Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Rabu, 18 Januari 2012

Calon Tuhan

Page Paradev-Jakarta


Di antara semua jenis calon yang ada di dunia ini, calon Tuhan adalah yang paling Tinggi. Mungkin judul itu tampak bombastis, tapi itu tidak mengada-ada. Merupakan fakta bahwa penganut Hindu sebagian memang menginginkan menjadi Tuhan, dan sekarang mereka sudah merasa menjadi calon Tuhan, atau minimal bakal calon Tuhan.

Sekarang, sebagian calon Tuhan ini sangat aktif di forum-forum diskusi dunia maya. Mereka seperti mendapat penyaluran akan kebanggaannya akan “tattva” yang dipahaminya. Pengalaman saya, beberapa kali saya terlibat “kontak senjata” dengan mereka (berdebat). Lucu juga, ketika mereka sudah terpojok mereka membuat olok-olok bahwa saya ini “haker”, jongos, budak, atau kacungnya Krishna. Mereka tertawa, saya juga tertawa.

Saya tidak pernah merasa keberatan dengan istilah-istilah itu karena saya menerima kenyataan bahwa sejatinya saya adalah pelayan. Saya adalah Jiva. Dalam kedudukan dasarnya, Jiva adalah pelayan kekal Tuhan. Pelayanan kepada Tuhan adalah “dharma” sang Jiva sehingga ia disebut makhluk hidup (living entity), seperti halnya rasa manis adalah dharma suatu benda, sehingga ia disebut gula, atau rasa asin adalah dharma dari benda, sehingga ia disebut garam. Dikatakan bahwa jivera svarupa haya krsna nitya dasa, kedudukan dasar sang Jiva adalah sebagai pelayan kekal Tuhan Sri Krishna (CC Madya-Lila 20.108). Ekale isvara krsna ara saba bhrtya, pengendali hanya satu yaitu Tuhan Sri Krishna, semua yang lain adalah para pelayan-Nya (CC Adi-Lila 5.142).

Kenyataan kalau Jiva adalah pelayan Tuhan inilah yang paling tidak bisa diterima oleh sebagian orang. Mereka keberatan untuk menjadi pelayan. Mereka tidak mau menjadi bawahan. Mereka ingin menikmati sebagai penguasa. Padahal “pembangkangan” inilah yang menjadi pangkal penderitaan di dunia material.

Penyebab Sang Jiva Jatuh ke Dunia Material

Sang Jiva jatuh ke dunia material karena salah menggunakan kebebasan kecil/sedikit yang ada padanya. Kebebasan dimaksud adalah kebebasan memilih, yaitu melayani Tuhan atau tidak. Ia iccha: ingin menikmati sendiri tanpa bergantung kepada Tuhan Krishna. Ia dvesa: tidak suka melayani Tuhan Krishna di dunia rohani. Maka ia sarge yanti: di tempatkan di dunia material agar bisa (secara palsu) merealisikan cita-citanya menikmati dan berbahagia sendiri (Bg.7.27, iccha dvesa samutthena dvan dva mohena bharata...sarge yanti parantapa). Ia na bhajante: tidak mau mengabdi kepada Tuhan Krishna dan avajananti: tidak senang kepada-Nya, dan ingin hidup terpisah dari-Nya. Maka sthanad bhrastah patanti adhah, ia jatuh dari kedudukannya sebagai pelayan Tuhan di dunia Rohani dan terus masuk ke dunia material (Bhag.11.5.3).

Rupanya penyebab dari bermunculannya calon Tuhan ini adalah dua adagium yang sangat populer, yakni: Aham Brahmasmi yang mereka maknai aku (Atman) adalah Brahman (Tuhan Yang Maha Esa); Brahman Atman Aikyam bahwa Brahman dan Atman itu Tunggal. Oleh karena itulah mereka ingin moksha (menyatu dengan Tuhan).

Jiva dan Tuhan adalah Sama dan Berbeda

Jiva dan Tuhan sama dan berbeda? Iya, dalam hal kualitas, Jiva dan Tuhan adalah sama-sama merupakan “unsur” Ketuhanan, tetapi secara kuantitas berbeda. Jiva hanyalah percikan terkecil dari Tuhan yang yang walaupun kekalnya sama dengan Tuhan, tetapi selamanya tidak akan pernah menjadi Tuhan.

Tuhan memiliki tiga jenis tenaga atau shakti yaitu cit-shakti, tatastha-shakti, dan Maya-shakti. Jiva dapat dipengaruhi oleh Maya, tetapi Tuhan tidak. Walaupun Jiva dapat dipengaruhi Maya, tidak ada komposisi material di dalamnya. Sekalipun Jiva dapat jatuh dalam pengaruh Maya, namun Jiva sama sekali bukan hasil ciptaan Maya-shakti. Karena itulah Jiva dikatakan berbeda dengan Maya. Demikian pula Jiva juga tidak sama dengan Tuhan (dalam hal kuantitas). Dia tetap berbeda dengan Tuhan bahkan dalam tingkat pembebasan sekalipun.

Jiva sebagai percikan-Nya ada dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya. Para Jiva ini memiliki jati diri masing-masing yang juga kekal. Antara Jiva satu dengan Jiva yang lain adalah berbeda. Begitu pula Maya yang mengkhayalkan juga beraneka warna karena merupakan pantulan yang terputar balik dari tenaga rohani yang asli yang beraneka warna. Dengan demikian ada perbedaan antara energi duniawi yang satu dengan energi duniawi yang lain. Perbedaan ini diuraikan oleh Madhvacarya sebagai titik tolak dari dvaita-vedanta.

Jika Maya tidak ada urusan dalam pembentukan komposisi dari Jiva, apakah cit-shakti yang menciptakan para Jiva? Bukan! Cit-shakti merupakan shakti yang sempurna dari Tuhan, sedangkan para Jiva terwujud dari Jiva-shakti Tuhan. Cit-shakti adalah kekuatan yang lengkap dan sempurna, cit-shakti juga dikenal sebagai svarupa-shakti, energi yang mewujudkan ketuhanan dari Tuhan Sendiri, sedangkan Jiva-shakti adalah manifestasi kekuatan yang tidak lengkap.

Para Jiva dibagi menjadi dua kategori. Golongan pertama adalah nitya-mukta atau nitya-siddha yang terbebas secara kekal dan yang kedua adalah nitya-baddha yang terikat secara kekal. Mereka yang tergolong dalam nitya-mukta atau nitya-siddha selalu sadar akan Krishna dan mereka mengabdi dalam pelayanan cinta bhakti rohani kepada kaki padma Tuhan Yang Maha Esa. Mereka adalah sahabat-sahabat dan pelayan kekal Tuhan. Mereka menikmati kebahagiaan rohani yang kekal dalam melayani Tuhan.

Selain Jiva-Jiva yang terbebaskan selamanya, ada Jiva-Jiva yang terikat yang selalu berpaling dari pelayanan rohani kepada Tuhan. Mereka terus-menerus terikat di dunia material ini dan mereka menjadi sasaran atas kesengsaraan material, yang terbawa bersama dengan penerimaannya atas berbagai bentuk badan jasmani dalam keadaan yang bagaikan neraka. Karena menunjukkan sifat penentangan yang mereka miliki terhadap Kesadaran Tuhan, Jiva-Jiva yang terikat dihukum oleh jahatnya tenaga luar yang mengkhayalkan atau Maya. Mereka tersiksa oleh penyakit, usia tua, kematian, sikap permusuhan dari makhluk hidup lainnya dan bencana-bencana alam dan lain sebagainya.

Dengan memahami kedudukan dasar Jivatma sebagai bagian percikan kecil dari Tuhan, maka dapat pula dimengerti bahwa kecenderungan alamiah dari bagian adalah melayani keseluruhannya (Tuhan). Dalam sebuah lingkaran: ada bagian tengah, pinggir, dan luar. Apabila Atman berada di posisi pinggir (marginal), maka dia akan cenderung tertarik ke salah satu sisi, sisi rohani (dalam) atau sisi khayal (luar). Dalam sisi rohani dia akan berlindung kepada cit-shakti, dan membuatnya kebal dari kedukacitaan maupun kesukacitaan yang bersifat semu. Di wilayah ini jati diri dari sang Jiva sepenuhnya berada dalam kesempurnaannya sebagai dasa (pelayan), hamba, yang berhubungan dengan Tuhan dalam berbagai bentuk ikatan cinta kasih (mohon istilah pelayan atau hamba ini jangan dibayangkan seperti budak, jongos, kacung, atau TKI di luar negeri). Bila dia memilih sisi khayal (luar) atau sisi duniawi maka dia akan menerima sebentuk tubuh material yang menyelubungi jati diri sejatinya. Di sisi ini karma, hukum sebab akibat akan mengikatnya. Ia akan berjuang keras hanya demi mendapatkan setitik kesenangan yang bersifat sementara.

Jalan karma memberikan seseorang kesenangan dengan perantaraan hukum sebab akibat. Kebahagiaan yang diperoleh tidak akan pernah kekal adanya, karena didasarkan atas pemahaman akan jati diri sejati yang salah. Jalan jnana atau yoga, mengantar sang Jiva sampai kepada pembebasan dari Maya, namun di sini dia terangkat sampai tingkat marginal. Pada keadaan pembebasan yang demikian, jati diri sejati sang roh diabaikan atau bahkan dilenyapkan (nirvana). Keadaan kekosongan, sunyata. Tetapi hal ini pun tidak kekal, karena sekali lagi dia dapat melihat kedua sisi dunia yang berbeda. Kemungkinan untuk jatuh kembali ke dalam alam Maya selalu ada. Hanyalah jalan bhakti yang dapat menempatkan sang Jiva dalam jati diri sejatinya yang kekal. Sehingga kesempurnaan tertinggi bagi sang Jiva hanya dimungkinkan dicapai melalui bhakti yang murni.

Sebagai penutup tulisan ini saya akan kutipkan sebuah komentar (pertanyaan) sahabat saya, Dasan Vrangarajan dalam sebuah forum diskusi sebagai berikut. (1) Jika moksa itu bersatu dengan Tuhan, apakah itu artinya saya akan kembali menjadi Tuhan? Jika iya, apa yang menyebabkan dulu Tuhan kok bisa jadi saya? (2) Jika tidak menjadi Tuhan, lalu setelah bersatu dengan Tuhan saya jadi apa? (3) Atman katanya percikan kecil dari Brahman. Nah, jika Atman=Brahman, mengapa disebut percikan-percikan segala? (4) Mengapa Brahman dulunya memercik-mercik segala cuma untuk membuat percikannya jadi satu dengan Dia? (5) Mengapa ada saya, anda, dia, mereka jika semua adalah satu dan sama dan nantinya juga menjadi satu?

2 komentar:

  1. saya sangat terkesan setelah membaca tulisan ini..

    BalasHapus
  2. pahami atma, atman dan Brahman yg esa: atma adalah jiwa pribadi manusia yg di simbolkan sbg pikiran yg diliputi nafsu ato ego, atman adalah Jiwa yg agung yg berada dlm hati sanubari manusia, atman jg sering disebut Brahman yg terbatas karena hanya mengurus mikrokosmos dr manusia n mrupakan bagian kecil dr Brahman yg esa. sedangkn Brahman yg esa ato tunggal adalah beliau yg berada di luar ciptaanNya. jd aham Brahman asmi adalah saat atma manunggal dgn atman ato Brahman yg terbatas, sedangkan Brahman atman aikyam adalah saat atman kembali ke Brahman yg esa moksa. karena tugas atman sudah selesai mengantar manusia ke tingkat kesempurnaan...

    BalasHapus