Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 18 Desember 2012

Purusa-Pradana dan Hindu di Bali

Mas Ruscitadewi

Secara umum manusia dibedakan menjadi dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini merujuk pada kondisi fisik yang memang berbeda, yakni perempuan yang setelah akil balik mengalami menstruasi dan memproduksi sel telur yang kemudian bila berhasil dibuahi akan menjadikan si perempuan hamil, kemudian melahirkan dan berlanjut pada peran menyusui. Sedangkan laki-laki akil balik ditandai dengan munculnya buah jakun yang mempengaruhi pita suaranya, dan produksi sperma yang bisa membuahi rahim perempuan dan membuat si perempuan hamil dan punya anak.

Secara umum kondisi fisik laki-laki dan perempuan memamg berbeda, yang mengakibatkan adanya peran yang berbeda pula. Tetapi di luar dari perbedaan fisik yang mengakibatkan perbedaan peran tersebut, semestinya tidak ada perbedaan peran yang tajam antara laki-laki dan perempuan, sesuai dengan bakat dan kemampuannya.

Perjalanan sejarah manusia memang secara tak langsung membentuk pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Awalnya, pada masa populasi manusia sangat terbatas dan hidup berburu, maka keberadaan perempuan yang hanya bisa mengandung maksimal sekali setahun haruslah dijaga dan dilindungi, karena sangat berpengaruh bagi kelangsungan sebuah suku. Pada masa bercocok tanam, keberadaan perempuan juga masih sangat dihargai karena itu perempuan ditempatkan di rumah yang aman dan terlindung. Penempatan perempuan di rumah membuat para perempuan kreatif dan menemukan sistem bercocok tanam, sistem mengolah makanan maupun sistem anyaman.

Kalaupun pihak laki-laki pergi ke luar rumah untuk berburu hasilnya hanya cukup untuk kelangsungan hidup mereka maupun kelompoknya.

Pergeseran penghargaan terhadap perempuan nampaknya mulai menajam saat kegiatan di luar rumah menjanjikan sesuatu kelebihan di luar kebutuhan untuk hidup. Ketika para lelaki yang bekerja di luar rumah mendapatkan jasa lebih: berupa uang, jabatan, kebanggaan maupun penghargaan, maka jurang perbedaan perlakuan antara laki-laki dan perempuan makin tajam. Kini ketika banyak perempuan juga berperan di luar rumah, yang berarti juga mendapatkan jasa berupa uang, jabatan, kebanggaan maupun penghargaan, tidak membuat penghargaan antara laki-laki dan perempuan menjadi sehimbang, justru nasib perempuan makin meradang, sementara laki-laki sibuk menendang.

Kondisi ini terlihat jelas pada tata kehidupan masyarakat Bali, yang menempatkan penghargaan yang begitu tinggi pada laki-laki, sedang perempuan hanya makhluk kelas dua yang merasa bangga dengan peran ganda, dan terhibur dengan kesetaraan gender yang hanya sebatas wacana.

Contohnya, keluarga, keluarga besar, desa adat, cendikiawan, baik laki maupun perempuan Bali tanpa merasa risih ketika menyebut setiap laki-laki Bali sebagai purusa pewaris dan penerus keturunan. Padahal kata purusa sendiri bukanlah identik dengan laki-laki. Kata purusa dalam filsafat Sankhya berarti spirit, atau roh atau rohani dan Prakerti berarti material atau kebendaan. Kedua asas inilah yang membemtuk dunia. Jadi memang dunia dibentuk oleh roh dan material, bahkan manusia pun terbentuk dari roh dan material, tetapi tidak ada alasan yang cukup masuk akal untuk menyebut laki-laki sebagai purusa dan perempuan sebagai prakerti atau pradana, karena baik laki maupun perempuan sama-sama terdiri dari material dan roh.

Kalaupun sekarang masyarakat Bali menyebut laki-laki sebagai purusa dan perempuan sebagai prakerti atau pradana, itu berarti telah terjadi pergeseran makna yang sangat jauh. Kalau saja masyarakat Bali, utamanya para cendikiawan memahami secara mendalam konsep purusa dan prakerti dalam filsafat Sankhya, yang keduanya sama penting dan sama berharga, maka adat dan budaya masyarakat Bali tidak akan menonjolkan ideologi patriaki, yang cenderung menempatkan laki-laki sebagai pemimpin.

Masyarakat Bali mayoritas beragama Hindu. Dalam Agama Hindu yang disebut sebagai pemimpin adalah seseorang yang memiliki karakter atau sifat atau bakat kepemimpinan. Terkait dengan sifat/karakter atau bakat kitab suci Hindu menyebutnya sebagai varna. Dimana kata varna yang berasal dari bahasa Sanskerta berasal dari urat kata “Vr” yang artinya pilihan bakat dari seseorang (Titib, 1995: 10). Varna yang memiliki bakat kepemimpinan yang menonjol disebut ksatriya yang berarti memberi perlindungan. Varna ini tidak membedakan antara laki dan perempuan, juga bukan pada faktor keturunan, tetapi lebih pada sifat, bakat dan kemampuan. Sifat, bakat dan kemampuan ini merupakan unsur perpaduan purusa dan prakerti.

Konsep Kepemimpinan dalam Niti Sastra

Niti Sastra menurut Zoetmulder (2006:708) merupakan ilmu atau karya mengenai etika politik. Dengan demikian ruang lingkup Niti Sastra tentu sangat luas mencakup pula etika, moralitas, sopan santun dan sebagainya. Dari pemahaman etimologis tersebut, maka “Niti Sastra” dapat diartikan sebagai keseluruhan sastra yang memberikan ketentuan, bimbingan, arahan bagi umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan agar menjadi lebih teratur, terarah, dan lebih baik. Tentu saja masalah etika, moralitas, sopan santun, dan prilaku lainnya tidak lepas dari perpaduan antara purusa dan prakerti.

Terkait kepemimpinan ini, kitab Atharva Veda: 3.4.1 menjelaskan tentang tugas seorang pemimpin sebagai berikut: Wahai pemimpin negara, datanglah dengan cahaya, lindungilah rakyat dengan penuh kehormatan, hadirlah sebagai pemimpin yang utama, seluruh penjuru mamanggil dan memohon perlindunganmu, raihlah kehormatan dan pujian dalam negara ini.

Di samping sebagai pelindung rakyat, pemimpin juga harus memperhatikan kesejahteraan masyarakat. Ajaran kepemimpinan ini nampak semakin jelas seperti yang termuat dalam (Atharva Veda: 3.4.2), yang berbunyi: Bilamana seorang pemimpin dalam sebuah negara selalu mengikuti kebenaran dan dharma, serta mencukupi kebutuhan rakyatnya, maka semua orang bijaksana dan tokoh masyarakat akan mengikuti dan menyebarkan dharma kepada masyarakat luas.

Dalam Atharva Veda: 5.19.6 juga dijelaskan, apabila seorang pemimpin yang pemarah dengan kesombongannya ingin menghancurkan dan menghina para Brahmana yang ahli Veda, maka negara tersebut akan hancur.

Rg Veda: 4.50.9 juga menjelaskan tentang bagaimana semestinya kepemimpinan seorang pemimpin. Dikatakan bila seorang pemimpin memperhatikan masalah kesejahteraan rakyat serta mampu memberikan perlindungan kepada masyarakat, maka rakyat pun akan melindungi pemimpin itu sendiri, ibaratnya singa dan hutan yang saling melindungi, demikianlah keberadaan pemimpin dengan yang dipimpinnya.
Pemimpin yang tidak terkalahkan, melindungi rakyatnya dengan selalu meminta perlindungan Tuhan, sebaliknya rakyat pun akan selalu menghormati, dan melindungi pemimpin tersebut. Ada banyak konsep Kepemimpinan Hindu diantaranya: Sad Warnaning Rajaniti, Catur Kotamaning Nrpati, Tri Upaya Sandi, Pañca Upaya Sandi, Nawa Natya, Pañca Dasa Paramiteng Prabhu, Sad Upaya Guna, Pañca Satya dan lain-lain. Berikut ini rincian dari konsep-konsep kepemimpinan Hindu.

Sad Warnaning Rajaniti

Sad Warnaning Rajaniti atau Sad Sasana adalah enam sifat utama dan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang raja. Konsep ini ditulis Candra Prkash Bhambari dalam buku “Substance of Hindu Politiy”. Ada pun bagian-bagian Sad Warnaning Rajaniti ini adalah:
1. Abhigamika, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu menarik perhatian positif dari rakyatnya.
2. Prajña, artinya seorang raja atau pemimpin harus bijaksana.
3. Utsaha, artinya seorang raja atau pemimpin harus memiliki daya kreatif yang tinggi.
4. Atma Sampad, artinya seorang raja atau pemimpin harus bermoral yang luhur.
5. Sakya samanta, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu mengontrol bawahannya dan sekaligus memperbaiki hal-hal yang dianggap kurang baik.
6. Aksudra Parisatka, artinya seorang raja atau pemimpin harus mampu memimpin sidang para menterinya dan dapat menarik kesimpulan yang bijaksana sehingga diterima oleh semua pihak yang mempunyai pandangan yang berbeda-beda.

Catur Kotamaning Nrpati

Catur Kotamaning Nrpati merupakan konsep kepemimpinan Hindu pada jaman Majapahit sebagaimana ditulis oleh M. Yamin dalam buku “Tata Negara Majapahit”. Catur Kotamaning Nrpati adalah empat syarat utama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Adapun keempat syarat utama tersebut adalah: Jñana Wisesa Suddha, artinya raja atau pemimpin harus memiliki pengetahuan yang luhur dan suci. Dalam hal ini ia harus memahami kitab suci atau ajaran agama (agama agëming aji).
Kaprahitaning Praja, artinya raja atau pemimpin harus menunjukkan belas kasihnya kepada rakyatnya. Raja yang mencintai rakyatnya akan dicintai pula oleh rakyatnya.
Wibawa, artinya seorang raja atau pemimpin harus berwibawa terhadap bawahan dan rakyatnya. Raja yang berwibawa akan disegani oleh rakyat dan bawahannya.

Tri Upaya Sandhi

Di dalam Lontar Raja Pati Gundala disebutkan bahwa seorang raja harus memiliki tiga upaya agar dapat menghubungkan diri dengan rakyatnya. Adapun bagian-bagian Tri Upaya Sandi adalah:
Rupa, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengamati wajah dari para rakyatnya. Dengan begitu ia akan tahu apakah rakyatnya sedang dalam kesusahan atau tidak.
Wangsa, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengetahui susunan masyarakat (stratifikasi sosial) agar dapat menentukan pendekatan apa yang harus digunakan.
Guna, artinya seorang raja atau pemimpin harus mengetahui tingkat peradaban atau kepandaian dari rakyatnya, sehingga ia bisa mengetahui apa yang diperlukan oleh rakyatnya.

Pañca Upaya Sandhi

Dalam Lontar Siwa Buddha Gama Tattwa disebutkan ada lima tahapan upaya yang harus dilakukan oleh seorang raja dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi tanggung jawab raja. Ada pun bagian-bagian dari Pañca Upaya Sandi ini adalah:
Maya, artinya seorang pemimpin perlu melakukan upaya dalam mengumpulkan data atau permasalahan yang masih belum jelas duduk perkaranya (maya).
Upeksa, artinya seorang pemimpin harus meneliti dan menganalisis semua data-data tersebut dan mengkodifikasikan secara profesional dan proporsional.
Indra Jala, artinya seorang pemimpin harus bisa mencarikan jalan keluar dalam memecahkan persoalan yang dihadapi sesuai dengan hasil analisisnya tadi.
Wikrama, artinya seorang pemimpin harus melaksanakan semua upaya penyelesaian dengan baik sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.
Logika, artinya seorang pemimpin harus mengedepankan pertimbangan-pertimbangan logis dalam menindak lanjuti penyelesaian permasalahan yang telah ditetapkan.
Ilmu kepemimpinan ideal yang pupuler di Bali dikenal dengan nama Astabrata, yang diambil dari petikan nasehat Rama kepada Wibhisana dalam Kekawin Ramayana (XXIV, 51-61) yang merupakan ajaran dari Manawa Dharmasastra VII.3-4 yang digubah dalam bentuk yang indah sehingga menjadi populer di Bali.

Terjemahan isi dari Astabrata dalam Kekawin Ramayana berbunyi:
Dan ia disuruh untuk menghormatinya, karena Ida Bhatara ada pada dirinya, delapan banyaknya berkumpul pada diri sang Prabhu, itulah sebabnya ia amat kuasa tiada bandingnya. Hyang Indra, Yama, Surya, Candra, Bayu, Kuwera, Baruna, Agni, demikian delapan jumlahnya, beliau-beliau itulah sebagai pribadi sang raja, itulah sebabnya disebut Asta Brata. Dijelaskan tentang pribadi raja yang delapan itu, yaitu:

1. Indra brata, Sang Hyang Indra usahakan pegang, Ia menjatuhkan hujan menyuburkan bumi, inilah hendaknya engkau contoh lndrabrata, sumbangan-sumbanganmu itulah bagaikan hujan membanjiri rakyat.
2. Yamabrata menghukum segala perbuatan jahat, ia memukul pencuri sampai mati, demikianlah engkau ikut memukul perbuatan jahat, setiap yang merintangi usahakan musnahkan.
3. Bhatara Surya menerangi dengan adil tanpa pilih kasih.
4. Sasi Brata adalah menyenangkan rakyat semuanya, perilaku lemah lembut tampak, senyummu manis bagaikan amerta, setiap orang tua dan pendeta hendaknya engkau hormati.
5. Bagaikan anginlah engkau waktu mengamati perangai orang, hendaklah engkau mengetahui pikiran rakyat semua, dengan jalan yang baik sehingga pengamatanmu tidak kentara, inilah Bayu brata, tersembunyi namun mulia.
6. Nikmatilah hidup dengan nikmat, tidak membatasi makan dan minum, berpakaian dan berhiaslah, yang demikian disebut Dhanabrata patut diteladani.
7. Bhatara Baruna membersihkan dan melebur, dengan memegang senjata yang amat beracun berupa Nagapasa yang membelit, itulah engkau tiru Pasabrata, engkau mengikat orang-orang jahat.
8. Selalu membakar musuh itu perilaku api, kejammu pada musuh itu usahakan, setiap engkau serang cerai berai dan lenyap, demikianlah yang disebut Agnibrata.

Dari uarian-uraian diatas jelas menunjukkan bahwa tujuan seorang pemimpin adalah mensejahterakan rakyatnya. Dari delapan sifat kepemimpinan dalam Asta Brata, tidak semata-mata identik dengan sifat maskulin, hanya Yamabrata dan Baruna yang menunjukan karakter maskulin, sedang enam lainnya lebih mengarah pada karakter feminism. Dalam hal ini karakter maskulin tidak semata-mata dimiliki oleh laki-laki, demikian juga sebaliknya, karakter feminism tidak semata-mata dimiliki oleh perempuan. Sama seperti halnya purusa prakerti/pradana yang terkandung dalam setiap ciptaan termasuk manusia, maka karakter feminism dan maskulin ada dalam setiap orang, tergantung kapan dan dimana kita memanfaatkannya.

Sifat Androgini
Keseimbangan purusa prakerti/pradana atau karakter maskulin dan feminism menjadikan hidup seseorang sehimbang dan berpotensi besar untuk menyehimbangkan masyarakat yang dipimpinnya. Dalam masyarakat modern, orang yang memiliki purusa dan prakerti seimbang atau memiliki karakter feminism dan maskulin yang seimbang disebut Androgini.

Dalam Website Kompas.com yang dimuat Kamis 3 Maret 2011, terkait dengan perempuan dan kepemimpinan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari mengatakan, yang diperlukan bukan hanya nama besar untuk menjadi perempuan calon pemimpin yang ideal 2014 nanti, tetapi harus juga memiliki sifat androgini.
Sifat androgini adalah penggabungan antara sikap maskulin dan feminim. Dalam kepemimpinan Androgini perempuan memiliki kemampuan menyimbangkan kualitas baik secara maskulin maupun feminim.

Dalam Website Psikologi Modern, 24 January 2011 dikatakan bahwa androgini merupakan sebuah identitas gender manusia. Androgini adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Sandra Bem, seorang psikolog Universitas Stanford pada tahun 1974. Pada tahun 1977, ia mengeluarkan sebuah inventory pengukuran gender yang diberi nama The Bem Sex Role Inventory. Berdasarkan respon dari item-item pada inventory ini, individu diklasifikasikan memiliki salah satu dari orientasi peran gender: maskulin, feminin, androgini, dan undifferentiated.
Menurutnya, individu yang feminin adalah seseorang memiliki angka yang tinggi pada sifat feminin dan memiliki angka rendah dari sifat maskulin, individu yang maskulin adalah seseorang yang memiliki angka yang tinggi pada sifat maskulin dan memiliki angka yang rendah pada sifat feminin. Individu androgini adalah laki-laki atau perempuan yang memiliki angka tinggi pada sifat maskulin dan feminin. Individu undifferentiated memiliki angka yang rendah pada sifat maskulin dan femininnya.

Androgini berasal dari bahasa Yunani yang artinya “andros-” berarti laki-laki dan “gyné -“ berarti perempuan. Androgini adalah istilah dalam identitas gender dimana seseorang tidak termasuk dengan jelas ke dalam peran maskulin dan feminin yang ada di masyarakat.

Sifat Andogini ini mungkin bisa disamakan dengan konsep Ardhanareswari dalam Siwatattwa yang menjadi simbol Tuhan dalam manifestasi sebagai setengah purusa dan pradana. Karena sifat tidak bisa disimbulkan maka kedudukan dan peranan purusa disimbolkan dengan Siwa sedangkan Pradana disimbolkan dengan Dewi Uma. Di dalam proses penciptaan, Siwa memerankan fungsi maskulin sedangkan Dewi Uma memerankan fungsi feminim. Tiada suatu apa pun akan tercipta jika kekuatan purusa dan pradana tidak menyatu. Penyatuan kedua unsur itu diyakini tetap memberikan bayu bagi terciptanya berbagai mahluk dan tumbuhan yang ada. Itu artinya penyatuan purusa dan pradana akan mengantarkan masyarakat pada kesehimbangan, sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh pemimpin yang bijaksana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar