni memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologis, baik yang hidup maupun tidak. Inilah menarik dicermati dalam kaca mata budaya Hindu.

Interaksi dengan alam sekitarnya dapat dilihat pada upacara Tumpek Bubuh pada masyarakat Hindu di Bali, yang dilaksanakan pada hari Saniscara Kliwon Wariga setiap 210 hari sekali dapat ditanggapi sebagai usaha untuk melestarikan lingkungan. Upacara ini adalah dalam rangka pemujaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Sangkara sebagai dewanya tumbuh-tumbuhan. Memilihara tumbuh-tumbhan adalah sebuah solusi untuk menjaga lingkungan

Selain itu, upacara Tumpek Kandang, yang diselenggarakan untuk menyatakan terima kasih kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewa Pasupati pencipta binatang seperti ayam, itik, babi, dan sapi yang telah membantu pekerjaan manusia maupun sebagai makanan. Upacara ini dilaksanakan pada hari Saniscara Kliwon Uye setiap 210 hari sekali. Dalam masyarakat Bali juga ada petunjuk yang menyatakan bahwa tidak boleh menebang pohon bambu pada hari Minggu, tidak boleh menebang kayu untuk bangunan apabila harinya berisi “was” (menurut kalender Bali hari “was” datang setiap enam hari sekali), tidak boleh menyakiti binatang seperti memotong ekor si putung (capung) memotong ekor cecak, mencari anak burung di sarangnya.

Ajaran dan nilai lokal dalam melestarikan lingkungan sangat dibutuhkan dalam kondisi lingkungan global dewasa ini semakin memprihatinkan. Hal ini dipicu oleh ulah manusia yang mengekploitasi sumberdaya alam dan lingkungan tanpa batas. Berkaitan dengan perilaku manusia terhadap kondisi sumberdaya alam dan lingkungan yang cenderung tidak peduli, maka mengubah perilaku menjadi prioritas utama dalam mengatasi krisis lingkungan. Menurut Arne Naess, yang juga seorang ahli ekologi, mengungkapkan bahwa krisis lingkungan dewasa ini hanya bisa diatasi dengan melakukan perubahan cara pandang dan perilaku manusia terhadap alam yang fundamental dan radikal. Salah satu cara dalam upaya mengubah perilaku adalah melalui jalur pendidikan.

Lewat revitalisasi perayaan Tumpek Bubuh, Tumpek Kandang juga menawarkan kepada kita untuk selalu mencintai segala jenis satwa, dan dasar filosofis Tumpek Kandang berpegang pada ajaran bahwa manusia dengan lingkungan ibarat singa dengan hutan, singa adalah penjaga hutan dan hutan pun menjaga singa. Dalam Kitab Suci Bhagawadgita, III:10, menyebutkan: ‘sahayajnah prajah srstva, puro’vaca prajapatih, anena prosavisyadhvam, esa vo’stv istakamadhuk’ dahulukala Tuhan menciptakan manusia dengan yajna dan berkata: ‘dengan yajna pulalah hendaknya engkau berkembang, dan biarlah ini (bumi) menjadi sapi perahanmu dengan maksud bahwa bumi (alam/lingkungan) ini menjadi sapi perahanmu untuk dapat memenuhi kinginan manusia untuk dapat hidup yang layak dan harmoni dan selalu dipelihara dengan baik dan diusahakan seoptimal mungkin bagi kemakmuran bersama.

Ketika orang berpikir untuk kemakmuran bersama, maka seseorang telah beretika. Etika merupakan kebiasaan hidup yang baik, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup yang baik sebagai manusia. Etika merupakan ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik buruknya perilaku manusia. Kaidah, norma dan aturan tersebut sesungguhnya ingin mengungkapkan, menjaga, dan melestarikan nilai tertentu, yaitu apa yang dianggap baik dan penting. Secara luas, etika dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup dan bertindak sebagai orang baik. Etika memberi petunjuk, orientasi, dan arah bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia. Sehubungan dengan pemahaman tersebut maka etika lingkungan pada dasarnya membicarakan mengenai norma dan kaidah  moral yang mengatur perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam, serta nilai dan prinsip moral yang menjiwai perilaku manusia dalam berhubungan dengan alam.

Sekolah merupakan salah satu komponen utama dalam kehidupan seorang anak selain keluarga dan lingkungan sekitar mereka. Secara umum sekolah merupakan tempat dimana seorang anak distimulasi untuk belajar di bawah pengawasan guru
Pada akhirnya, pendidikan lingkungan hidup di lingkungan sekolah merupakan modal dasar bagi pembentukan etika lingkungan pada lintas generasi. Generasi Hindu seharusnya lebih maju karena telah teradaptasi dengan berbagai ritual yang berkaitan dengan lingkungan

Oleh karena itu, Sekolah peduli dan berbudaya lingkungan merupakan pintu gerbang bagi siswa dalam membentuk perilaku yang beretika terhadap lingkungan, sehingga memberikan kontribusi yang berarti bagi peningkatan kepedulian terhadap kelestarian alam. Penanaman etika lingkungan di lingkungan sekolah secara berkelanjutan diharapkan akan dapat tertanam kuat pada hati para siswa sehingga akan berbuah perilaku-perilaku yang mencintai alam berserta isinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar