Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 24 Mei 2011

Etiskah Berbisnis Banten?

I Nyoman Tika

Oh Tuhan yang Maha mengetahui, yang memberikan rasa dan pengetahuan agung pada hamba untuk menyadari betapa pendahulu hamba arif nan bijaksana. Dalam kisi hati yang sepi dari karya , dalam kekeringan dan kepongahan yang dalam, hamba berdoa, dari vibrasi hati ini, hamba lantunkan dawai-dawai puja hrydayam puspam pada Maha Sri Empu Lutuk, yang telah memberikan wahana memodrekan Sang Hyang Aji Reringgitan dalam wujud banten. Hamba sadar bahwa banten yang diwariskan hingga kami gapai dimasa ini adalah maha karya abadi untuk memuliakan Sang Maha Memberi. Hamba bersujud di bawah kaki mereka yang meneruskan ajaran suci ini, para bawati, tukang banten, para tapini yang dengan perasaan tak pernah lelah mempertahankan budaya pemujaan tanpa pamerih untuk membawa kebahagiaan dan harmonisasi semesta.

Banten adalah wujud dari sajian rasa, itu sebabnya umat Hindu di Bali dan Indonesia tak akan pernah lengkap kalau tidak menggunakan banten dalam setiap persembahyangannya. Suatu tindakan yang terlihat bodoh, namun juga sulit tergantikan dengan cara yang lain. Berbagai teori dan tindakan dilakukan oleh para cendekiawan Hindu modern, dengan alasan praktis, karena diuber oleh abad industri, sehingga sikap untuk menyederhanakan dan mereduksi banten, dengan berbagai tafsir ulang atas berbagai bentuk banten itu, tak pernah mampu menggantikannya di hati umat Hindu.

Di koridor itu, banten tidak tergantikan walaupun mantra telah lancar dan merdu dirapalkan oleh bibir dan hati. Mengapa demikian? Ada ajaran adi luhung yang saya peroleh dari sebuah Gerya, anak lingsir bertutur jernih tentang fenomena ini, bahwa orang Bali akan merasa lengkap bila empat hal mengikuti setiap derap langkah kerjanya, yaitu (1) teori, (2) praktek, (3) bukti, dan (4) rasa.

Ketika seseorang mampu berteori, terasa belum lengkap bila belum bisa praktek apa yang mereka teorikan. Dan merasa belum lengkap jika tak terbukti, dan terakhir merasa berguna kalau bisa dirasakan. Mencari orang yang kaya akan teori mudah, berbeda dengan mencari orang yang bisa mempraktekkan, diyakini akan lebih sulit. Apalagi membuktikan apa yang dipraktekkan, lebih sedikit, dan mungkin amat jarang karya yang dibuktikan itu dapat dirasakan oleh orang lain. Itu sebabnya rasa menjadi ujung perjalanan spiritual manusia Bali, sebut saja yang paling sederhana, canang sari sampai yang tingkat tinggi misalnya banten catur, adalah permainan rasa. Membuat banten adalah sebuah panggilan hati, di sana bercampur antara kecerdasan teoritis, pratek, bukti, dan rasa.

Di ranah inilah manusia Bali tidak puas kalau tidak ada sebuah karya, bukti, dan rasa dari kebaktian mereka. Untuk konsep inilah kita harus buat banten. Banten kemudian berkembang secara perasaan, yang sering kali jauh dari sastra dan sering tidak efisien, karena standar yang diterapkan ganda. Konsep inilah “banten“ menjadi sebuah ajang bisnis, yang bisa jadi sungguh menggiurkan. Celakanya, bisnis banten ini sering dimonopoli oleh segelintir orang, ditunjang oleh keengganan untuk membuat, karena tidak tahu dan juga karena malas. Lalu, berbinis banten etiskah? Apa yang menjadi standar ketika kita mengatakan bisnis itu etis? Jika bila benar dan etis tidak ada masalah untuk melakukannya?

Lalu, banten menjadi sebuah momok bagi sebagian umat Hindu, dituding cikal bakal kerepotan, juga dikatakan pemborosan. Itu semua hadir manakala kita lebih berkembang di zona teoritis, tuna praktek, jarang bisa buktikan karya, wajar kalau kita memasuki wilayah fragmatisme, untuk sekedar membijaksanai diri. Itu sebabnya, ranah banten menjadi sebuah komoditas, karena banyaknya permintaan? Ketika memasuk wilayah bisnis, etiskah bisnis banten itu? Etis atau tidak, berpulang pada konsep standarisasi yang harus dikenakan pada bisnis banten itu sendiri. Konsep standarisasi banten inilah, baik proses maupun yang membuat menjadi tolak ukur standar untuk mengatakan bisnis banten itu etis atau tidak. Alasannya adalah pembuat banten harus memiliki syarat-syarat tertentu? Konsep inilah belum dipahami oleh banyak kalangan di umat Hindu.

Meminjam konsep standarisasi bisnis yang etis dan sempat menjadi isu berkepanjangan di akhir tahun 1960-an sampai tahun 1970-an di Amerika Serikat (Rogene A. Buchholz, Business environment and public policy, implication for management, prentice-hall Inc, 1982 :82-100). Maka pengusaha banten hanya etika bisnis yang akan atau sudah dijadikan peraturan atau undang-undang yang menarik dikenakan bagi mereka para penjual banten, sebagai gambaran bahwa membagi perilaku bisnis yang tidak etis ke dalam lima kelompok objek atau sasaran pengusaha: pembeli dan penjual, kompetitor, pejabat government, assets dan lingkungan (Midian Simanjuntak (Kompas, 16 Sepetember 1989, h.5)

Pembeli dan Penjual Banten
Kalau konsep standar bisnis normal dipakai, maka berbagai perilaku yang dapat dianggap tidak etis terhadap customers (pihak pembeli banten dan penjual banten) adalah sebagai berikut: (1) Diskriminsasi harga (Price discrimination) (2) Penjualan suatu barang yang dikaitkan dengan penjualan barang lain yang sebenarnya tidak termasuk suatu kesatuan (Tying arrangement/contract) (3) Mengenakan persyaratan perjanjian dengan pembeli yang menyatakan, bahwa pembeli tidak akan membeli barang yang serupa dari kompetitor penjual. (Exclusive dealing) (4) Penetapan harga eceran minimm oleh produsen kepada pengecer (Price fixing) atau penetapan harga jual kembali kepada pembelinya (Resale price maintenance) atau produsen membatasi daerah penjualan penyalurnya, sehingga di antara sesama penyalurnya tidak terjadi kompetisi (Territorial restriction), (5) Praktik dagang yang menyesatkan atau menipu pembeli (Deceptive trade practices). Memperhatikan konsep ini maka transaksi jual beli banten belum sampai ke tataran ini. Mereka selalu percaya.

Kompetitor
Pada dasarnya tindakan yang tidak etis terhadap kompetitor dimaksudkan untuk mendapatkan posisi monopoli/monopsoni dengan ciri-ciri: perusahaan dengan monopoli akan mendapatkan keuntungan yang abnormal tinggi dengan harga jual tinggi dibanding dengan adanya kompetitor, kemampuan mendikte pasar yang dilakukan sekelompok atau satu perusahaan, keinginan untuk menguasai pasar dengan fair competition bukan free competition, selain perilaku tidak etis untuk menghancurkan kompetitor seperti:
Pertama, Dumping. Tindakan dumping dimaksudkan untuk merebut pasangsa pasar melalui penjualan dengan harga yang sangat rendah, biasanya di bawah biaya pokok. Perusahaan seperti ini bersedia menderita rugi untuk periode tertentu samapai mendapat pangsa pasar, akibatnya kompetitor lemah akan terdepak dari arena bisnis. Setelah kompetitor hilang barulah meningkatkan harga yang abnormal. Berlangsungnya perang harga (price wars) atau berubah menjadi kompetisi gorok leher (cut throat competition) dalam sautu industri merupakan gejala yang mengandung praktik dumping yang tidak etis ini.

Kedua, Concerted activities by competitors, yaitu aksi bersama dari beberapa perusahaan yang sebanarnya kompetitor. Misalnya pertukaran informasi harga. Perilaku ini semodel dengan group boycott yakni kelompok pembeli/penjual bersepakat untuk menolak untuk menuual kepada atau mebeli dari seseorang atau kelompok orang. Bentuk ekstrim lainnya seperti kartel.

Ketiga, Interlocking directorates. Seseorang menjadi anggota direksi dari dua atau lebih perushaan besar yang merupakan kompetitor, maka besar sekali kemungkinan perusahaan itu secara bersama memilik kemampuan berperilaku seperti monopolis/monopsonis.
Ada juga perilaku tidak etis terhadap pejabat government yaitu dengan penyogokan dan berkolaborasi untuk salah satu kepentingan penjual.
Standar Spiritual Hindu
Satu standar yang perlu diketahui oleh umat Hindu adalah banten adalah wujud persembahan yang suci. Kesuciannya ditentukan oleh peralatan /barangnya suci, pembuat dan proses pembuatannya harus suci sehingga menjadi persembahan sattwa. Penyucian itu dilakukan oleh pendeta Hindu. Penjual banten semestinya telah melalui proses penyucian (mewinten, mediksha, medwijati), sehingga persembahan itu bervibrasi baik
Kesimpulannya bisnis banten tetap etis bila syarat etis dalam bisnis modern terpenuhi ditambah dengan ‘kesucian para pedagang banten. Dan bahan yang digunakan serta proses pembuatannya juga suci, nampaknya begitu? Om nama Siwaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar