I Nyoman Tika
Ketika kita hendak menatap wajah Indonesia, belakangan ini, masih tampak wajah muram tanpa cahaya kejernihan dalam aspek berbangsa. Negara yang berdasarkan ketuhanan, yang mewajibkan warga negaranya beragama, tetap saja sepi dan khusut dalam etika, moral dan karakter, yang semestinya nihil bagi penganut agama. Apa pun agamanya, dia mesti takut berbaut dosa, namun kenyataannya masih didominasi “karakter layaknya negara tanpa agama.”
Kenapa demikian? Banyak kasus yang menggurita pada dimensi kehidupan masyarakat kita. Contoh, kebebasan beragama masih hanya retorika, kasus korupsi semakin mewabah, TKI sering jadi korban di negara tujuan, anehnya di negara yang mengukuhkan dasar negara adalah agama, birokrat yang masih pongah menelikung hukum. Serta kasus-kasus tawuran, seks bebas, narkoba, penganiayaan pemerkosaan, DPR dan penegak hukum sudah tidak ada yang takut berbuat dosa, tokoh masyarakat ikut menurunkan moralitas di masyarakat. Agama semestinya di dada pengikutnya mengubah sifat hewani manusia menjadi sifat ketuhanan yang merupakan nafas agama seakan diterjang angin, sepi tanpa bekas. Itu sebabnya Pendidikan Agama sebagai penyangga moral, etika dan karakter digugat?
Sebagian besar agama telah menjadi ritual, sepi pemahaman untuk dipraktekkan, sehingga bagi umat yang tidak cukup paham, akan berperilaku fanatik agama dan emosional. Dalam keadaan seperti ini, kerjasama multi agama tidak akan bertahan lama. Sulit juga bagi kelompok multi etnis yang berbeda budaya, agama dan saling menghormati bisa terwujud, nada pesimisme ini muncul di kalangan tokoh agama. Apa yang salah? Hanya satu yang dituding saat ini Pendidikan agama harus direvisi.
Para tokoh agama mengharapkan agar pendidikan agama mendorong penghargaan pada pluralisme dan toleransi (Bali Post, 9 Januari 2011). Sebab selama ini telah terjadi penyimpangan di tataran kehidupan, tidak sesuai dengan roh pembelajaran agama. Pendidikan agama seperti yang termasuk dalam Permendiknas RI NOMOR 24 TAHUN 2006, tentang Standar Isi sudah jelas dan bernas. Pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spritual. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.
Peningkatan potensi spritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan potensi spritual tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan. Pendidikan Agama Hindu adalah usaha yang dilakukan secara terencana dan berkesinambungan dalam rangka mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memperteguh keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, serta peningkatan potensi spiritual sesuai dengan ajaran agama Hindu.
Oleh karena itu paradigma baru pendidikan agama mulai dicanangkan. Paradigma baru pengelolaan kurikulum nasional dengan pendekatan dan desain baru, yaitu KTSP dan semangat otonomi pendidikan, telah menghadirkan warna dan tagihan baru dalam pembelajaran agama. Warna dan tagihan yang dimaksud adalah, bahwa guru dituntut untuk mampu memerankan dirinya sebagai kreator dan fasilitator pembelajaran yang kreatif bagi kepentingan belajar siswa, serta mampu menjadikan siswa sebagai waga negara yang berkualitas, mandiri, cerdas, dan mampu bermasyarakat. Menurut Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (2005), pembelajaran Agama Hindu bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. (1.) Menumbuhkembangkan dan meningkatkan kualitas Sradha dan Bhakti melalui pemberian, pemupukan, penghayatan dan pengamalan ajaran agama (2). Membangun insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai Moksartham Jagathita dalam kehidupannya.
Guru agama Hindu dalam KTSP diberikan kebebasan untuk memanfaatkan berbagai model dan metode pembelajaran. Guru perlu memanfaatkan berbagai model dan metode pembelajaran yang dapat membangkitkan minat, perhatian, dan kreativitas siswa sehingga dapat membuat perubahan paradigma. Proses pembelajaran yang cenderung pasif, teoritis, dan berpusat pada guru mengalami perubahan paradigma menuju proses pembelajaran yang bersifat aktif, kreatif, dan produktif yang mengacu pada permasalahan kontekstual dan berpusat pada siswa, sehingga dapat mendorong siswa untuk menemukan kembali dan membangun pengetahuannya sendiri. Pemerintah juga melakukan peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, memperbaiki metode pengajaran para guru melalui pengadaan penataran guru, seminar kependidikan, hingga pelaksanaan sertifikasi guru sebagai upaya untuk meningkatkan profesionalisme guru yang akan berimbas pada peningkatan kualitas pendidikan.
Bagi pendidik agama, yang menarik perlu dilakukan adalah pendidikan agama harus mau berbalik arah, membalik paradigmanya dari sekedar doktriner kepada pengalaman yang menyentuh siswa/kaum muda. Pendidikan agama yang berbasis pengalaman menjadi salah satu alternatif yang perlu dikembangkan.
Kemudian Model Pendidikan agama dengan pembelajaran inovatif menjadi solusi yang sangat mendesak, sebab pluralisme telah terancam, ketika masyarakat telah berkembang ke arah sosok masyarakat yang terfragmen ke dalam bentuk post society, meminjam kosep Rajendra Singh, dalam buku “ Social Movement Old and New”(2010). Post society, adalah sebuah agregat dari kelas-kelas, kelompok-kelompok dan komunitas yang tersatukan dalam suatu jalinan yang sosial yang besar, dengan ikatan yang lemah satu dengan yang lain. Indonesia nampaknya telah memasuki kondisi post society, sehingga harus ada tema-tema baru untuk memperkuat tenunan keindonesia-an itu dalam satu agregat kebangsaan yang multi etnis dan multi agama.
Indonesia adalah sebuah kapal yang mudah gawat, memijam konsep Adlai Stevenson (1965), Pidatonya yang terkenal layak kita simak, “Kita bepergian bersama, menumpang pada perahu angkasa yang kecil, yang bergantung pada udara dan tanah yang mudah gawat, semuanya memperhatikan keselamatan kita untuk mencapai ketentraman, dan kedamaian yang hanya dapat diselamatkan dari kemusnahan dengan perhatian, kerja dan - ingin kukatakan –kecintaan yang kita berikan pada pesawat yang gampang pecah. Artinya bisa jadi dalam konteks ke-Indonesia-an yang beraneka, konsep pluralitas menjadi sesuatu keniscayaan, yang harus terus dibina dan kesadaran akan pluralisme dalam beragama dapat dimulai proses pendidikan agama.
Hal ini didasari pada pendidikan agama adalah panduan untuk mewujudkan masyarakat yang harmoni dan hidup bahagia, sehingga dapat menyelamatkan umat manusia dari bencana dan konflik. Jika agama hanya fokus pada ritual tanpa pemahaman yang mendalam dari esensi kitab suci, maka pemahaman ini sangat mudah membuat masyarakat menganggap bahwa agama adalah takhayul. Begitu juga sebaliknya, jika semua pemeluk agama dibimbing oleh pemuka agama dan tekun mempelajari ajaran agama universal yang kaya moralitas, etika, karma, serta bisa mengkonfirmasikan pada bukti-bukti ilmiah filosofi agama, maka bencana dan konflik dunia akan terurai dan dapat diselesaikan secara efektif, karena semua dinaungi oleh pohon kasih-sayang.
Di bawah pohon yang rindah itulah kita bangun pendidikan agama yang baik, yang kita amalkan dari rumah diri kita sendiri, dari diri kita menjadi contoh buat anak-anak kita, contoh bagi keluarga, bagi teman sekantor, se RT dan seterusnya. Dari itu semua, maka wajar jika pendidikan moral etika agama dimulai dari kedua orang tua dan para guru di sekolah. Bagaimana kita membimbing dan mengawasi serta memberi teladan mereka. Kemudian di sekolah. Bagaimana sistem dan pengguna sistem tersebut berhasil memberikan pemahaman etika moral yang teresapi oleh si anak. Barulah faktor lain berperan kemudian. Om Nama Siwaya****
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar