Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Jumat, 23 November 2012

Bertemu Mbah Mujioto yang Mahir Huruf Dewanagari


Mbah Muji, demikian panggilan yang sering dilontarkan umat Hindu yang berada di sekitar Kecamatan Tegal Delimo, Banyuwangi ketika memanggil tokoh Hindu yang satu ini. Mbah Muji yang bernama lengkap Mujioto ini adalah pemangku sekaligus tokoh yang disegani oleh umat Hindu di sekitar Tegal Delimo, demikian pula umat yang berada di sekitar Banyuwangi. Ditemui di kediamannya di Desa Kadungsari, Dusun Persen, Kecamatan Tegal Delimo, tokoh ini begitu bersemangat menuturkan tentang perjalanan beliau dengan beberapa tokoh lainnya di dalam membangkitkan semangat umat Hindu di sekitar Kecamatan Tegal Delimo. Tokoh ini pula salah satu dari sekian tokoh penggagas yang berhasil mendirikan Pura Giri Selaka yang berlokasi di Alas Purwo.

Senyum yang selalu menghias bibir, beliau dengan pasih menceritakan bahwa pendirian Pura Giri Selaka penuh dengan perjuangan dan semangat yang tidak pernah pudar. Yang mana cikal bakal pendirian pura ini erat sekali kaitannya dengan peninggalan situs dekat pura yang bernama Situs Kawitan. Situs Kawitan diduga oleh Mbah Muji demikian pula umat Hindu di sekitar Tegal Delimo sebagai tempat peninggalan Hindu.

Batu Bata Keramat
Lebih jauh Mbah Muji menuturkan, bahwa pada tahun 1967 penduduk desa yang melakukan pembabatan hutan tidak sengaja menemukan gundukan tanah. Dalam gundukan tanah tersebut ternyata terdapat bongkahan batu bata besar yang masih tertumpuk. Persis bentuknya seperti gapura kecil. Lalu, masyarakat desa sekitar membawa batu bata tersebut pulang ke rumah masing-masing hendak bermaksud dijadikan tungku dapur dan alas rumah. Rupanya selang beberapa hari masyarakat yang mengambil batu bata tersebut terkena musibah, yakni banyak warga yang menderita sakit. Semenjak itulah masyarakat menyimpulkan, bahwa batu bata ini bukan batu bata biasa, lalu bongkahan batu bata tersebut dikembalikan ke tempat semula.
Bongkahan-bongkahan batu bata tersebut menurut Mbah Muji maupun masyarakat Hindu sekitar Tegal Delimo ada kaitanya dengan perjalanan Rsi Markendya menuju Bali. Demikian pula ada keyakinan lain, bahwa gundukan batu bata tersebut dahulunya merupakan tempat pertapaan Mpu Baradah. Meski belum ada catatan berupa prasasti yang menguatkan atau membuktikan hal itu, namun secara pasti dan atas keyakinan umat Hindu di sekitar Tegal delimo, bahwasannya situs tersebut sebagai pemujaan Mpu Beradah. Untuk selanjutnya, situs tersebut diayakini sebagai tempat yang sangat suci, sehingga dekat situs itu kemudian didirikan Pura Giri Selaka.

Mbah Muji juga menceritakan, bahwa di sekitar situs Kawitan Alas Purwo secara gaib terdapat bangunan berupa gapura-gapura agung yang menyerupai bangunan gapura kerajaan Majapahit. Hal itu semua orang dapat melihat, jika orang-orang mau melakukan semacam brata atau tirakat yang tidak main-main. Tirakat yang dilakukan, yaitu dengan melek selama tiga hari tanpa makan minum, dan yang terpenting adalah selama brata tidak diperbolehkan sedikitpun ada perasaan marah atau rasa benci terhadap apa pun. Jika hal itu bisa dijalankan dalam hitungan detik seseorang akan dapat melihat penampakan bangunan gapura-gapura gaib yang banyak pula prajurit dan orang-orang yang berlalu lalang. Pengalaman itu pun Mbah Muji alami sendiri. “Oleh karenanya, seluruh umat Hindu hendaknya mengunjungi pura dan situs tersebut sebagai pemujaan terhadap leluhur atau kawitan,” imbuhnya.

Ahli Huruf Devanagari
Selain sebagai pemrakasa berdirinya Pura Giri Selaka di Alas Purwo, tokoh yang sepuh ini ternyata ahli dalam membaca huruf Devanagari dan bahasa Sanskerta. Keahliannya itu didapatkannya secara otodidak. Berlatar belakang pada kecintaannya pada Hindu dan literatur Veda, beliau tidak henti-hentinya mempelajari Veda, khususnya bahasa Sanskerta dengan huruf Devanagarinya. Berdasarkan pada kecintaanya itu pula, Mbah Muji banyak mengoleksi buku literatur Veda yang dengan tekun dipelajari. Yang mengherankan, meski usianya yang sudah sepuh, namun Mbah Muji dapat membaca sekaligus melantunkan mantram Veda yang memakai huruf Devanegari dengan fasih dan chanda (irama) yang tepat. Tidak berhenti sampai di sana, yang menjadi luar biasa adalah beliau dapat menyalin bait-bait mantram Veda dengan huruf Devanagari, bahasa Sanskerta dan menerjemahkannya dengan huruf latin. Sembari menulis, Mbah Muji berkata, “Semua ini Mbah lakukan supaya nanti ada warisan intelektual bagi anak-cucu dan generasi Hindu selanjutnya,” tuturnya.

Dengan semangat yang berapi-api, Mbah Muji mengharapkan ke depannya generasi muda tidak takut belajar Veda. Sambil mengutip salah satu dalam sloka Veda, ia mengatakan, bahwa Veda sangat takut sama orang yang bodoh. Cetusan pemikiran beliau yang membuat saya berdecak kagum adalah ketika dengan tegas beliau berujar “Jika kita ingin Hindu dapat bangkit seperti yang tertuang dalam ramalan Sabda Palon, generasi muda hendaknya menekuni Veda mulai dari huruf, bahasa, dan ajarannya. Yang sudah tua biarlah, toh juga akan mati. Sing (yang) penting yang muda harus berani menenggelamkan dirinya dalam samudra pengetahuan Veda. Sebab semua sudah terdapat dalam Veda, dan tidak hanya dipelajari saja penting pula lakune (perilakunya) Veda”.

3 komentar: