Yayasan Dharmasastra Manikgeni

Kantor Pusat: Jalan Pulau Belitung Gg. II No. 3 - Desa Pedungan - Denpasar BALI 80222. Hp/WA 0819 9937 1441. Diterbitkan oleh: Yayasan Dharmasastra Manikgeni. Terbit bulanan. Eceran di Bali Rp 20.000,- Pelanggan Pos di Bali Rp 22.000,- Pelanggan Pos di Luar Bali Rp 26.000,- Tersedia versi PDF Rp 15.000/edisi WA ke 0819 3180 0228

Selasa, 16 Maret 2010

PERDALAM AJARAN AGAMA DENGAN ANUDARSANAM

Oleh Ida Ayu Tary Puspa

Agama dilandasi oleh kepercayaan dan keyakinan terhadap azas yang tertinggi yaitu Tuhan yang mengadakan kita ini beserta segala mahluk hidup yang lain.


Dalam sebuah dialektika untuk merepresentasikan kehidupan terkadang kita meragukan sesuatu. Sebagaimana halnya Arjuna dalam Bhagawadgita diliputi oleh keragu-raguan dalam berperang melawan saudara sendiri yaitu Korawa. Akan tetapi setelah dijelaskan dan diyakinkan oleh Kresna akan hakikat sebuah kebenaran akhirnya dengan hati lapang dan tuntunan Brahman Arjuna dapat melakukan tugasnya dengan baik demi tegaknya Dharma di muka bumi ini.

Sebagai orang yang beragama kita jangan pernah meragukan Tuhan sebab kalau direnungkan lebih dalam kita tidak akan pernah dapat menjawab bagaimana terbentuknya buana agung dan buana alit ini. Tak jarang kita terkesima, takjub, dan tak habis pikir akan keindahan alam ini yang tidak terlepas dari campur tangan Tuhan dalam penciptaannya (the magic finger of God). Itulah kesejatian yang sejati. Akan tetapi dalam menjalankan kehidupan ini begitu banyak orang yang menyangsikan akan dirinya sendiri dengan segala liku kehidupannya. Suatu saat orang pasti pernah sakit. Hal ini merupakan bagian dari klesa ( kelemahan atau penderitaan) yaitu vyadhi sebagaimana yang termuat dalam Bhagawad Gita adhyaya XIII sloka 8. Tidak jarang orang justru mencari alternatif atau kompensasi dari sakit yang dia derita dengan mencari orang pintar dalam hidup yang instan untuk mengobati penyakitnya bukannya mencari seorang dokter atau orang suci. Apa yang akan terjadi kalau orang itu lebih mempercayai apa kata seorang balian ketimbang mempercayai dokter atau orang suci. Fenomena inilah yang melanda masyarakat Bali dalam menghadapi berbagai kehidupan termasuk dalam menjalankan agama Hindu yang dianutnya. Kalau bertanya atau nunasang ke balian seringkali terjadi justru kesalahan-kesalahan yang akan ditimpakan kepada sebuah keluarga yang mepinunas tersebut. Bisa saja dikatakan yang menyebabkan sakit adalah keluarga dekat dalam satu rumah (istilah balian mengatakan bahwa layah sing joh tongosne teken gigine). Dampak yang ditimbulkan kalau hal itu dipercayai adalah semakin tumbuh sikap curiga dan tidak mempercayai keutuhan dengan keluarga. Hal ini pernah dialami oleh sebuah keluarga sampai membawa blakas karena balian mengatakan bahwa yang membuat dia sakit adalah ibu kandungnya sendiri. Sang ibu yang merasa tidak pernah melakukan hal itu apalagi terhadap anak kandungnya sendiri mengambil blakas juga dengan mencari balian yang menuduh dirinya berbuat seperti itu. Wah bisa dibayangkan kalau saja tidak dilerai oleh warga tentu akan terjadi pertumpahan darah. Yang lebih membuat kita tercengang adalah orang yang sudah diaben dikatakan oleh seorang balian mesti diulang ngaben lagi karena kekurangan banten. Menurut Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda dalam bukunya Pitra Pakerti (2004:6) bahwa upacara pembakaran jenazah (sawa) dan upacara pengabenan hanya boleh dilakukan satu kali saja terhadap orang yang meninggal..

Atau seseorang hidupnya tidak tenteram karena kurang membangun pelinggih. Kenapa umat mempercayai hal yang seperti itu yang belum tentu kebenarannya bisa dibuktikan dari ajaran agama maupun sastra?. Ingat bahwa balian sering maalih-alihan karena dia bisa mendapatkan apa yang dia inginkan dan bisa pula terjadi tawar menawar. Misalnya seperti fenomena yang dilakukan seseorang setelah melaksanakan upacara ngaben adalah dengan mendatangai balian apakah orang yang diaben sudah mendapat tempat atau belum. balian akan mengatakan bahwa bekal yang dibawa orang yang diaben itu kurang, dia minta bekal uang besarnya Rp 100.000 sedangkan yang nunasang itu hanya membawa uang Rp 50.000, apa mau yah tidak apa berikan saja kata sang balian. Hal itu adalah sebuah kejadian lucu sebenarnya karena yang mendapatkan uang itu adalah baliannya sendiri. Berangkat dari hal-hal seperti itu sudah sepantasnya umat Hindu terutama yang di Bali dalam melakoni kehidupan baik itu suka maupun duka adalah dengan mau mempelajari ajaran agamanya secara baik dan menetapkan sebuah pilihan kepada kitab suci maupun orang suci.

Kita harus mengatur hidup kita agar terhindar dari penyakit dengan menerapkan pola hidup sehat. Asupan gizi yang baik dan hindari pikiran buruk karena tak jarang sakit itu muncul berpangkal dari pikiran yang buruk. Mulailah dengan mengucapkan gayatri mantram dengan japamala artinya doa-doa yang diucapkan dengan lirih dengan karangan bunga atau genitri sehingga pikuran berada dalam radius vibrasi kesucian nama Tuhan.. Duka yang dialami seseorang seperti gelisah, duka cita dalam kenyataannya tidak semua orang dapat menghadapi cobaan hidup karena itu manusia hendaknya dapat menyeimbangkan antara suka dan duka seperti yang termuat dalam butir Bhagawad Gita “sukham duhkham sama diram” artinya merenunglah secara mendalam (anudarsanam) supaya dapat mengurangi duka yang mendalam.

Berkonsultasilah kepada orang suci karena sumber hukum kita dalam menjalankan agama adalah Sruti, Smerti, Sila (prilaku orang-orang suci), Acara, dan Atmanastuti Tentu orang suci tersebut yang mampu sebagai Acarya dengan memberi pencerahan terhadap umat, agar kedudukan orang suci dengan balian memiliki skor 1:0 tidak sebaliknya seperti sekarang fenomena umat Hindu yang lebih mempercayai balian daripada orang suci dengan skor 0:1. Ini adalah sebuah tantangan ke depan bagi fenomena keberagamaan umat Hindu di Bali.

Secara bijak idealnya perbuatan dalam hidup ini harus dilandasi prama (parama, yang utama, tertinggi, paling baik) dan bhakti (penghormatan, kesetriaan) sebab bentuk pelaksanaan ajaran agama bukan hanya berwujud upacara untuk memuja Tuhan. Selain berbakti kepada Tuhan yang seyogyanya dilakukan adalah berbuat kebajikan kepada sesama manusia dan alam lingkungan. Dengan melakukan prama dan bhakti hidup manusia akan meingkat sebab dalam pengertian yang lebih luas, prama artinya menggalang cinta kasih dengan sesama manusia dan mahluk hidup lainnya sedangkan bhakti adalah pemujaan kepada Tuhan dengan penuh keiklasan dan penyerahan diri. Dengan demikian semoga kita menyadari bahwa kiita dilahirkan adalah sebagai mahluk yang mulia karena dapat membebaskan dirinya dari sengsara (Sarasamuscaya II.4).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar