Agus S. Mantik
Ketika pertama kali saya meninggalkan rumah untuk mencari sekolah di Jawa, ibu saya tidak terhitung banyaknya memberi nasihat, agar saya menjauhi tempat atau orang yang menurut dia akan memberikan resiko yang berbahaya.
Yang pertama tentu saja nasihat, agar saya tidak mengunjungi tempat tempat ‘lokalisasi’ sebab seperti ceritanya, jangankan berhubungan badan; kamu buang air kecil di WC tempat seperti itu kuman dan bakteri akan naik melalui air senimu dan kamu akan ketularan berbagai penyakit yang sulit disembuhkan! Ibu saya juga menasihati agar saya menjauhi perempuan yang agresip, yang suka menguber-uber cowok, sebab, “Salah sedikit saja kamu akan dituduh yang bukan-bukan. Jangankan berhubungan badan, kamu towel dia atau kamu cium, dia akan berkoar bahwa dia sudah kamu hamili,“ nasihat ibu saya.
Pada mulanya saya anggap ibu saya terlalu berlebihan sampai suatu saat saya memiliki teman gadis yang mau saya ajak nonton bioskop. Ketika pada kesempatan itu saya pegang tangannya, dia malah menangis dan ketika saya tanya apa sebabnya, dia menceritakan bahwa ibunya suka wanti-wanti dia supaya jangan mau dipegang cowok sebab bisa menyebabkan hamil. Ternyata bukan ibu saya saja yang berlebihan, akan tetapi barangkali semua ibu yang khawatir (worried, tangar bahasa Bali) telah melepas anaknya di hutan belantara yang namanya kota besar.
Cerita di atas ini kelihatannya tidak ada hubungannya dengan judul tulisan ini, akan tetapi kekhawatiran itu ada alasannya dan setiap orang diharapkan hati-hati. Tuduhan akan pelecehan seksual bisa terjadi terhadap siapa saja dan orang yang dituduh bisa saja memang benar atau tidak melakukan pelecehan, akan tetapi sudah menjadi semacam alat penghancur (karakter, character assasination) yang berdaya guna. Pelecehan seksual (sexual harassment) bisa saja dilakukan oleh laki-laki, akan tetapi tidak terkecuali yang dilakukan oleh perempuan, seperti kabar baru-baru ini mengenai pesohor sepakbola David Beckham yang onderdil-nya diremas bahkan dimuka umum.
Pelecehan seksual bisa berupa sekedar usikan yang bersifat badaniah seperti rabaan, remasan, dipegang-pegang dalam pengertian, bahwa orang yang menjadi korban tidak senang akan perbuatan seperti itu. Jadi berlainan dengan hubungan intim yang suka sama suka, dimana pihak lain menikmatinya dan malah memberikan response yang setimpal. Apabila seseorang tidak menyukai pelecehan ini, akan tetapi dilecehkan terus agresif sampai terjadi hubungan badan, maka hal ini sudah bisa dikategorikan sebagai perkosaan.
Dalam kejadian sehari-hari perbedaan di antara pelecehan dengan suka sama suka (bisa saja sesaat waktu itu saja) sangatlah sulit untuk dipisahkan. Bisa saja terjadi pelecehhan karena pihak yang tetuduh (kebanyakan orang laki) membela diri dengan mengatakan, bahwa mereka merasa ter-provokkasi oleh sikap maupun cara berbusana pihak perempuan. Kasus besar mengenai hal ini pernah terjadi di Amerika di pabrik mobil (asembly line) Mitsubhisi Motor, di mana sekelompok perempuan karyawan perakitan menuntut karena terjadi pelecehan berjamaah. Dan di dalam pembelaannya para pekerja laki (melalui pengacara mereka) menyatakan, bahwa mereka diprovokasi (dirangsang) oleh busana pekerja perempuan yang memakai pakaian yang minim, tidak memakai BH dan sebagainya. Hakim akhirnya memutuskan denda yang besar kepada Mitsubhisi Motor dan sejak itu pelecehan dianggap sebagai sesuatu yang sangat serius. Hal ini tentu saja berhubungan dengan adanya persamaan hak di dalam hampir semua kegiatan manusia bahkan sampai kepada peranan tempur yang tidak berbeda kepada kaum perempuan. Mereka beranggapan, bahwa persamaan hak akan berjalan dengan baik apabila ada saling penghormatan di antara semua jenis kelamin.
Yang paling sering terjadi adalah pelaporan kasus yang menunggu lama sesudah pelecehan yang sesungguhnya terjadi. Di sini terjadi dua kemungkinan di mana pada mulanya semuanya terjadi karena suka sama suka, akan tetapi belakangan karena satu dan lain alasan, satu pihak berasa bahwa selama ini telah terjadi pelecehan. Atau mungkin juga karena berbagai alasan korban tidak melaporkannya. Sai Baba pernah mengalami kasus pedophilia kurang lebih satu dasa warsa yang lalu dan yang paling termashur mengenai kasus seperti ini adalah yang menimpa almarhum Michael Jackson. Di Amerika belum lama berselang terjadi class action terhadap beberapa pendeta Katholik (yang dituduh pedophilia) yang akhirnya diselesaikan dengan settlement jutaan dollar oleh gereja di samping secara terbuka gereja menyampaikan permintaan maaf.
Bagaimana mungkin rohaniawan tertimpa kasus seperti ini? Bukankah mereka selama bertahun-tahun dilatih untuk mengendalikan diri? Memang benar demikian, akan tetapi bagi pelaku rohani godaan semakin besar memang terjadi. Barangkali hal ini memang semacam ujian yang harus mereka lewati sebelum mereka sampai kepada pembebasan. Di dalam Purana, kisah seperti ini juga tidak sedikit. Contoh Bhagavan Wiswamitra dengan Menaka yang sampai melahirkan Shakuntala, kisah Bhagavan Sukra sampai kisah Renuka, istri Bhagavan Jamadagni (salah seorang saptarsi) yang birahi ketika melihat gandarva bercumbu. Atau kisah Dewi Suprabha yang menggoda (melecehkan) Arjuna yang sedang melakukan tapa dan ternyata tidak tergoyahkan.
Saya pernah bertanya kepada beberapa orang bhiksu, apakah mereka pernah mengalami ereksi dan semuanya menjawab, bahwa hal itu adalah alamiah, akan tetapi setiap saat mereka berjuang untuk mengalahkan nafsu mereka. Saya juga pernah diberitahu, bahwa dalam pelatihan untuk melawan nafsu para calon biarawan memang di-tes apakah mereka bisa ereksi, sebab adalah tidak dibenarkan seorang yang impoten atau homo menjadi rohaniawan. Hal ini artinya sebuah pelarian dan yang dikemudian hari akan menimbulkan masalah besar.
Satu hal yang sering dilupakan orang dan jarang dibahas adalah bahwasannya atman tidak dapat ditemukan oleh orang yang tidak mempunyai kekuatan atau energy, nayamatma balahinena labhyah, seperti yang dikatakan dalam Chandogya Upanisad. Atau seperti kata Rohit Mehta (Bertemu Tuhan Dalam Diri), Universitas-Universitas Hutan mempersiapkan para siswa mereka untuk memiliki energi yang kuat melalui tapa dan brahmacharya.
Energi yang terkunci dalam kerangka (sistim raga) yang dikenal dilepaskan dan dikonservasi. Dalam kondisi inilah kepercayaan itu lahir – ini adalah kepercayaan dari yang kuat bukan dari yang lemah. Dalam orientasi inilah para siswa terjun ke dalam studi-studinya dengan energi fisik dan mental yang sangat besar.Tidak mengherankan, bahwa siswa itu dapat belajar dengan cepat tetapi juga dengan sangat berdaya guna. Ini berarti, bahwa para penekun kerohanian melalui konservasi energi mereka yang besar sudah pasti memiliki magnetisme yang lebih dari orang biasa. Energi yang dikonservasi ini juga bisa dikonversi atau digunakan untuk tujuan lain dan hal ini tentulah berbahaya.
Konservasi energi dan kemungkinan konversi ini mungkin sangat dimengerti oleh orang-orang seperti Sri Caitanya Mahaprabhu dan Mahatma Gandhi dan kedua orang suci ini mengambil pendekatan yang berbeda di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sri Caitanya tidak memperbolehkan kaum perempuan terlalu dekat dengan beliau. Mereka yang datang untuk memberi hormat atau untuk memohon berkah dianjurkan untuk berada pada jarak tertentu. Berlainan dengan Gandhi, ketika beliau bersumpah bersama istrinya (dalam usia 38 tahun) untuk menjalankan hidup selibat. Gandhi malah senantiasa tidur bareng bersama dengan para gadis di dalam ashram-nya dan membuktikan dirinya memiliki kepribadian yang kuat dan lolos dari segala macam godaan. Gandhi pantas disebut sebagai salah satu orang suci di jaman modern ini.
Memang tidak semua orang yang menjalani kehidupan rohani (apalagi yang pura pura menjalaninya) memiliki kepribadian yang kuat dan konsisten seperti Gandhi. Ketermasyuran maupun status sebagai orang yang terkenal (atau agak dikenal) sering menyebabkan banyak orang yang berkerumun di sekitar orang-orang ini. Bahkan menurut cerita orang-orang dekatnya, di lingkungan Gus Dur sendiri (di dalam puncak ketenarannya) terdapat beberapa wanita yang saling bersaing untuk memperoleh kepercayaan dan kedekatan. Keinginan untuk dekat, untuk berfoto atau sekedar berbicara sulit dihindari.
Di Bali ada cerita mengenai pedanda baka atau cangak meketu, tentang orang-orang yang munafik, yang berpenampilan dengan busana rohani atau tutur kata lemah lembut,akan tetapi ternyata predator yang memangsa bukan saja gadis, tetapi perempuan yang sudah bersuami. Dan jangan lupa juga dengan kecenderungan memangsa korban sejenis (baik yang homo maupun yang pedophil) yang juga sangat berpotensi pelecehan seksual. Orang-rang jahat seperti ini mengatasnamakan agama untuk mencari korban mereka. Mereka ada di lingkungan kita. Di dalam keadaan yang tidak menentu seperti sekarang di mana segala rekayasa adalah mungkin, kita hanya khawatir, bahwa berbagai expose keadaan ini bisa menyudutkan Hindu. Publisitas mengenai Anand Krishna (yang belum tentu benar) saja sudah sering menyudutkan kita apalagi kalau beruntun ada publisitas serupa.
Tweet |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar