Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 16 Juli 2013

Buku "Wartawan Jadi Pendeta: Sebuah Otobiografi" Mpu Jaya Prema masih tersedia di Raditya. Harga Rp 70.000 gratis ongkos kirim dan bonus tandatangan penulisnya.

Redaktur Senior Tempo, Putu Setia, Luncurkan Buku Otobiografi. Buku ini juga diluncurkan di Jakarta pada 24 Juni 2013 dan mendapat sambutan yang meriah. Buku ini adalah bentuk penulisan biografi dengan gaya sastra yang pertamakali di Indonesia, dengan kejujuran sebagai hal utama yang ditampilkan. Berbeda dengan biografi para tokoh lainnya yang isinya hanya memuji diri sendiri. Cover buku yang khas juga langsung menyiratkan hal itu. Pengantar buku ditulis khusus oleh budayawan terkenal Goenawan Mohamad.


TEMPO.CO, Denpasar - Redaktur Senior Majalah Tempo Putu Setia, yang kini telah ditahbiskan menjadi pendeta Hindu bernama Mpu Jaya Prema Ananda (lengkapnya Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda), menerbitkan buku otobiografi. Buku berjudul Wartawan Jadi Pendeta itu diluncurkan Sabtu, 1 Juni 2013, di Warung Tresni, Denpasar dan dilanjutkan di Jakarta pada 24 Juni 2013.

Hadir pada acara peluncuran di Bali, Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan sejumlah pers. "Saya sudah melihat bukunya, dan buku ini wajib untuk dibaca," kata Pastika. Ia mengaku sudah mengenal Putu Setia dan pemikirannya sejak lama, khususnya melalui buku Bali Menggugat. "Cara berpikirnya selalu kritis dan mencerahkan," ujarnya. Menurut dia, Bali membutuhkan lebih banyak pemikiran semacam itu demi masa depan.

Salah satu masalah yang perlu, sebut Pastika, misalnya mengenai terlalu banyaknya upacara ritual di Bali, sementara perhatian pada dunia pendidikan masih sangat kurang. Tak heran, kata Pastika, orang Bali dan Hindu cenderung mengalami ketertinggalan dalam kualitas pendidikan. Diperlukan cara berpikir yang bisa menyeimbangkan antara dua hal tersebut.

Sementara itu, Mpu Jaya Prema mengungkapkan, inspirasi untuk menulis buku itu awalnya muncul ketika ia dirawat di rumah sakit. "Pertamanya, saya ingin menulis untuk diwariskan kepada keluarga saja," ujarnya. Namun, dalam perkembangan, banyak orang yang berkomentar bahwa materi dalam buku itu sangat menarik untuk dibaca oleh orang lain. Sebab, selain mengungkap kehidupan pribadi penulisnya, juga berisi perkembangan sosial, politik, dan budaya di Bali.

Buku ini juga ditulis layaknya karya sastra, tetapi dengan didasarkan atas fakta-fakta yang dialami oleh Putu Setia. Secara keseluruhan, buku dipilah dalam 14 bab. Dimulai dari prolog yang menceritakan kembali suasana saat penahbisan Putu Setia sebagai Ida Bhawasti (calon pendeta). Bab demi bab kemudian mengisahkan kehidupan Putu Setia sejak kecil, masa berkarier sebagai wartawan, hingga pulang kembali ke Bali untuk mempersiapkan diri menjadi pendeta.

Adapun alasan utama menjadi pendeta terutama adalah perasaan berutang kepada leluhurnya. "Sebab, kakek dan ayah saya menolak untuk menjadi pemangku atau pengurus pura," ujarnya. Dari penolakan itu kemudian diyakini adanya kutukan kepada keluarga besar yang menyebabkan keluarganya akan tetap dalam kemiskinan.

Karena itu, ketika usianya telah mencapai 50 tahun, Setia menyatakan keinginannya kepada seorang pedanda untuk menjadi pemangku. Namun, oleh pedanda itu, Setia malah dianjurkan menjadi seorang pendeta. "Dengan dukungan keluarga, akhirnya saya belajar ke sejumlah pendeta untuk dapat memenuhi semua syaratnya," ujarnya. Jauh hari sebelumnya, Setia mengaku sudah banyak mempelajari ajaran agama Hindu, apalagi setelah menjadi Ketua Forum Cendekiawan Hindu Indonesia (FCHI) pada tahun 1980-an.

Selain di Denpasar, buku ini di-launching di Jakarta dan Yogyakarta dengan mengambil tema yang berbeda-beda. "Ada yang melihat dari sisi keragaman budaya, tapi ada juga yang khusus menyoroti sisi politiknya," katanya. Namun ada juga yang menghadirkan diskusi membahas buku ini sebagai sebuah teknik penulisan otobiografi layaknya karya sastra.

ROFIQI HASAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar