Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 26 September 2012

MEMBURU HARI BAIK DI TENGAH JADWAL PADAT

Gede Agus Budi Adnyana

Jika kita melihat sebuah tabel perhitungan wariga yang kita sebut dengan istilah tika, maka kita akan menemukan ada ingkel wong, dan setiap hari dimana ingkel wong ini ditemukan, maka diyakini sebagai hari kurang baik bagi pekerjaan dan rencana lain. Di jaman dulu, penentuan hari yang baik sangat diperlukan untuk memenuhi harapan yang nantinya akan berhasil dengan baik, namun berbeda dengan sekarang.

Paradigma orang berpikir, bahwa hari baik adalah hari di mana pikiran kita dalam melakukan sesuatu dalam keadaan segar dan baik, maka disanalah hari baik sesungguhnya. Paradigma ini akan didukung kembali oleh persaingan sekarang yang tentu saja akan berorientasi pada hemat waktu tenaga dan uang. Jika bisa dilakukan sekarang, maka untuk apa menunggu hari yang baik yang jatuhnya sebulan lebih lama. Atau jika dapat dilakukan sekarang yang tentu saja akan menghemat waktu dan tenaga, mengapa kita harus menunggu saat yang lebih lama.

Terlebih lagi, waktu adalah uang, dan siapa cepat dia dapat. Belum lagi slogan yang mencekoki pikiran kita bahwa melakukan sesuatu “lebih cepat lebih baik”. ini kembali didukung kembali oleh sebuah pepatah tua yang menyatakan “sasih alah dening wuku, wuku alah dening dina, dina alah dening dauh, dauh alah dening atmanastuti. Jadi bulan akan dikalahkan dengan minggu, minggu akan dikalahkan juga dengan hari, hari akan dikalahkan dengan waktu, dan waktu itu sendiri akan dikalahkan dengan pikiran yang jernih.

Jika seseorang melakukan sebuah pekerjaan seperti mulai menulis, para rakawi di jaman dahulu mencari dewasa yang baik, meliputi bulan yang dianggap baik, hari yang baik dan waktu yang baik. Tetapi penulis sekarang, akan kalah saing jika dia harus menunggu bulan dan minggu atau hari dan waktu yang baik. Dia akan ketinggalan kereta, dan satu-satunya jalan terakhir adalah menggunakan pembenaran seperti atmanastuti, yakni ketika hari ini dia memiliki pikiran yang baik, maka hari ini juga dia akan mulai menulis.

Hal ini kemudian menjurus kepada semua pekerjaan, dan juga perkawinan. Sampai pelaku bisnis, sekarang ada sekarang dijalankan. Nah, sekarang kita berpikir dari segi yang berbeda. Ada banyak para ahli wariga tidak sependapat dengan tata cara ini, meskipun diakui hemat waktu biaya dan tenaga. Bukan sebuah cara untuk menunda pekerjaan, tetapi memilih hari yang baik, adalah sebuah hal yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal.

Konon bila salah dalam memilih hari, maka akan berakibat fatal. Misalnya, seseorang menikah di hari yang bertepatan dengan bojog megandong, kala brahma, kala rumpuh, gne rewana, titi buwuk, maka seluruh ahli wariga akan menyatakan bahwa mereka yang menikah pada hari seperti itu, maka rumah tangganya kelak akan cepat cekcok, pertikaian dalam rumah tangga, apapun yang dikerjakan tidak akan berbuah baik, dan jika melakukan perjalanan akan terhambat. Malangnya akan timbul perselingkuhan. Meskipun hal ini bisa saja ditepis dengan menyatakan, bahwa untuk selingkuh dan mempertahankan adalah masalah komitmen pasangan, tetapi pandangan ahli wariga menyatakan bahwa situasi seseorang dipengaruhi oleh hari, situasi dan keadaan, jika di hari itu buruk wariganya, maka situasi yang berpengaruh juga buruk.

Pernyataan yang paling membela pakar wariga kita adalah mengapa para rakawi, undagi dan sebagainya dapat dikenal dengan hebat lewat hasil karyanya. Itu disebabkan karena mereka memilih hari yang baik untuk melakukan pekerjaan mereka. Tukang tulis daun lontar seperti Mpu Manoguna, akan memilih hari yang baik ketika beliau mulai menuliskan syair syair puisi yang sekarang kita kenal dengan nama Sumanasantaka. Hampir seluruh penekun sastra Jawa Kuna, baik di Bali hingga di UGM, sampai di Harvad University dan penekun sastra di Belanda mengetahui karya beliau, ini disebabkan karena selain manahira atau atmanastuti yang baik, hari yang baik ketika mencari lontar, merendamnya, hingga menuliskannya ditentukan sekali.

Hari yang baik itu sendiri, akan mempengaruhi pikiran (atmanastuti) orang tersebut. Pernyataan bahwa semuanya alah dening atmanastuti, disebabkan karena adanya saat-saat genting dan darurat yang tidak memberikan pilihan waktu yang lain untuk melakukan sebuah pekerjaan. Itu pun hanya keperjaan dan situasi yang benar-benar darurat. Dalam kitab Mahabharata kita pernah menemukan bahwa ketika 12 hari akan disamakan dengan 12 tahun, oleh Bhima dan Arjuna, juga oleh Bhisma Putra Gangga.

Mereka hendak menyerang Hastinapura dan menyatakan bahwa penyamaran mereka berakhir hari ini, tepat ketika 12 hari ini. Tetapi Maharaja Yudhisthira menyatakan bahwa itu tidaklah benar. Ia mengatakan, bahwa12 tahun tetaplah 12 tahun, dan 12 tahun baru dapat disamakan dengan 12 hari bila saat yang kritis dan genting. Sedangkan saat itu tidak dalam keadaan demikian, maka kurang tepatlah jika memutarbalikkan sebuah hari dan keadaan sekehendak hati kita. Dengan adanya demikian, semoga kita dapat memilih dan memilah, mana yang harus dilakukan saat apa dan di hari apa, serta waktu dan keadaan yang bagaimana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar