Ida Ayu Tary Puspa
Perubahan pola hidup masyarakat dari agraris ke industri telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat Bali. Zaman dulu melaksanakan ritual semakin lama semakin baik karena hubungan kekerabatan maupun sosiologis dengan keluarga maupun masyarakat menjadi sangat berarti. Pada masa itu untuk membuat upakara atau banten dikerjakan dengan anggota masyarakat dengan cara metulung atau ngoopin, namun kini telah terjadi perubahan dengan membeli atau memesannya pada griya atau sarati karena masyarakat menginginkan yang serba praktis dan simpel. Masyarakat cukup menyerahkan uang dan banten apa yang dipesan lengkap dengan yang muput.
Hubungan antara griya (Siwa) dengan masyarakat (sisya) tidak lagi dalam hubungan kelas seperti yang diisyaratkan oleh Marx, tetapi lebih pada pertukaran sosial ekonomi
Menurut Sujana (1999: 55) kini masyarakat Bali semakin ketat dalam memakai dan mengatur waktu karena kegiatan-kegiatannya semakin kompleks dan bentuk ngayah dalam desa adat, tidak lagi beberapa hari, tetapi kini cukup satu atau dua jam saja. Perempuan-perempuan tidak lagi seluruhnya gotong royong membuat sajen, namun cukup membeli saja dari sekelompok warga yang ahli tentang sajen. Pendekatan-pendekatan secara ekonomis semakin mengedepan dalam masyarakat. Ini berarti industri pariwisata telah menciptakan sesuatu ”power of market” dengan perwujudan posisi materi dan uang yang sangat penting.
Upakara sebagai simbol persembahan merupakan produk yang dibuat oleh Raja dengan para Pedanda untuk melanggengkan relasi-relasi kekuasaan terhadap rakyat. Lebih-lebih pada zaman dulu konsep relasi/hubungan antara Pedanda (Siwa) dengan masyarakat (sisya) sangat kuat karena sampai Tirtha Pengentas pun harus memohon pada Pedanda. Hal inilah yang diwariskan sampai sekarang dalam ritual apa pun di Bali akan memakai upakara berupa banten yang selalu dihubungkan dengan alam atas (Dewa) dan alam bawah (Bhuta). Begitu pun dewasa ini karena Bali menjadi Daerah Tujuan Wisata bagi wisatawan domestik dan asing, menyebabkan ritual dengan upakara berupa banten tetap dilanggengkan demi live culture yang dapat dijadikan daya tarik wisata. Salah satu identitas atau ciri khas kebudayaan Bali adalah penggunaan banten sebagai sarana upacara.
Dengan adanya perubahan pola kehidupan, karena faktor budaya instan menginginkan banten yang praktis, hemat, dan cepat yang dapat dibeli pada sulinggih di griya maupun pada sarati (tukang banten). Sebuah evolusi telah terjadi di mana manusia Bali sudah berorientasi ke material yaitu mengabdi pada benda demi mengejar wibawa dan wabah pencitraan dengan hanya melihat kulit luar saja dan kurang memiliki pendalaman rohani.
Dalam melaksanakan upacara , maka akan ada keterlibatan sulinggih, yaitu rohaniawan Hindu yang telah didiksa dan tergolong Dwijati. Pelaksanaan upacara Diksa ini bersifat mengubah sta¬tus yang bersangkutan setelah melalui disiplin hidup yang cukup ketat. Ikatan disiplin pertama-tama yang patut dilaksanakan dikenal dengan istilah Catur Bandana Dharma, artinya empat ikatan disiplin kehidupan kerohanian, seperti.Amari Sasana artinya meninggalkan tugas dan kewajiban semula (saat sebelum mediksa) dan mengganti dengan sasana kawikon, yaitu tugas dan kewajiban serta disiplin kehidupan seorang Pandita. Contohnya Tan wenang adol atuku (tidak boleh jual beli) dan sebagainya.
Dengan memperhatikan Catur Bandana Dharma di atas, apabila telah terjadi jual beli banten, maka pandita Brahmana sudah keluar dari mind set mereka waktu ditahbiskan. Bahkan pandita brahmana telah pula memiliki profesi lain, yaitu sebagai Waisya varna karena telah menjadi saudagar/pedagang.
Keterlibatan sulinggih Istri sebagai Tapini yang menyediakan banten bagi yang membeli dibantu oleh tukang banten (serati) menjadikan bisnis banten cukup menjanjikan dan memiliki prospek yang cerah. Tukang banten pun digaji oleh griya dengan honor harian berkisar Rp 25.000 per hari. Apabila sulinggihnya baik hati, maka kepada mereka pun sering diberikan bonus kalau keuntungan yang diperoleh sulinggih cukup besar dan ada pula yang menerapkan mengajak mereka untuk bertirta yatra bahkan sampai ke Candi Ceto di Jawa.
Penguasa ekonomi telah mampu memainkan perannya untuk memenuhi hasrat manusia Hindu/Bali dalam melaksanakan upacara. Produk upacara menjadi alat komoditi bersama-sama dengan komoditi lainnya yang dibungkus dengan tujuan membantu masyarakat atau umat Hindu yang sedikit memiliki waktu dalam melaksanakan upacara. Dengan menyerahkannya kepada sulinggih dalam sebuah griya tentu dengan konsensus konsumen menyerahkan uang yang ternyata telah dihegemoni sulinggih masalah harga. Sejatinya kalau terjadi jual beli berarti dalam hal ini sulinggih adalah saudagar, tetapi pembeli tidak bebas menentukan pilihannya dalam upacara, padahal pembeli telah menyerahkan sejumlah uang kepada beliau.
Membicarakan ideologi pasar atau selera konsumen, erat kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Pada masa sekarang, apa pun produk yang dihasilkan, termasuk produk upacara yadnya, keinginan atau ideologi pasar memegang peran penting. Ideologi pasar menurut Atmaja (2005:2003) yang disebutnya ’Agama Pasar’ sebagai salah satu sistem kepercayaan yang mengagungkan pasar sebagai media utama bagi pemenuhan segala kebutuhan manusia. ’Agama pasar’ tujuannya mengalihkan modal budaya, upacara ngaben menjadi modal ekonomi.
Pada era globalisasi ini, modal ekonomi sangat penting karena bersamaan dengan memuncaknya ’Agama Pasar’, maka manusia terjerat pada budaya konsumsi, budaya tontonan (penampilanisme, wajahisme), hedonisme, dan materialisme. Semuanya itu bergantung pada uang karena apa pun yang mereka konsumsi lewat pasar mutlak memerlukan uang (Atmaja, 2005:124).
Marx memberi makna bahwa melalui kerja dihasilkan suatu produk dan apa pun yang diproduksi untuk diperjualbelikan. Produk kerja yang dibuat bukan untuk digunakan, tetapi untk diperjualbelikan. Sebagai sebuah komoditas, produk tidak hanya penting untuk berguna, tetapi juga berdaya jual. Nilai dan nilai guna suatu benda adalah sisi kembar dari komoditas yang saling berlawana.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan, contoh produk yang dihasilkan sebuah Griya adalah upakara yadnya berupa banten saraswati sekalian melaspas pelinggih dari sebuah instansi pendidikan. Oleh karena memakai Paduraksa sebanyak 30 buah harga banten tersebut adalah Rp 60.000.000,00 . Pedanda menyiapkan upakara sesuai pesanan konsumen, kalau pemesan meminta dibuatkan kajang untuk upacara ngaben, maka akan dibuatkan, mereka nunas banten prayascita juga akan dibuatkan. Semua pesanan akan disampaikan oleh konsumen hanya keputusan tetap ada pada Siwa, upacara yang bagaimana dengan upakaranya yang akan dijalankan oleh si pemesan. Umat Hindu maupun sisyanya yang akan nunas banten akan ditentukan oleh Pedanda termasuk Pedanda istrinya. Seperti prayascita ada yang berlabel Rp 200.000
Untuk melaksanakan upacara ngaben dapat melakukannya dengan membeli dimana paket upacara ngaben pranawa seharga Rp 15.000.000 sedangkan ngaben ngwangun harga Rp 60.000.000. Harga itu adalah di sebuah Griya di Sanur, baik untuk sisya ataupun masyarakat umum. Kalau di Griya yang lain harga ngaben ngwangun ada yang memasang tarif sama, namun ada pula untuk ngaben pranawanya seharga Rp 30.000.000 Hal ini memperlihatkan hubungan Siwa sisya yang kaku karena sisya tidak dengan leluasa dalam melaksanakan upacara yang dilakukan kalau disesuaikan dengan kemampuannya, karena Siwa menerapkan sesuatu ketentuan ini boleh itu tidak boleh. Pada diri sisya ada ketakutan kalau pihaknya yang menentukan Siwanya tidak mau membuatkan banten apalagi akan lunga muput. Ada pula umat nangkil secara rombongan dari penyungsung Pura Dalem di sebuah desa pakraman pada sebuah griya yang akan nunas banten melasti lengkap dengan caru panca rupa. Pendistribusian dilakukan oleh krama tersebut dengan mengambil sendiri bebantenan di Griya itu. Dari griya hanya menata penempatan banten tersebut dan harga banten tersebut Rp 40.000.000.
Kalau dilihat ternyata komodifikasi telah merambah tubuh privat yang bernama agama. Bahkan bisnis banten sangat cerah. Griya yang memiliki sulinggih menerapkan bisnis ini. Griya tidak pernah sepi order, namun terdapat perbedaan harga banten lintas kabupaten. Seperti misalnya untuk di daerah Tabanan agak murah karena bantennya kecil-kecil, termasuk sampyan yang boleh kering, terkadang tidak dilengkapi dengan buah dan jajan pasar pada masing-masing banten, apalalagi tidak disertai dengan gebogan maupun sampyan jerimpen yang banyak menghabiskan busung.
Bahkan kalau menerima order banten pemlaspa,s sampian gantung dan ceniga-nnya pun kecil-kecil dan dihias dengan ornamen dari plastik. Hal ini mirip dengan keadaan di Gianyar. Sedangkan di Denpasar dan Badung banten agak mahal, karena semua serba bungah dan sampyan besar-besar dari busung yang masih segar dilengkapi dengan gebogan, jajan yang serba enak bahkan sampyan gantung yang besarnya seperti sampian penjor dan ceniga pun yang menjuntai panjang lengkap dengan ornamen alami.
Harga banten bervariasi untuk banten ngodalin dengan pulagembal bisa sampai Rp 12 juta, banten mebayuh oton Rp 3,5 juta, banten mesangih Rp 7,5 juta, banten upacara sama wartana Rp 7 juta.
Tweet |
Perempuan-perempuan tidak lagi seluruhnya gotong royong membuat sajen, namun cukup membeli saja dari dagang banten di Bali yang ahli tentang sajen.
BalasHapusSetuju. Karena perempuan2 skrng jg dituntut mencari nafkah demi kelangsungan hidup bersama:)
Berdasarkan pengalaman saya di Tabanan akhir-akhir ini, saya membandingkan harga banten yang dipasang tarif di website, blogspot, dsb, itu sudah termasuk keuntungan 2-3 kali lipat dari biaya pokok. Sebagai contoh:banten pemlaspas apabila diupahkan bekerja dengan tukang/buruh ongkosnya sekitar Rp 600.000,- biaya material sekitar Rp. 700.000,-. Jadi ada Griya yang menjual banten pemlaspas hanya Rp. 1.500.000,- dan banten mesangih/mepandes Rp. 2.500.000,-. Harga ini lebih harmonis karena Griya tidak memasang tarif seperti pebisnis. Bahkan dengan pola bergotong-royong maka biaya itu akan menjadi semakin ekonomis. Para umat yang rasional tentunya akan menyesuaikan diri. Demikian semoga ada manfaatnya. Salam, Made Sudana.
BalasHapus