Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Senin, 25 Juni 2012

Pengajaran Bahasa Sanskerta yang Masih Memprihatinkan

Bahasa Sanskerta adalah bahasa Weda sebagai sumber ajaran agama Hindu. Ironinya, bahasa ini sangat susah dipelajari, bahkan di India pun sebagai tempat turunnya wahyu Weda, hanyalah kalangan tertentu saja yang dapat memahami dengan benar bahasa ini. Jika demikian, perlukah bahasa Sanskerta dimasyarakatkan?

“Jika kita berbicara masalah agama Hindu, maka bahasa Sansekerta adalah sebuah dasar, icon, serta sebuah hal yang paling fundamental untuk agama Hindu, sebab dimanapun agama Hindu itu berada, maka deskripsi tentang Veda, adalah bahasa Sansekerta. Bagaimana mungkin, kita dapat memahami Veda tanpa memahami bahasanya terlebih dahulu,” demikian kata seorang pakar Bahasa Sansekerta yang dosen di IHDN Denpasar, Drs. I Made Surada, MA.

Ia menambahkan, agama Hindu memiliki esensi yang universal, bukan hanya di Nusantara tetapi di dunia. Maka dengan kata lain, identitas Hindu secara fundamental adalah Sansekerta. Maka untuk memahami hakikat Hindu yang murni, seseorang harus memahami bahasa Sanskerta, sebab bahasa ini adalah ibu segala macam bahasa. I Made Surada yang penulis Kamus Bahasa Sansekerta ini juga menyatakan, bahwa terlebih lagi di Nusantara, khususnya di Bali, untuk memahami agama Hindu, maka seseorang harus memahami tiga bahasa pokok.

Pertama adalah bahasa Sansekerta. Bahasa ini adalah bahasa pokok yang merupakan bahasa yang menjabarkan Veda, mantra, stotra, stava dan puja. Dapat dinyatakan bahasa ini adalah rohnya, adalah jiwanya, kemudian kembali lagi dideskripsikan dalam bahasa Jawa Kuna. Bahasa Jawa Kuna itu sendiri merupakan bahasa yang menginterpretasikan Bahasa Sansekerta yang merupakan rohnya. Leluhur kita terdahulu, tidak akan menjiplak secara murni apa yang datang dari India. Dengan adanya hal seperti itu, maka kita dapat mengerti bahwa sesungguhnya bahasa Sansekerta sudah dipahami dengan baik, dasar-dasarnya sudah dimengerti dengan sangat baik oleh leluhur kita. Itulah alasan mengapa leluhur kita kembali mengejawantahkan apa yang tersurat dalam kitab-kitab asli yang berbahasa Sansekerta.

Contohnya adalah, dalam kitab Brahmasutra, terdapat sebuah sutra yang berbunyi: janmādyasya yatah, yang secara harfiah berarti Semua ini berasal dari-Nya. Kemudian oleh Mpu Kanwa di tanah Jawa, dirubah menjadi Sangkan Paraning Dumadi. Ini adalah salah satu contoh bahwa leluhur kita mengerti baik secara gramernya, kemudian arti katanya, hingga pola yang menentukan makna secara leksikal dan gramatikal. Tidak akan mungkin seseorang dapat membuat dan mengubah sesuatu tanpa memahami secara baik bentuk asli dari sumber yang otentik tersebut. Sama halnya seperti kitab Sarasamuccaya, dalam kita tersebut, terdapat sloka-sloka yang berbahasa Sanskerta. Tetapi dalam penjabarannya, pendeskripsiannya dan juga dalam penafsirannya, leluhur kita memadukannya dengan bahasa Jawa Kuna.

Bahasa Jawa Kuna sendiri, dapat dinyatakan memiliki serapan bahasa Sansekerta sebanyak 85 persen. Jadi pengaruh Sansekerta terhadap seluruh seluk-beluk teks, interteks, dan juga sosioreligius masyarakat Hindu dimanapun berada, sangatlah besar. Kemudian yang ketiga adalah bahasa Bali. Jadi secara singkatnya, maka dapat dinyatakan bahwa untuk memahami Veda, seseorang harus memahami bahasanya terlebih dahulu, yakni Sansekerta. Kemudian deskripsi nilai Veda itu sendiri dan interpretasinya adalah bahasa Jawa Kuna, sedangkan media untuk menuliskannya adalah aksara Bali, jadi penting mempelajari ketiga bahasa tersebut. Dalam bahasa Sansekerta, Omkara memang sudah ada, tetapi oleh leluhur kita terdahulu, kembali memodofikasinya menjadi bentuk yang berbeda, namun maknanya sama, bahkan lebih hidup dari sebelumnya. Omkara yang tadinya, hanya Om, di tanah Nusantara dapat berubah menjadi aksara Ongkara Adumukha, Ongkara Ngadeg, Ongkara Sungsang, dan sebagainya.

Surada yang merupakan kini tengah menjabat sebagai Ketua Prodi Brahma Vidya, pada Program Pasca-sarjana IHDN Denpasar, ini merupakan jebolan dari Allahabad University India. Pengalamannya menjelajah India, membuat pria yang juga merupakan penekun wirama dan penulis sejumlah buku ini yakin, bahwa untuk memahami Hindu secara komperhensif, maka harus bisa dan paham tentang bahasa Sansekerta. Tapi ia mengatakan, untuk menguasai bahasa Sanskerta, mengandalkan pendidikan bahasa Sansekerta di perguruan tinggi seperti sekarang, maka hasilnya tidak akan optimal.

Menurutnya, untuk menanamkan konsep dasar bahasa Sansekerta yang pokok bahasannya sangat luas dan kompleks, maka kita memerlukan sebuah pembelajaran yang datang dari tingkat mendasar dan dilakukan sedini mungkin. Ia menyarankan, sebaiknya bahasa Sansekerta ini diajarkan sejak anak-anak duduk di bangku sekolah dasar (SD). Pada tahap awal mungkin bisa diberikan semacam avagraha-nya saja terlebih dahulu. Misalnya dari kelas tiga 4 SD, dan bahasa Sansekerta ini diformat dalam bentuk muatan lokal, layaknya pendidikan bahasa Bali khusus untuk anak-anak Hindu.

Kemudian meningkat pada jenjang pendidikan SMP, maka mulai diajarkan tentang deklinasi dan sebagainya. Jika anak-anak sudah dapat menuliskan abjad yang terdapat dalam huruf Devanagari itu, maka untuk memperdalam tata bahasanya, tidaklah begitu sulit untuk dipelajari. Kemudian ketika anak didik sudah duduk di bangku SMA, maka mulailah kemudian menterjemahkan. Jika pendidikan bahasa Sansekerta ini dilakukan dengan tata cara demikian, maka sudahlah pasti, agama Hindu kita akan menjadi sebuah agama yang kental akan jati diri.

Jika kita hanya mengandalkan pendidikan bahasa Sansekerta yang didapat dari perguruan tinggi semata, maka tidaklah mendapatkan hasil yang optimal. Inilah yang menyebabkan agama Hindu kita secara pendidikan masih terbilang seperti tanaman kapu-kapu. Akarnya menggelantung di atas, tidak turun ke bawah. Maksudnya adalah untuk memberikan pendidikan Hindu dan menggali nilai Veda, maka dasarnya kita harus memahami bahasa Sansekerta terlebih dahulu. Dan bahasa ini sebaiknya diajarkan sejak dini, dengan format demikian.

Jika pemerintah daerah Bali, serius menanggapi sebuah isu hangat yakni “Membangun Bali sebagai sebuah pulau pendidikan Hindu”, maka sebaiknya dicanangkan untuk membentuk sebuah kurikulum muatan lokal Bahasa Sansekerta untuk anak didik Hindu. Jika kita mulai berpikir untuk ke arah sana, maka untuk tenaga pendidik, maka kita tidak akan kekurangan. Jebolan perguruan tinggi Hindu, baik negeri dan swasta, rasanya sudah mampu untuk mengajarkan anak didik dari tingkat SD, baik avagraha dan SMP serta SMU untuk materi deklinasi dan sebagainya.

Setelah duduk di perguruan tinggi, maka di sanalah mulai penelahaan sastra Hindu, yang murni berbahasa Sanskerta, baik Sansekerta Vedic, Sansekerta Klasik dan Sansekerta Archipelago. Peran serta pemerintah yang sudah diberikan mandat otonomi, yang bermuara pada keadaan lokal genius setempat, seharusnya memberikan kekuatan dan angin segar membangun Bali sebagaimana mestinya, sebab Bali mayoritas Hindu, kita harus memiliki basis pemertahanan dari sudut sastra dan sumber tertulis.

Surada menyesalkan, kenapa umat Hindu di Indonesia tidak memiliki SD Hindu, SMP Hindu dan SMA Hindu yang mapan, seperti yang dimiliki oleh umat Islam. Jika kita berpikir untuk memuka sebuah kursus bahasa Sankserta, maka itu sifatnya hanya sementara, maka semestinya melalui jenjang sekolah Hindu formal. Apalagi sebuah kesadaran untuk belajar bahasa ini, yang tegolong sangat luas dari sudut pokok bahasan, memang terkesan membuat orang-orang Hindu enggan belajar. Kembali lagi, hal ini adalah sebuah ksadaran, dan jika kita kembali pada kesadaran untuk membangun Hindu menjadi sebuah agama yang holistik di Bali dan Nusantara, rasanya membangun sebuah kurikulum bahasa Sansekerta untuk anak didik SD, SMP dan SMA, tidaklah begitu sulit untuk dilakukan.

Berbeda halnya dengan pendidikan bahasa sansekerta untuk diperguruan tinggi, yang memang mengkaji secara mendalam, maka disanalah letak pendidik dengan gelar Master dan Doktor diperlukan. Jika hanya untuk memberikan dasar-dasar pokok bahasa Sankserta, maka cukup jebolan dari sarjana saja yang mengajar. Kurikulum inilah yang perlu dibentuk dengan seksama, sebab menurut Drs. I Made Surada, MA, untuk memepelajari Hindu, maka bahasa Sansekerta adalah wajib, dan untuk itulah pendidikan bahasa Sansekerta harus diberikan sedini mungkin.

Agus Budi Adnyana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar