I Nyoman Tika
Radikalisme kembali mencuat di Indonesia terhadap kelompok agama. Negara seolah-olah membiarkan kejadian-demi kejadian yang mengoyak kedamaian dan kerukunan beragama di tanah air. Sekelompok orang hadir ingin menegakkan keperkasaannya untuk menegakkan kebenaran atas logika kelompok bukan atas logika-logika hukum negara. Celakanya negara terlambat (untuk tidak mengatakan diam) menyaksikan kekerasan-demi kekerasan hadir telanjang bulat dalam abad informasi saat ini. Apa penyebabnya? Lalu mungkinkah fenomena itu muncul akan muncul bagi umat Hindu?
Menurut Direktur International Crisis Group Indonesia, Sidney Jones (Kompas 17 Januari 2011), sesuai dengan hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa terdapat sejumlah faktor yang memicu intoleransi tersebut, antara lain, proses ekspansi ajaran agama pada kawasan yang tidak tepat, culture demokrasi yang berkaitan dengan kebebasan berekspresi setiap umat, kurangnya kontrol pemerintah pusat terhadap daerah, dan kurang tegasnya pihak kepolisian. Sadar atau tidak dimensi-dimensi itu yang membuat ekskalasi kekerasan terhadap penganut agama terus meningkat.
Kondisi ini memang benar demikian, pihak kepolisian berdalih minimmnya dana dan personil dalam menghadapi massa yang kian bringas. Hal ini memang bukan semata-mata kesalahan kepolisian, ini semua kelengahan berbagai elemen negara dan masyarakat terhadap arus globalisasi informasi yang bisa melahirkan bayi-bayi konflik. Bayi-bayi itu tumbuh menggerogoti fondasi kebersamaan. Saat ini kebersamaan dikonstruksi atas kebohongan dan janji-janji palsu, namun bukan berdasarkan conscience–colective intelektual dan peningkatan kapasitas pendidikan masyarakat. Kepura-puraan itu kerap melahirkan masyarakat yang apatis dan apriori.
Oleh karena itu, perlu disadari beberapa asumsi Smelser (1968 ) tentang kontruksi masyarakat dalam memilih perilaku. Masyarakat akan cederung menjadi sebuah gerakan fungsional membentuk kultur-kultur baru yang bisa jadi jauh dari akar kultur bangsanya. Pemikiran Smelser adalah, pertama, masyarakat kolektif memiliki dua aksi, yakni perilaku kolektif yang inkonstitusional-konvensional dan yang non institusional. Kondisi ini terus terlihat di tanah air, seiring menguatnya faham demokrasi. Dalam demokrasi, ada faham-faham awalnya tidak boleh muncul, kini semakin banyak ruang untuk bergerak. Misalnya faham radikalisme garis keras seakan bebas berekspresi. Jelas tampak, bahwa bisa dikatakan penyebaran kebencian untuk satu agama atau kelompok itu juga makin luas di Indonesia tanpa ada diskusi antara garis batas kebebasan berekspresi dan penghasutan kriminal.
Kedua, perilaku kolektif non-inkonstitusional merupakan tipe aksi yang tidak dibimbing oleh norma sosial yang ada, namun terbentuk untuk menghadpi situasi-situasi yang masih kabur. Kondisi ini sangat jelas di tanah air. Kelompok Ahmadiyah misalnya, secara negara di kelompok tersebut dilarang atau tidak, belum ada kepastian hukum dari negara. Namun sekelompok orang telah berlaku secara membabi buta, seakan-akan kelompok itu telah bersalah, kalau bersalah terhadap apa bersalah? Dan, siapa yang harus menindak, kelihatan negara tidak mengontrol dengan tegas kondisi ini. Negara telah membiarkan pelanggaran HAM terjadi.
Ketiga, situasi-situasi yang kabur ini harus dipahami sebagai keruntuhan sosial, baik karena runtuhnya agen kontrol sosial maupun karena ketidaklayakannya pengintegrasian normatif masyarakat karena adanya perubahan-perubahan struktural, yang sering tidak dipahami masyarakat, semisal ganti menteri ganti peraturan. Ketika itu terjadi keruntuhan wibawa negara tak terelakkan. Keruntuhan agen sosial saat ini tidak hanya terjadi di Indonesia, juga di negara lain karena akibat globalisasi. Misalnya, negara belum mampu secara sistematis mengatasi menurunnya intoleransi, itu memang gejala global, mungkin karena terbawa situasi politik. Masyarakat seolah-olah tidak dapat membedakan mana yang merupakan urusan agama dan mana yang bukan. Urusan politik, ekonomi, keamanan, dan pertahanan yang karut-marut menjadi pemicu intoleransi tersebut. Terkadang, masyarakat membawa-bawa agama dalam urusan politik, ekonomi, keamanan, dan pertahanan, yang muncul ke permuakaan memicu konflik horisontal.
Keempat, ketegangan-ketegangan, ketidakpuasan, rasa frustasi dan agresi yang dihasilkannya mendorong individu untuk membentuk perilaku kolektif. Di tanah air, banyak faktor penyebab munculnya masalah di atas, karena kontek hubungan antarumat beragama berkaitan dengan hubungan kepentingan, politik, ekonomi, sosial, budaya, tidak semata-mata karena agama. Masyarakat mengalami dislokasi yang menyeluruh karena ketimpangan yang semakin besar.
Kelima perilaku kolektif yang non konstitusional memiliki sebuah siklus hidup, terbuka terhadap analisis sebab-akibat, yang bentuknya bisa mulai dari aksi massa yang spotan sampai dengan pembentukan gerakan sosial dan publik. Bagi umat Hindu belum banyak yang melahirkan fenomena pada konsep ini di tataran negara. Masalah yang muncul bersifat lokal peran Parisada sering menetralisir untuk melunakkan ke arah kondisi pro penguasa, namun saat ini tokoh Hindu pusat telah berani bersikap untuk ikut memberikan tekanan moral pada pemerintah SBY dengan ikut menandatangi pernyataan “Pemerintahan Bohong.”
Kelahiran dan kematangan gerakan sosial, dalam siklus hidup ini, berlangsung melalui proses –proses komunikasi, seperti penularan dari satu pihak ke pihak lain, gosip, reaksi yang tak berujung pangkal (circular reaction) dan difusi. Di tataran inilah umat Hindu mesti turut mengambil peran agar radikalisme juga tidak mengenai umat Hindu, dan juga tidak memberiarkan dirinya ditumbuhi anasir-anir radikal dalam tubuh Hindu.
Oleh sebab itu, maka untuk beragama dalam konteks negara saat ini, maka peran kita semua terus ditingkatkan, sehingga model rekayasa kultur sosial yang tepat, sehingga mampu menciptakan kedamian dan kesejahteraan sejahtera. Om nama siwaya.
_______________
I Nyoman Tika, Dosen Pascasarjana Undiksha
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar