Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Kamis, 08 Desember 2011

Makna Filosofis Tembang Macapat

Samsubur

Dari sekitar 14 macam pupuh (nama tembang Macapat) di bawah ini, setelah kita renungkan, ternyata menggambarkan urutan siklus kehidupan manusia di jagad-raya ini, sejak pre natal (janin dalam kandungan perut ibu) hingga dicandikan (kembali ke asal-mulanya) di Kahyangan. Dan ma-ka-Hyang-an ring Wukir (berakir ditempat Tuhan di puncak guming), di atas awan berarak. Karena itu, menurut adat Nusantara, hingga sekarang banyak tokoh kita yang dibuatkan palereman/pasetran/pengebumian di atas bukit (gunung), termasuk Giri-bangunnya Suratinah (Bu Tien) dan Bapak Suharto mantan presiden II NKRI. Demikian juga raja-raja Jawa-Muslim di Imogiri Yogyakarta. Wukir (Giri = gunung). Jelasnya masing-masing nama pupuh Tembang Macapat itu sebagai di bawah ini.
(1) Pupuh Maskumambang, menggambarkan bahwa calon manusia (Mas) yang masih kumambang ( mengambang, mengapung) dalam bentuk janin/calon bayi di kandungan perut ibu kita masing-masing. (2) Pupuh Mijil (pamijil), ini menggambarkan bahwa janin yang sudah berupa calon bayi itu sudah waktunya mijil. Mijil itu artinya keluar, lahir menjadi bayi hidup. (3) Pupuh Kinanthi, ini menggambarkan kehidupan manusia sebagai Balita hingga usia anak-anak. Ia masih selalu dikanthi, artinya dibawa, di-sandhing, digendong ke mana-mana, diawasi secara cermat dan teliti, menuju remaja. (4) Pupuh Sinom, ini menggambarkan manusia sedang usia muda. Si anom (yang muda), manusia masa pemuda remaja dan masa adolence (pemuda pelajar/lajang). (5) Pupuh Asmaradana (Asmaradahana), ini menggambarkan kehidupan manusia yang sedang terbakar oleh api asmara. Dahana (api), asmara (cinta), bahkan seperti orang gila karena jatuh cintanya pada sesewang yang menjadi pujaannya. (6) Pupuh Gambuh, ini menggambarkan kehidupan manusia yang gila asmara tadi sangat perlu dinasehati, diberi petunjuk, didudukkan baik-baik oleh yang tua (dewasa berpikir), dinikahkan. Hal ini dalam bahasajawa disebut ang-gambuh-i. (7). Pupuh Dhandhang-gula, ini menggambarkan kehidupan manusia yang sedang menempuh berbagai suka-duka, haus, pahit-getir dan manisnya kehidupan berumah tangga. Dhandhang (haus/pahit) dan gula (manis/senang). (8) Pupuh Dhurma, ini menggambarkan kehidupan kita yang sangat membutuhkan ajaran Dharma/ darmo/durmo (agama), yaitu ajaran susila, upacara dan tattwa. Sehingga hidup kita menjadi berguna untuk negara, masyarakat, keluwarga dan dirinya. (9) Pupuh Pangkur, ini menggambarkan kehidupan kita nantinya sudah mungkur (pamungkur) (membelakangi/meninggalkan sifat duniawi). Kita sudah menuju hidup wanaprasta, urip mahas hing asepi, tansah nenepi hing kasepen, artinya hidup kita harus memikirkan ketenangan, selalu menyepi di tempat yang sepi. Di mana itu, ya di tempat-tempat suci, di pegunungan. Lebih tepat lagi dihati kita masing-masing. (10) Pupuh Megat-ruh, ini menggambarkan kehidupan kita yang ruh (roch/jiwa-nya) telah pegat (putus) alias mati. Dalam Bahasa Jawa, megat artinya mutus, putus. (11) Pupuh Pucung, ini menggambarkan bahwa badan jasmani kita yang sudah mati itu dipucungi (dipocongi), artinya sudah dibungkus kain. Besar buah pohon Pucung rata-rata sebesar batok kepala kita orang. Namun isi biji buah pohon Pucung (Pakem) ini sangat lezat untuk sambal/kecap utamanya bila pandai mengolah. Ini menggambarkan walau kita sudah meninggal, mestinya isi otak kita masih bisa dinikmati oleh anak cucu (rakyatnya), mungkin berupa ide brilian yang telah dituangkan dalam bentuk artikel, ajaran, berbagai ilmu dalam bentuk berbagai gagasan yang tersimpan dalam buku, disk, kaset, dan sebagainya. (12) Pupuh Panjang-hilang, ini menggambarkan bahwa perginya ruh kita cukup lama (panjang). Baik ia di Swarga ataupun neraka. Ini dalam arti, sebelum ia menitis (menjelma) pada calon janin baru. Jadi ini kehidupan jiwa manusia di alam sana. (13) Pupuh Mahisa-langit (di Serat Sri Tanjung), ini menggambarkan kehidupan ruh (jiwa) manusia yang telah menyatu dengan Penciptanya yang Maha-esa di langit. Inilah ajaran Manunggaling kawula lan Gusti dalam karya-sastra Jawa/Nusantara sejak dulu. (14) Pupuh Wukir (di Serat Sri Tanjung), ini menggambarkan kehidupan ruh manusia digambarkan berada di tempat-tempat yang tinggi hing Wukir (di Gunung/bukit). Menurut Hinduisme, Wukir (acala/Hardi/gunung) adalah suatu tempat rekreasi yang suci, udaranya bersih, hawanya sejuk. Karena itu tempat suci agama Hindu banyak dibangun di daerah pegunungan. Kata ruh wus makahyangan ring wukir artinya Jiwa manusia yang sudah tinggal di gunung.
(2)
Demikian runutnya pupuh-pupuh Tembang Macapat Jawa itu dalam menggambarkan urutan siklus kehidupan manusia, hingga di dunia sana. Karena itu sangat tidak mungkin ide penciptaan jenis pupuh tembang Macapat berfilosofis bertingkat akan tingkatan kehidupan manusia itu dari beberapa orang yang berbeda ajaran agama yang mendasar. Paling tidak beda pencipta, namun masih se ide atau antara guru dengan siswanya, seperti Empu Sedhah dengan Empu Panuluh dalam menulis karya-sastra Kekawin Bharata-yudha. Begitu pula penulis Serat Dewa Ruci, Sudamala dan Sri Tanjung, kiranya masih se-ide bertalian guru-siswa.
Kapan Tembang Macapat Diciptakan

Menurut sejarah, Sunan Bonang (berdarah China) dan Sunan Giri (berdarah Arab) pada 1479 M sebaya berusia 30 tahun (Slamet Mulyana, 1968:109). Sedang Sunan Kudus, Ja'far Sodiq turunan Arab, sejak 1521 - 1546 M sebagai panglima perang kerajaan Demak telah tewas dalam perang suksesi di Demak oleh tentara Arya Panangsang, Adipati Jipang di Jateng. Sunan Muria putra Gang Si Cang (Sunan Kalijaga) di Jateng utara. Sunan Kalijaga itu ikut mendirikan Mesjid Demak, 1481 M (1968:104). Sunan Drajad (Sarifudin) di Sedayu-Gresik adalah putra Raden Rahmad (Bong Swi Hoo) asal Cina Campa-Vietnam. R. Rahmad (Sunan Ampel-dhenta) di Surabaya ini berperan antara 1445 - 1478 M (1968:76).

Sedangkan Tembang Macapat menurut prof. DR RMNg Poerbatjaraka muncul sejak masa bahasa Jawa-tengahan muda, masa Kerajaan Majapahit. Beliau meneliti bahwa Serat Dewa Ruci merupakan karya sastra peralihan antara karya-sastra Tembang Gede ke Tembang Macapat. Sedang urutan karya-sastra setelah Serat Dewa Ruci adalah Serat Sudamala (suda = mengurangi; mala = dosa) yang berfungsi sebagai pustaka pangruwatan diri Nakula-Sahadewa oleh Dewi Durgha. Serat Sudamala inilah yang kepertama kali menggunakan pupuh-pupuh Tembang Macapat di atas tadi. Penyusun Serat Sudamala (..?) adalah cendekiawan dusun (pedalaman). Ini berdasarkan logat tata bahasanya (1954:79).
Bandingkan dengan bangunan Candi (tempat suci Hindu) yang memuat cerita Serat Sudamala dengan pahatan panel-panel dindingnya. Utamanya Candi Tegawangi di Kabupaten Kediri dengan prasasti tahun Saka 1292 = 1370 M dan Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu, Kabupaten Karanganyar Jateng, berprasasti tahun Saka 1362 = 1440 M (Sri Mulyono, 1978:159). Sudah pasti para tokoh cerita Serat Sudamala yang terukir pada kedua Candi itu, tahun pengukirannya lebih muda daripada tahun penyusunan (penerbitan) Serat Sudamala sebagai sumber cerita acuannya.

Untuk menentukan tahun pencetusan (penulisan) ide Tembang Macapat itu mestinya ya tahun penciptaan (penerbitan) Serat (pustaka) Sudamala itu. Hal ini yang hingga hari ini, belum penulis dapatkan. Namun untuk sementara waktu, tahun prasasti pengukiran Ceritera Sudamala pada Candi Tegawangi, 1370 M (pemerintahan Raja Hayam Wuruk Sri Rajasanagara, 1350-1389 M) sudah bisa sebagai pedoman. Jadi cerita Sudamala tersusun (tercipta) sudah jelas jauh sebelum tahun 1370 M itu. Ini berarti, bahwa berbagai pupuh Tembang Macapat sudah tercipta sebelum 1370 M itujuga oleh penyusun Serat Sudamala. Tahun prasasti dua candi Hindu-Jawa itu saja sudah cukup kuat untuk membantah klaim penyusun buku LKS Sejarah SMP di atas. Ini pun sekaligus membantah klaim Solichin Salam (1972:23-53) sebagai penulis buku “Sekitar Wali Sanga“ terbitan Menara Kudus. Buku ini yang temyata sebagai buku sumber pokok penulisan LKS Sejarah tersebut di atas.

Kesimpulan kita. Berbagai pupuh Tembang Macapat itu mengarah pada penulis (pencipta) Serat Dewa Ruci (Empu Siwamurti), Serat Sudamala (..?) dan Serat Sri Tanjung (Empu Citragotra) yang se-ide. Berbagai pupuh Tembang Macapat itu muncul pertama pada jaya-jayanya Kerajaan Majapahit, sebelum tahun 1370 M. Tembang Macapat bukan ide karya-sastra para Sunan di atas, justru sebaliknya para Sunan itu tinggal memakai untuk kepentingannya.

Dengan demikian seyogyanya PHDI sesegera mungkin mencari untuk mendapatkan karya-sastra Nusantara: Serat Dewa Ruci (yang asli), Serat Sudamala dan sejenisnya. Kemudian sesegera mungkin diterbitkan bahasa aslinya dengan komentar ilmiahnya. Karena dua pustaka ini sangat penting sebagai tonggak karya-sastra Hindu Nusantara yang bermutu tinggi. Oleh itu, maka tidak aneh bila ada pihak lain yang mengklaim atau menjiplak, mem-plagiat (mencuri)-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar