Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 23 November 2012

Media Berupacara, Bolehkan Berubah?

Mas Ruscitadewi

Untuk menunjukkan rasa syukur, rasa bhakti dan penghargaan terhadap Sang Pencipta, leluhur, sesama dan alam semesta, sebagian besar masyarakat Hindu Bali mengekspresikannya dengan menggelar upacara. Dalam pelaksanaan upacara ini, masyarakat biasanya memakai sarana berupa benda-benda yang ada di sekitarnya.

Ketika jaman mulai berubah, benda-benda yang dipakai sarana untuk tujuan mengekspresikan diri dalam berupacara juga berubah secara perlahan, sesuai dengan kondisi dan situasi saat itu. Janur dan pisang adalah dua benda yang sangat akrab dengan kegiatan ritual masyarakat Hindu di Bali. Ketergantungan masyarakat Hindu Bali dengan janur dan pisang dalam kegiatan upacara disambut sumringah oleh kalangan pebisnis dan penghasil janur dan pisang. Kini janur-janur dan pisang-pisang untuk keperluan upacara didatangkan lebih banyak dari Jawa.

Sebenarnya bukan persoalan dari mana janur dan pisang itu didatangkan, tetapi bagaimana ketergantungan masyarakat Bali akan kedua komoditi itu membuat spekulan dengan seenaknya mempermainkan harga. Harganya pun melambung sedemikian tinggi, mencekik leher krama Hindu Bali kebanyakan, tanpa kompromi. Ujung-ujungannya banyak krama Bali yang berupacara dengan keluhan-keluhan, bukan dengan ketulusan.

Beberapa krama Hindu Bali mencoba mencari alternatif pengganti janur, pilihan jatuh pada Janur Sulawesi, dan daun lontar. Karena warnanya yang putih dan bidangnya yang lebih tipis, akhirnya pilihan krama lebih banyak jatuh pada janur Sulawesi. Ketika makin banyak krama yang menggantikan peran janur kelapa dengan janur Sulawesi, beberapa pinandita mendharmawacanakan pelarangan, tanpa alasan masuk akal dan pencarian solusi. Pada akhirnya, karena alasan ekonomis banyak krama Bali yang akhirnya tetap memakai janur Sulawesi dan mengabaikan larangan para pinandita.

Kondisi ini lambat laun tentu akan meruntuhkan kewibawaan para pinandita. Semestinya para pinandita melarang dengan memakai alasan yang lebih logis, misalnya jangan memakai janur Sulawesi karena dikeringkan dengan zat kimia yang bisa menyebabkan kanker paru-paru. Atau mencari alternatif lain pengganti janur yang mudah ditemukan di lingkungan krama Hindu Bali.

Anehnya para pinandita yang nota bene didengar saran dan himbaunnya jarang yang memberikan alasan logis yang berkaitan dengan sarana yang dipakai berupacara, malahan sebaliknya banyak oknum pinandita yang terkesan menolak perubahan. Prinsif-prinsif berupacara secara efektif dan ekonomis, sebagai yadnya yang tulus ikhlas seakan semakin jauh. Yang berkembang justru upacara yang semakin mewah dan wah, sebagai bentuk pengharapan yang semakin banyak.

Bukankah kesejatian hidup adalah perubahan, lantas kenapa sarana berupacara yang profan berupaya disakral-sakralkan, media berupacara yang beragam berupaya diseragamkan? Ukuran rasa ketulusan seseorang memang berbeda-beda, tetapi yang harus dipahami adalah masalah rasa ketulusan, bukan medianya. Karena yang memuja adalah rasa kita, benda hanyalah simbul, maka tak heran bila media yang yang dipakai sebagai simbul berubah sepanjang jaman.

Sebutlah misalnya dalam kegiatan upacara kematian, yang sekarang dikenal dengan istilah ngaben. Jika dipelajari perkembangannya dari masa prasejarah Bali, pernah ditemukan data bahwa pada suatu masa orang Bali yang meninggal (terutama tokoh masyarakat) disimpan dalam sebuah peti batu yang disebut sarkopagus. Sistem penyimpanan dalam sarkopagus ini merupakan sebuah bentuk penanganan terhadap jenasah secara langsung (penguburan primer). Dalam perkembangan selanjutnya, ketika masyarakat sudah mengenal teknologi membuat gerabah, maka mayat yang sudah dikubur setelah menjadi tulang belulang disimpan dalam sebuah gerabah dan dikubur dalam tanah dengan segala bekal kubur berupa benda-benda yang ada saat itu (seperti yang ditemukan di situs Gilimanuk dan Semawang). Dikenal dengan istilah penguburan sekunder. Pada masa kemudian, setelah masyarakat mengenal teknologi pengolahan logam (masa perundagian), makan penguburan sekunder dilakukan di dalam sebuah nekara perunggu, seperti yang ditemukan di Desa Manikliu, Bangli.

Kini upacara kematian yang lebih dikenal dengan istilah ngaben yang secara umum dimaknai sebagai upacara pembakaran mayat yang dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Bali juga mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan teknologi. Perkembangan ini ditunjukkan dengan adanya perkembangan alat yang dipakai dalam pembakaran mayat tersebut. Awalnya pembakaran mayat dilakukan dengan sarana kayu-kayu bakar, kemudian ketika kompor mulai dikenal, sekitar tahun 1980an alat yang dipakai membakar adalah kompor. Awalnya perubahan ini ditentang banyak kalangan, tetapi karena dinilai lebih efektif dan praktis, maka pembakaran mayat dengan sarana kompor bisa diterima masyarakat banyak dan menjadi tradisi. Belakangan ini sarana pembakaran mayat juga berkembang pesat dengan memanfaatkan teknologi terbaru, yaitu sistem oven. Sarana dan cara pembakaran mayat seperti ini juga ditolak oleh beberapa kalangan, tetapi lambat laun pasti akan diterima.

Dalam ilmu bangunan penggunaan alat yang sesuai kemajuan teknologi juga ditunjukkan dengan sarana yang dipakai untuk membuat bale pawedan bagi pendeta saat memuja dalam sebuah upacara. Awalnya bale pawedan dibuat dari bambu dengan atap alang-alang, kini banyak kalangan yang memakai bale pawedan siap pasang dari besi dengan atap terpal. Logikanya yang terpenting tempat itu lebih tinggi, kuat dan tidak panas.

Bahkan lompatan yang begitu tajam terjadi pada media menyembah spirit Hyang Kuasa dalam manefestasinya sebagai Sang Hyang Saraswati, Dewa Pengetahuan. Jika dahulu media yang dipakai adalah rerajahan, lontar yang berisikan pengetahuan, maka kini buku dan laptop pun dimanfaatkan sebagai medai memuja Sang Hyang Saraswati.

Tentu saja ini tidak salah, seperti halnya orang yang bepergian ke tempat tujuan, mungkin awalnya dia hanya berjalan kaki, kemudian memakai tongkat karena mendaki, atau kemudian memilih menunggang kuda, menaiki, sepeda, naik mobil, bahkan naik pesawat bila perlu, asal tempat yang dituju bisa dicapai. Jadi media bisa berubah sesuai kondisi alam lingkungan dan tentu kondisi tempat yang dituju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar